Aku Kartini, Mereka Kartini, Ibuku yang Malang Juga Kartini

by -116 Views
Suara Flores

(Habis Gelap Terbitlah Terang)

Oleh: Maria Angelica Nanus

 

Selasa 17 April 1973

Untukmu.. Tuhanku yang entah di mana kau berada

Baca ini untuk dendamku

“….Ardiana, selamat kamu juara satu umum untuk ujian kali ini. Wah..wah.. kamu cantik dan juga cerdas. Sebagai ungkapan rasa kagum bapak, besok bapak tunggu kamu di ruangan pukul 16:00 wita. Ada kado untukmu. Jangan lupa datang bapak menunggumu.!”

Sekali lagi ku baca surat singkat dari Pak Ahmad sebelum akhirnya kuputuskan untuk masuk ke dalam ruangannya. Ya Tuhan, kau tahu perasaanku ? Aku bahagia. Sangat bahagia.

Di dalam ruangan seorang pria botak yang kukenal sebagai Pak Ahmad sedang menungguku. Ia tentu hambaMu yang paling kau sayang. Ia tampak tersungging bahagia ketika melihatku datang. Tiba-tiba.. prakkk ! Pintu ruangan kepala sekolah ditutup dari luar dengan keras.

Aku panik. Sungguh diluar dugaanku. Dari bayangan yang terlihat, tampak Pak Budi penjaga kebun berlari meninggalkan ruangan itu. Mungkin dia bukan hambaMu. Entalah.

Tidak. Celaka dua belas !

“Hahahaha Ardiana.. kau tak secerdas yang bapak pikirkan. Cepat  layani bapak” kata Pak Ahmad dengan suara keras membangunkanku dari lamunanku. Dia menarik baju rajutan ibuku dan plak! Sebuah pukulan keras mendarat di pipiku.

Sedetik kemudian tak ada lagi rasa takut itu. Gelap… Sepi…

Senja Selasa hari itu, ternyata menghantarkanku pada sebuah malapetaka. Aku Ardiana, gadis paling sial sejagat mulai hari itu. Aku Ardiana, gadis yang tak suci lagi. Aku Ardiana hambaMu yang tak kau sayang. Aku semakin tak berdaya. Apakah Negaraku masih membutuhkanku Tuhan ? Aku benci. HambaMu yang kau loloskan rencana jahatnya. Dimana engkau Tuhan ?

….

Minggu 12 Juni 1999

Untukmu Tuhanku. Maafkan aku yang pernah marah padaMu

26 tahun sudah

Hari berganti dengan cepat sekali rasanya. Tak terasa aku telah tumbuh menjadi wanita dewasa pendiam yang murung. Namun hari ini kuputuskan kembali ceria. Buku, buku, buku, dan buku adalah temanku. Namun hari ini kuputuskan semua menjadi temanku. Ini adalah surat kedua yang kutulis setelah kejadian itu. Ya.. aku tetap seorang Ardiana yang tak suci lagi, yang bersumpah demi langit dan bumi, doaku pada si keparat semoga ia mati menjadi alas neraka.

Tuhanku, aku Ardiana yang malang itu. Yang kesuciannya telah direnggut oleh almarhum si keparat. Hari ini aku telah memutuskan berdamai. Bukan. Bukan karena sikeparat telah mati dan menjadi alas neraka. Bukan karena itu.

Hari ini aku ingin langit dan bumi dan juga semua malaikatmu tahu. Aku bahagia. Ya.. hari ini aku bahagia. Aku telah mengenal hambaMu yang lain, yang katanya dikirim olehMu untuk mencintai aku tak pandang apa kurangku. Dia telah buktikan itu.

Terima kasih Tuhan. Sebentar tepat jam 8 pagi aku mengundangMu bersama laskar surga datang ke pernikahanku. Aku tunggu. Mohon jangan lagi  kau bawa serta derita itu padaku. Surat ini tanda kita telah berdamai. Maafkan aku. Perkenalkan juga hambaMu, sahabat, saudara, dan pasangan hidupku Markus E. Sudarto.

….

Sabtu, 21 April 2001

Untukmu Tuhanku.

Terima kasih atas kado cantik yang kau berikan. Hari ini telah lahir ke dunia jahanam ini putri cantik, anakku tersayang. Aku yakin dia kau kirimkan untuk menemani diriku dan Markus suamiku tercinta. Aku percaya, dia kau kirim untuk jadi obor penerang di dunia yang gelap ini.

Mohon padamu seribu kali kumohon jangan sakiti dia. Biarkan dia tumbuh jadi wanita terkuat yang tidak pernah menangis karena terluka. Aku ibunya. Dan cukup aku saja. Sekian Tuhan terima kasih.

….

Air mata menetes perlahan dari ujung kelopak mataku saat surat terakhir ini kubaca. Ayah memberikan kado terbaik di usiaku yang ke-17 tahun ini. Aku telah menjadi putri remaja.  Ya.. sekarang aku Maria Cahaya gadis terkuat harapan ibu dan ayah.

“Sayang, hapus air matamu. Ibumu telah bahagia di surga. Ia tak ingin melihatmu bersedih” kata ayahku kemudian. “Selamat ulang tahun sayang. Wujudkan impian ibumu. Jadilah wanita tegar seperti ibumu.”

“ Yah. Aku tidak sedang bersedih. Aku terharu memiliki ibu sekuat ibu Ardiana.” Batinku seraya mengangguk lalu  mengusap air mataku.

“Tidurlah kembali. Maaf ayah membangunkanmu sesubuh ini. Em.. ayah hanya ingin menjadi pria pertama yang mengucapkan selamat pada putri  secantik dirimu. Simpan surat-surat itu nak dengan baik. Ayah pamit tidur kembali.”

(…)

Kring.. kring.. kring..

Jam weker peninggalan ibuku berdering. Waktu tepat  menunjukan pukul 6 pagi. Setelah ucapan selamat dari ayah subuh tadi, aku tertidur kembali sekitar lima jam. Pagi ini menjadi pagi yang istimewa. Kado terindah yang pernah kudapat dari ayah, ucapan teman-teman via sms, dan  terlebih lagi kuucapkan terima kasih pada Kartini terkuatku yang telah melahirkan aku tepat di hari ini. Hari di mana seluruh orang-orang di Indonesia merayakannya sebagai hari Kartini. Aku menjadi sangat bersemangat.

Bergegas aku membersihkan tubuh. Ada agenda penting lain selain perayaan ulang tahunku. Aku bersama dengan teman-teman sekelas akan turun ke jalan. Ada aksi damai yang harus kami lakukan.

Aku Maria Cahaya, putri tunggal Markus E. Sudarto. Gadis terkuat milik ibuku Kartini Ardiana, dan anak bangsa asli Indonesia. Aku sadar, diluar sana masih sangat banyak para Kartini yang tak mendapat haknya. Mereka ditindas dan dianiaya. Padahal setiap tahunnya pada tanggal dan bulan yang sama ada hari khusus yang senantiasa diperingati. Sejujurnya aku merasa ini seperti aku membela hak ibuku.

Pukul 09.00 Wita, di sepanjang jalan Merdeka, tempat berjejernya gedung-gedung maha agung milik pemerintah. Aku berdiri di barisan paling depan. Bendera kuikat di kepalaku, tanda aku berjuang untuk para Kartini dan hak ibuku. Mengangkat tinggi-tinggi “toa” merah yang kupegang seakan menambah gelora didadaku. Sinar mentari pagi hantarkan aku dan teman-temanku pada tujuan mulia. Amin.

“Merdeka! Demi NKRI tercinta selamatkan wanita dari kekerasan. Hidup Perempuan! Hidup Kartini!

Aku berteriak sekuat mungkin hari ini. Aku ingin pemerintah dan semua elemen masyarakat mendengarkanku.

Angelica, seorang temanku yang telah ditugaskan membaca puisi khusus pun maju. Ia membacakan puisi yang kutulis dan disaksikan ribuan masyarakat serta unsur pemerintahan.

Semua hening, ragu, penasaran, takut, menanti ia membacakan puisi itu. Apalagi aku.

Sedetik kemudian…

“Akur Kartini, Mereka Kartini, dan Kami Juga Anak Negara Ini” teriak Angelica.

“Wahai kalian yang saat ini mendengarkan aku.

Kubacakan puisi ini untuk kalian yang sedang duduk di kursi empuk.

Yang katanya berdiskusi membela Kartini.

Yang katanya akan mengupas tuntas dan menghukum penjahat yang menindas Kartini.

Aku tak kuat lagi menahan pilu setelah tak ada keadilan di negeri ini.

Aku, mereka, bukan kaum lemah. Kami Kartini yang terlahir menuntut perubahan.

Bukankah Kartini dulu lahir dan berikrat membawa terang dalam gelap?

Kenapa sekarang kalian ragukan kami? Kami juga Kartini!

Butuh keadilan dan kesetaraan!

Wahai kalian sahabatku Kartini.

Teruslah berkarya, menebarkan kasih dengan kelembutan untuk terang dan mengalahkan kegelapan. Jangan takut. Tuhan beserta kita untuk Indonesia, untuk kita semua. Mari kita bersatu

“Hidup Kartini!

“Aku rindu ibuku” Bisikku dalam hati ketika ayat terakhir selesai dibacakan. Sekian

Penulis: Wakil Presidium Pendidikan dan Kaderisasi PMKRI Cabang Ruteng St. Agustinus Periode 2018/2019, Mahasiswa tingkat II Program Studi PGSD STKIP St. Paulus Ruteng, Flores.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *