SUARAFLORES.NET,–Pemilu Legislatif (Pileg) 2019 menjadi pemilu yang bisa dikatakan terburuk dalam sistem demokasi Indonesia sejak pemilu tahun 1955. Pemilu melalui instrumen UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 yang diproduksi oleh Pemerintah dan DPR-RI ini memang bertujuan baik untuk efIsiensi anggaran negara, namun di sisi lain mendatangkan malapetaka,terutama bagi para penyelenggara pemilu yang sampai hari ini sudah lebih dari 200 orang tewas atas nama pesta demokrasi.
Selain telah mengorbankan begitu banyak orang, pemilu 2019 (secara khusus Pileg), juga telah melahirkan begitu banyak orang-orang gila dan berbagai aksi kekerasan di masyarakat pemilih yang tidak memilih caleg yang diduga telah memberikan sesuatu atau berjasa terhadap pemilih. Contoh kasus di Ende yang diberitakan Suaraflores.Net, dimana caleg jagoan tuan tanah tidak dipilih dan kemudian tuan tanah mengusir serta merusak rumah warga pemilih. Selain itu, di Larantuka, ada oknum caleg yang menutup Pasar Sagu di Adonara lantaran diduga para penghuni pasar tidak memilih dirinya.
Masalah lainnya, terjadi ketegangan yang sangat tinggi bagi mayorotas caleg karena terlalu lama menunggu proses rekapitulasi suara yang dilakukan Panitia Pemungutan Suara (PPS). Bukan itu saja, akibat persaingan yang sangat ketat dalam memperebutkan suara rakyat, di mana persaingan internal dan eksternal partai yang begitu besar, juga turut membuat proses pleno sangat lama. Sudah melawati masa kampanye hampir satu tahun, dengan energi dan waktu serta biaya yang tidak sedikit, seorang caleg tidak mudah memastikan dirinya lolos menjadi DPR.Hal itu sebagai akibat dari molornya waktu penghitungan suara yang dipicu oleh perdepatan panjang bahkan perkelahian di saat pleno berlangsung.
Jika pada pileg 2014 silam, seorang caleg, baik DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi, DPR-RI maupun DPD RI dengan mudah dapat mengetahui hasil dirinya lolos atau tidak, tetapi dalam pileg 2019 seorang caleg tidak mudah memastikan dirinya lolos ke DPR meski sudah dua minggu pleno berlangsung. Mungkin saja bagi caleg ‘pemain jalur gelap’ sudah bisa tahu bahwa ia lolos, namun mayoritas caleg dari pusat sampai kabupaten yang pernah dihubungi Suaraflores.Net (puluhan caleg) tidak berani mengatakan dengan tegas bahwa ia yakin lolos. Padahal, di antara caleg tersebut adalah pemain lama yang sudah dua tiga kali menjadi DPR. “Belum tau ni om. Pusing saya. Sistem pemilu serentak ini harus divaluasi karena tidak menguntungkan caleg. Terlalu banyak energi, waktu dan uang terbuang, tapi kita belum tahu kita lolos atau tidak,”pungkas salah satu caleg DPRD NTT yang dihubungi media ini, Sabtu(27/4) malam.
Fakta lain, dari pengakuan para caleg yang dihubungi media ini, ada fenomena klasik baku kancing dokumen final C1 KwK sangat marak terjadi. Hal ini terjadi di dalam partai maupun antar partai. Indikasi permainan ini biasaya dilakonkan oleh caleg-caleg kuat yang memiliki modal besar. Mereka memiliki akses di partai dan mampu mengendalikan saksi-saksi partai. “Saya belum tau ni. Apalagi C1 KwK juga tidak lihat. Mau bayar saksi juga uang tidak ada. Jadi saya pasrah saja kepada Tuhan. Tunggu saja sampai KPUD,” ungkap salah satu caleg DPRD kabupaten di NTT, Minggu (28/4).
Caleg lainnya, sebut saja dari Kabupaten Kupang, juga mengaku bahwa sangat sulit mengakses C1 KwK. Hal itu disebakan ego individu oknum caleg atau pengurus partai yang pro kepada caleg tertentu. “Berat om. Ego individu sangat kuat. C1 KwK hanya caleg tertentu yang kuasai. Kita yang lain telan ludah saja,” timpalnya kecewa seraya berdoa dirinya lolos ke DPRD Kabupaten Kupang jika tidak ada halangan atau permainan kotor.
Fakta yang lebih parah lagi, seorang ketua partai yang sudah menjadi pejabat bertahun-tahun pun tidak percaya diri mengatakan dengan penuh keyakinan dirinya lolos. Apakah dirinya memang tidak mau mengaku? Takut disabotase? Ataukan mempunyai trik-trik lain untuk terus bermain mengakali caleg-caleg separtainya. Semuanya gelap-gulita dan sulit ditebak. Meskipun KPU RI sudah mulai mengumumkan melalui situs mereka, namun caleg-caleg masih terus menanti dalam kegelisahan antara lolos atau tidak. Apalagi di sana-sini masih ada pemungutan suara ulang (PSU). Hal ini membuat para caleg kian babak belur dalam menunggu kursi DPR.
Di tengah-tengah prahara duka pesta demokrasi pemilu 2019, ada begitu banyak pihak melalui jagad media sosial mengeritik dan mengecam pemilu serentak 2019 gagal karena begitu banyak korban meninggal, korban sakit dan banyaknya kasus-kasus kekerasan dan kriminal. Yang lebih konyol lagi orang atau oknum-oknum itu berasal dari partai politik. Pertanyaannya, siapa yang membuat UU Pemilu? Bukan itu UU diproduksi oleh Pemerintah dan DPR-RI yang nota bene didominasi orang partai? Lalu apakah KPU salah? Tentunya KPU sebagai pelaksana pemilu tidak salah karena mereka hanya menjalankan perintah UU yang diproduksi DPR-RI. Jika para kader (caleg-caleg) protes atau kritik ke KPU sebenarnya mereka sedang menelanjangi diri sendiri. Itu yang disebut dengan gali lubang masuk sendiri di dalam lubang yang digali atau senjata makan tuan.
Terlepas dari kemelut ini, setelah mencermati berbagai fakta yang terjadi selama Pileg 2019, memang sudah saatnya setelah DPR-RI dan presiden 2019 dilantik, UU Pemilu harus segera dievaluasi menyeluruh dan atau direvisi. Mengapa? Agar pemilu yang sejatinya pesta demokrasi untuk memilih pemimpin dan wakil rakyat tidak menjadikan rakyat (PPS KPPS dan KPU, Bawaslu dan Aparat TNI/Polri) seperti robot-robot yang kalau mati pun bisa diperbaiki atau dibuat lagi. Pemilu legislatif saja sudah begitu banyak menimbulkan konflik internal maupun antar partai, apalagi pilpres yang ruang konfliknya lebih besar. Jika keduanya masih terus dipadukan dengan pemilu serentak pada pemilu 2024, maka berkaca pada situasi saat ini, bakal terjadi perang besar antar parpol yang tidak terhindarkan.
Mudah-mudahan, Pemilu 2024 lebih baik lagi, di mana tidak membuat caleg-caleg babak- belur, sress dan gila, dan tidak membuat antara calon presiden dan wakil presiden terlibat dalam konflik panjang yang membuat rakyat seluruh bangsa ini merasa resah dan tidak aman. Pemilu 2024 harus menghindari kematian petugas pemilu, memperkecil ruang konflik kekerasan antar calon, antar partai, dan terutama tidak membuat caleg babak-belur menunggu hasil berminggu-minggu. (bungkornell/suaraflores.com)