LARANTUKA, SUARAFLORES.COM,-Bencana tanah longsor dan banjir bandang melanda warga Pulau Lembata dan Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur (Flotim) pada bulan April 2021 silam, menjadi potret buram. Sejarah kelam itu bukan hanya karena terjadi bencana alam, tetapi menjadi sejarah kelam infrastruktur bendara lantaran pulau yang dipisahkan dengan laut Larantuka itu belum dibangun bandara. Akibatnya, Presiden Joko Widodo terpaksa harus turun di Bandara Frans Seda Maumere, lalu menggunakan hellycopter menuju Lembata dan Adonara.
Ada sebuah pertanyaan yang terbersit di benak warga Lembata dan Adonara, mengapa Presiden Jokowi tidak terbang langsung dari Jakarta-Larantuka dan ke Adonara atau juga dari Jakarta-Lembata dan mendarat di Adonara? Jawabannya, karena Kabupaten Flores Timur yang adalah titik daerah bencana belum memiliki bandar udara yang dapat didarati pesawat boing atau pesawat berbadan besar seperti pesawat milik kepresidenan.
“Kita belum memiliki bandara yang layak untuk didarati presiden, sehingga presiden membutuhkan hellycopter untuk menuju Adonara. Bandara kita Gewayan Tana adalah bandara berukuran kecil, sehingga tidak bisa didarati pesawat besar,” kata arsitek muda NTT, Don Ara Kian yang juga putra cerdas asal Pulau Adonara beberapa waktu lalu, saat ditanya suaraflores.com.
Dikatakan Don yang malang-melintang di dunia arsitek lokal dan nasional ini, di Adonara seharusnya dibangun bandara karena saat ini Kabupaten Flotim dan Lembata sudah masuk kategori daerah bencana. Untuk itu, ke depan perlu ada perencanaan pembangunan bandara, seperti pembangunan bandara di Adonara, atau juga perluasan dan perpanjangan landasan pesawat di Bandara Gewan Tana. Namun hal itu tidaklah mudah lantaran lahan bandara Gewayan Tanah sudah tak mungkin lagi diperluas atau diperpanjang.
“Masalah lahan menjadi masalah utama. Lokasi Bandara Gewayan Tanakan di tepi laut, jurang dan bukit yang sempit. Untuk diperlebar dan diperpanjang sangat susah, dan tak mungkin lagi untuk diperluas. Selain itu, masalah keamanan dan kenyamanan juga harus menjadi pertimbangan khusus,” katanya.
Untuk itu, menurut dia, perlu dipikirkan lokasi alternatif untuk pembangunan bandara baru berukuran besar sehingga bisa didarati pesawat berbadan besar kelas boing. Salah satunya bisa di Pulau Adonara. Pertimbangannya, Adonara saat ini telah menjadi daerah bencana yang butuh perhatian serius dari pemerintah Kabupaten Flores Timur, Pemprov NTT dan Pemerintah Pusat.
Diakuinya, beberapa tahun silam, memang sudah ada wacana dan perencanaan pembangunan bandara di Adonara sebagai solusi mengatasi keterbatasan pelayanan transportasi udara di Flores Timur yang juga adalah daerah obyek wisata religius, Semana Santa.
“Dahulu kita dengar sudah ada survey lokasi pembangunan bandara di Adonara, namun mungkin karena masih terkendala lahan, maka hingga kini belum adalagi informasi terkait rencana pembangunan bandara. Masalah lahan memang menjadi masalah utama di Adonara, namun ke depan perlu dipertimbangkan lebih matang karena bandara bukan sekedar gengsi daerah, tetapi juga jembatan emas kemajuan sebuah daerah,” kata dia.
Untuk diketahui, sebelumnya, pada September 2015 silam, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) RI telah menyetujui rencana pembangunan Bandara Adonara di Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur. Menurut rencana bandara Adonara akan dibangun pada tahun 2016 jika tak ada halangan. Hal itu disampaikan Kepala Dinas Perhubungan NTT, Richard Djami, seperti dilansir Antaranews.com.
Penegasan Kadis Richard Djami tersebut usai melakukan presentasi hasil survei terhadap tiga lokasi yang direncanakan untuk pembangunan bandara di Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Menurut dia, Kementerian Perhubungan segera mengeluarkan izin prinsip pembangunan Bandara Adonara.
“Setelah izin prinsip dikeluarkan, memang masih akan ada beberapa tahapan lagi yang harus dilakukan pemerintah daerah,”katanya.
Tahapan-tahapan lain yang harus dilakukan pemerintah antara lain pembuatan masterplan, studi tentang analisa dampak lingkungan (amdal) dan rencana teknik terinci (RTT) sisi udara dan darat. Untuk pembuatan masterplan dan Amdal, pihaknya sudah mengusulkan dana untuk diakomodir dalam perubahan APBD NTT 2015. Khusus untuk amdal sementara berproses dan aktivitas pembangunan sudah bisa dimulai.
Di era Gubernur Drs. Frans Lebu Raya, wacana pembangunan bandar udara Adonara sangat santer. Wacana itu kian menguat karena mendukung kehadiran Jembatan Palou-Tana Merah (Palmerah) yang digagas Frans Lebu Raya dan Kadis PU NTT, Ir. Andreas W. Koreh, MT.
Pasca berakhrinya jabatan Frans dan Andre Koreh, wacana bandara Adonara pun berangsur tenggelam. Sang Gubernur Viktor Laiskodat yang berkuasa kemudian, tidak lagi menganggkat atau menindaklanjuti wacana pembangunan bandara Adonara bahkan juga Palmerah.
Dikatakan Don, untuk kelanjutan pembangunan bandar udara di Adonara sebagai solusi mengatasi masalah trasnportasi udara dibutuhkan sentuhan tangan pemimpin (bupati dan gubernur) akan datang. Dia berharap, dengan adanya kepedulian pemimpin, maka perencanaan dan anggaran untuk pembangunan bandara dapat disiapkan.
Untuk diketahui, Provinsi NTT saat ini menjadi provinsi yang sangat banyak memiliki bandar udara. Hampir semua kabupaten telah memiliki bandara, bahkan ada kabupaten yang telah memiliki dua bandara yaitu Kabupaten Alor ada bandara Mali di Kalabahi dan Bandara Kabir di Pulau Pantar.
Sementara itu, ada beberapa kabupaten lagi yang belum memiliki banndara, yaitu Manggarai Timur, Nagekeo, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Sumba Tengah dan Sumba Barat Daya. Sedangkan Sabu Raijua telah memiliki bandara kecil, dan saat ini sedang dalam perencanaan pemerintah membangun bandara besar di Eilode-Sabu Timur. (bungkornell/sfc)