KUPANG, SUARAFLORES.NET,–Memulai debutnya sebagai aktivis Mahasiswa Fakultas Ekonomi, Universitas Sanata Darma, Yogyakarta tahun 1982, Vincent Nifu, Sang Jurnalis senior NTT yang tetap hidup dengan jiwa merdeka seratus persennya tanpa bergantung pada orang lain. Ia selalu mandiri dan sederhana apa adanya memahat jati dirinya. Ia tetap berproses dengan karakter katoliknya hingga bergabung menjadi Aktivis Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Yogyakarta.
“Saya mengikuti Masa Penerimaan Anggota Baru (MPAB), digodok, dilatih melalui Latihan Kepemimpinan Tingkat Dasar, pelatihan jurnalistik, workshop hingga kegiatan-kegiatan lapangan lainnya, seperti Ret-ret, Rekoleksi. Kebetulan saya waktu itu sempat dipercayakan menjadi Kepala Biro Kerohanian. Saya mengurus Ret-ret, Rekoleksi, Seminar tentang Toleransi, Kawin-Campur dan berbagai pelatihan,”tutur Vincent Nifu kepada Suara Flores.Net, saat bertemu dan berceritra bersama, Kamis, (31/5/2018) di Kupang.
Sebuah moment reflektif memperingati hari lahirnya Pancasila, pada setiap tanggal 1 Juni. Potret Vincent Nifu yang memilih panggilan sebagai seorang jurnalis berkarakter Pancasilais terus tumbuh berkembang selama masa berkuliah hingga menamatkan studinya dan meraih gelar Sarjana Ekonomi, jebolan Universitas Sanata Darma Yogyakarta.
Tak berhenti di situ, tapak kakinya sebagai aktivis Katolik Seratus Persen Pancasila yang telah dipahatnya bersama PMKRI Cabang Yogyakarta pun terus membesutnya. Vincent Nifu, Putera TTU ini pun makin sibuk di berbagai kegiatan, terutama terkait pelatihan-pelatihan jurnalistik yang dihelat di Rumah Perjuangan PMKRI Cabang Yogyakarta. Mulai dari latihan mencari, investigasi, menulis berita, mengedit berita hingga menerbitkan media.
“Kebetulan saat itu PMKRI Yogyakarta sudah memilik Majalah Aquinas yang menjadi media bagi saya mengasah ketajaman insting jurnalistik sehingga terus mematangkan saya,”tambahnya.
Memiliki bekal itu, pemuda Manufui TTU, Nusa Tenggara Timur, yang masih lajang ini, pada tahun 1996 berangkat ke Jakarta untuk memulai debut perdananya sebagai Jurnalis Pancasilais. Ia memilih melamar ke Majalah Hidup Jakarta. Bersama 30 orang yang melamar saat itu, Vincent Nifu menjadi salah satu orang yang diterima dari dua pelamar yang dinyatakan lulus.
“Seleksi berjalan sangat ketat, berlapis-lapis termasuk test bahasa Inggrisnya. Setiap berita yang ditulis dibedah kata perkata hingga kalimatnya harus sesuai dengan Bahasa Indonesia yang baik dan benar,”ujarnya berapi-api. Ia bahkan melitanikan kalau kadang sampai karena salah memakai tata bahasa Indonesia yang baik dan benar, dirinya sampai diolok-olok, ditertawain. Dikatain sarjana tapi bodoh.
“Di sini, saya terpaksa lakukan protes. Saya tidak mau disebut bodoh. Saya bilang meskipun dibilang bodoh tapi saya seorang Sarjana. Tamatan Universitas Sanata Darma Yogyakarta dan Aktivis PMKRI,”tukasnya meyakinkan.
Baca juga: Rela Tinggalkan Italia, Anna Belajar Proses Pembuatan Tenun Ikat di Ende
Kiprah Vincent sebagai wartawan Majalah Hidup berkembang. Ia bahkan dipercayakan menangani berita-berita luar negeri. Mulai dari menerjemahkan hingga mengedit. Baik yang dikirim dari Fhilipina, Italia, Amerika, Eropa dan Timur Tengah.
“Awalnya saya ragu saat diberi tugas ini oleh atasan saya Silvia Renggono dan Dr.Marsidik. Terjemahan saya sangat kacau. Namun karena satu kali sudah bisa, selanjutnya menjadi biasa dan dipercayakan terus. Saya dipercayakan bersama teman Alkatina Endang, seorang sarjana Sastra Belanda jebolan Universitas Indonesia,”terang sosok yang selalu tampil sederhana ini dan setia berjalan kaki sampai sekarang.
Ditanya soal honor yang diperolehnya, sambil memegang telepon genggam Nokia kecil tempoe doeloe itu, Vincent katakan, honor yang diterimanya berkisar Rp500-600 ribu per berita.
“Lumayan besar untuk ukuran hidup di Jakarta waktu itu,”katanya polos. Profesi jurnalisnya di Majalah Hidup, apalagi menangani desk luar negeri, membikinnya terus populer di mata tokoh-tokoh Katolik Nasional waktu itu, seperti Frans Seda, Ben Mangreng Say, Chris Key Timu sampai seorang Pater Baltasar.
Kini, Vincent Nifu hidup seorang diri di gubuknya di Kompleks Naimata Kecamatan Maulafa, Kota Kupang. Saban hari harus berjalan kaki dari rumahnya ke Kantor DPRD dan Gubernur NTT untuk melakukan liputan.
Baca juga: Sea World Club Beach Resort Istimewa di Mata Ibu Negara
Ia tegar berjalan kaki, bahkan sampai lapar dan haus di jalan. Maklum, Vincent sendiri terkenal kuat jalan kaki. Bahkan, dirinya pernah berjalan kaki di Kota Jakarta dari Pondok Kopi Jakarta Timur ke Kebon Jeruk Jakarta Barat, persisnya di Stasiun RCTI, selama 4 jam perjalanan. Karena tak mampu membeli sepeda motor, Vinsen kadang menumpang ojek. Sering pula ia menumpang motor kawan-kawannya saat pulang liputan.
Sosok Vinsen Nifu, tidak terlalu asing di mata para jurnalis senior di NTT. Penampilannya yang sangat sederhana dan lugas dalam berkomunikasi membuat ia mudah diingat. Pasalnya, Vinsen mudah bergaul dengan siapa saja selama menjadi jurnalis di beberapa media lokal di NTT.
Beberapa tahun silam, Vinsen hampir saja kehilangan nyawanya. Ia terkapar tak berdaya di gubuknya yang dipenuhi lembaran kertas dan koran. Rupanya ia mengalami sakit keras, namun tak satu orang pun tahu. Untung saja, ada dua orang sahabatnya tiba-tiba mendatangi gubuknya. Vinsen akhirnya pulang kampung untuk berobat cukup lama. Ia akhirnya kembali sehat dan bertugas lagi sebagai seorang jurnalis.
Diakhir kisahnya, Vinsen mengatakan, pilihan menjadi jurnalis adalah sebuah panggilan hidup. Menjadi jurnalis bukan hanya sebatas profesi, tetapi panggilan untuk menjadi pewarta yang mengabdi kepada jalan kebenaran. Untuk itu, menurutnya, tak perlu merasa menyesal dengan panggilan hidup menjadi pewarta.
“Di balik karya jurnalis, meskipun kadang dicaci-maki dan kadang dipuji, tapi ada kebahagiaan dan kepuasan batin. Itu yang tidak bisa dihargai dengan emas dan rupiah. Namun kita harus terus belajar, jangan pukul dada menolak kritikan karena dunia jurnalis sudah maju pesat dan masyarakat sudah makin kritis. Bila ingin menjadi orang kaya, jangan menjadi jurnalis, tetapi jadilah pengusaha,”kata pria bertubuh ramping ini bangga dengan panggilan hidupnya.
Menyikapi situasi dan kondisi bangsa Indonesia saat ini, di mana berbagai ancaman mengancam ideologi Pancasila, Vinsen tidak berkata banyak. Tetapi, ia hanya menegaskan peran jurnalis Pancasilais dalam situasi saat ini sangat penting untuk menyelamatkan bangsa.
“Kalau saya hanya punya komitmen yang selalu saya pegang teguh, yaitu menjadi jurnalis 100 persen Pancasila, 100 persen Indonesia dan 100 persen Katolik. Itulah saya, saya bukan seorang jurnalis ternama di negeri ini. Saya tidak bisa berbicara banyak. Cuma satu harapan dan doa saya, Indonesia yang majemuk tetap utuh sampai dunia ini kiamat,” tegasnya menutup cerita. (Robert/sfn)