Belajar dari Lebanon dan Pakistan

by -58 Views
Suara Flores

Oleh: Dominggus Koro, pencinta politik yang spiritual

Kantor Forum Kerukunan Umat Beragama Sikka, Jumat 5 April 2019. Hari itu ada dialog lintas agama dengan berbagai kalangan masyarakat dan profesi. Saya hadir sebagai masyarakat, utusan Paroki St. Thomas Morus.

Pejabat dan tokoh penting tampil sebagai narasumber. Mereka adalah Kajari, Kepala Depag, Sekertaris FKUB dan perwira polisi yang mewakili Kapolres Sikka. Nada dasar pembicaraan mereka sama, yaitu menasehati dan mengajak kita untuk menjaga kerukunan, toleransi, persatuan dan kesatuan demi keutuhan bangsa. Apa yang mereka sampaikan memang amat penting dan, begini seharusnya adab, laku dan dharma (kebajikan) kita.

Dalam kerangka nasehat dan ajakan ini, Pak Jadobala menyentil nama Prabowo. Sang prihatin dengan, maaf,  “keluguan” sekretaris FKUB Sikka itu. Ia tahu Prabowo dikelilingi ormas ekstrem dan kelompok yang mencita-citakan khilafah. Namun, ia berupaya meyakinkan kami (baca: masyarakat, siapa saja yang ia temui), bahwa kekhawatiran akan khilafah tidak beralasan.

Ia mengatakan, “Prabowo ibunya Kristen. Saudaranya Hasyim Kristen, ada yang Katolik. Tidak perlu khawatir..”. Ia menafikan bahaya politik yang menggunakan kelompok ekstrem. Pernyataan ini sama lugunya dengan argumen yang pernah saya dengar di  tempat lain bahwa, Prabowo militer, mudah ia menjinakan kelompok macam HTI.

Tidak, tidak mudah tapi berbahaya seperti yang menimpa Lebanon dan Pakistan. Lebanon berupaya membangun negara di mana rakyat bisa bebas mengekspresikan diri. Tapi, negara itu lupa menangani kelompok radikal dalam sistem mereka. Ketika akhirnya mereka menyadari kesalahan itu dan mencoba mengatasinya, sudah terlambat. Kelompok radikal telah menjadi militan—Hisbullah.

Lebanon membiarkan Hisbullah dan, menderita karena pertikaian antar faksi. Presiden Hariri bertekad mengakhiri keadaan ini, namun yang berakhir justru dirinya. Ia tewas dibunuh dengan sadis.

Di masa Orde Baru kelompok-kelompok radikal tiarap, lalu tumbuh subur setelah reformasi (lihat Ilusi Negara Islam:2008). Pemerintah kita pun membiarkan mereka. Akibatnya, banyak masjid yang di atas kertas berada di bawah naungan NU dan Muhammadiyah, dikuasai dan menjadi lahan mereka.`

Mereka berhasil menciptakan robot. Mereka bisa melahirkan manusia macam Imam Samudera, Amrozi dan lain-lain. Manusia yang tidak memiliki akal sehat, tidak berperasaan dan tidak berempati terhadap sesama. Pembiaran telah menyusahkan kita.

Apa yang kita alami pernah dialami Pakistan. Presiden Pervez Musharraf menulis dengan lugas, betapa cara kerja kelompok-kelompok ini canggih. Mereka lakukan infiltrasi ke masyarakat. Mereka dibesarkan, didukung elemen-elemen dalam pemerintahan yang lebih mementingkan kedudukan daripada rakyat. Elemen-elemen tersebut membutuhkan bantuan dari kelompok-kelompok itu saat pemilihan umum—untuk menggerakan massa, kampanye, dan sebagainya.

Dalam memoirnya, In the Line of Fire: A Memoire (Free Press, 2008) Musharraf mengakui, “…kita lupa bahwa ketika kita membesarkan dan menggunakan orang dengan membakar semangat keagamaannya secara berlebihan dengan tujuan tertentu, maka orang itu sesungguhnya berada di pihak kita untuk kepentingan taktisnya sendiri.”

Secara gamblang Musharraf menjelaskan bagaimana kelompok-kelompok radikal memperoleh angin dari penguasa, sehingga kian hari mereka kian besar. Pertama, di zaman Ali Bhutto. Ia menyebut Bhutto sebagai orang paling bertanggung jawab atas kondisi negerinya.

“Antara lain,” tulisnya, “dia orang pertama yang memenuhi tuntutan-tuntutan kelompok-kelompok radikal. Ia melarang minuman keras, judi dan menyatakan hari Jumat sebagai hari libur nasional, bukan lagi hari Minggu. Itu kemunafikan, karena setiap orang juga tahu bila dia sendiri tidak yakin pada apa yang dilakukannya.”

Bhutto melakukannya demi kepentingan politik. Ia butuh support dari kelompok-kelompok itu.

Kemudian, Zia Ulhaq, penguasa yang menjatuhkan hukuman mati kepada Bhutto, memberlakukan hukuman cambuk—yang menurut Musharraf, “..sangat tidak manusiawi dan memalukan.”

Selanjutnya, “Presiden Zia, di tahun 1980, menyelesaikan apa yang dimulai Bhutto menjelang masa-masa terakhir rezimnya, yaitu sepenuhnya memuaskan kelompok-kelompok radikal dalam agama. Zia tidak memiliki landasan politik, maka ia mulai menghadiri acara-acara keagamaan secara berlebihan untuk menunjukan kemitraannya dengan kelompok-kelompok tersebut. Secara resmi ia melarang musik dan hiburan, kendati sebagaimana saya diberitahu, dia sendiri tetap menikmati musik semi-klasik secara sembunyi-sembunyi.”

Pakistan masih berdarah-darah. Kelompok-kelompok yang dibiarkan dan dibesarkan oleh penguasa telah menjelma sebagai monster dan siap mengoyak tubuh negara itu.

Kita berharap para calon pemimpin kita, entah Jokowi atau Prabowo, tidak akan memikirkan kedudukan belaka—dengan mencari dukungan ke kelompok-kelompok yang anti Pancasila.

Kita harus belajar dari Lebanon dan Pakistan. Kelompok radikal berjubah agama tidak boleh dibiarkan dan digunakan untuk menopang kekuasaan. Akan sulit kita membubarkan mereka.

Harga yang akan kita bayar terlalu mahal, bila bermain-main dengan kelompok-kelompok ini. Mereka tidak membela rakyat, apalagi memikirkan keutuhan dan keselamatan bangsa dan negara. Mereka berjuang demi apa yang mereka percayai sebagai ideal.

Sebelum mengakhiri tulisan ini saya kutip isi surat SBY tertanggal 6 April 2019—ditulis di Singapura dan ditujukan kepada elit Demokrat: “…terus terang tidak suka jika rakyat Indonesia harus dibelah sebagai “pro Pancasila” dan “pro Kilafah”. Kalau dalam kampanye ini dibangun polarisasi seperti itu, saya justeru khawatir jika bangsa kita nantinya benar-benar terbelah dalam dua kubu yang akan berhadapan dan bermusuhan selamanya. Kita harus belajar dari pengalaman sejarah di seluruh dunia, betapa banyak bangsa dan negara yang mengalami nasib tragis (retak, pecah dan bubar) selamanya.

“Daripada rakyat dibakar sikap dan emosinya untuk saling membenci dan memusuhi saudara-saudaranya yang berbeda dalam pilihan politik, apalagi secara ekstrim, lebih baik diberitahu , apa yang akan dilakukan Pak Jokowi atau Pak Prabowo jika mendapat amanah untuk memimpin Indonesia 5 tahun mendatang (2019-2024). Apa solusinya, apa kebijakannya? Tinggalkan dan bebaskan negeri ini dari benturan indentitas dan ideologi yang kelewat keras dan juga membahayakan.”

Dalam acara yang diselenggarakan Departemen Agama Sikka itu saya mengatakan tidak ada agama paling hebat, pun tidak ada agama tidak hebat. Tapi, yang paling hebat adalah hasil keagamaan, yaitu kesalehan. Kesalehan sinonim dengan pencerahan. Pencerahan sinonim dengan kebebasan dari perbudakan nafsu dan keserakahan yang memperanakan korupsi dan haus kuasa.

Kesalehan adalah keadaan jiwa yang bersih, dan dengan sendirinya menjadi anti-virus yang menolak pereduksian agama menjadi ideologi. Semoga keberagamaan kita mengantar kita kepada kesalehan. Sudah pasti Indonesia selamat dan menikmati cita-cita kemerdekaan, tidak menderita seperti Lebanon dan Pakistan. Nasib Indonesia berada di tangan kita sendiri.

Penulis: Pecinta Politik Yang Spiritual Tinggal di Maumere, Kabupaten Sikka, Pulau Flores, NTT

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *