SUARAFLORES.NET,–Keputusan Menteri Pariwisata Dr. Ir. Arief Yahya, M.Sc menonaktifkan Kepala Badan Otorita Pariwisata (BOP) Labuan Bajo, Manggarai Barat, NTT, diapresiasi oleh Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus,SH. Menurut Petrus, langkah yang diambil menteri sangat tepat karena mendengarkan aspirasi rakyat NTT yang menolak dengan tegas konsep wisata halal yang mau dikembangkan dalam membangun pariwisata di Labuan Bajo. Hal ini disampaikan Petrus kepada SuarafloresNet, dalam keterangan tertulisnya, Jumad (17/5/2019) di Jakarta.
Lebih lanjut, Petrus berharap, setelah Kementerian Pariwisata menonaktifkan secara permanen Kepala BOP Labuan Bajo, Shanah Fatinah, maka pihak Kementerian Pariwisata juga diharapkan mendengarkan terlebih dahulu suara dari publik NTT tentang siapa sosok yang tepat untuk menakhodai BOP Labuan Bajo, Flores.
“Sebelum menempatkan siapa pengganti Shanah Fatinah, Suara publik NTT perlu didengar karena itu adalah bentuk kepedulian dan partisipasi publik NTT terhadap persoalan cinta tanah air melalui Pariwisata NTT yang berciri kenusantaraan, keanekaragaman budaya lokal, lingkungan alam dan agama setempat sebagai unsur penting dalam Pariwisata NTT,” pinta Petrus yang juga sebagai pengamat Masalah Sosial dan Budaya NTT ini.
Menurut Petrus, Kementerian Pariwisata harus membudayakan sebuah model pendistribusian pejabat publik terutama penempatam personil untuk jabatan-jabatan strategis tertentu di NTT atau kawasan manapun dengan mendengar terlebihdahulu mendengarkan suara publik masyarakat daerah. Terutama, soal rekam jejak, tabiat, peri kehidupan sosial dan kesusilaan pejabat, juga menyangkut aspek “nilai dasar” khususnya nasionalisme (kecintaannya terhadap NKRI, Pancasila dan toleransi etika publik dan lain-lain sebagaimana dimaksud dalam UU ASN.
Mengapa hal itu perlu dilakukan? Menurut Petrus, agar Labuan Bajo ke depan tidak ada lagi ada Shana Fatina-Shana Fatina baru yang muncul dan melakukan aktivitas kepariwisataan yang berpotensi mengganggu kohesivitas masyarakat Labuan Bajo Flores dan kohesivitas BOP Labuan Bajo dengan Kementerian Pariwisata.
“Langkah tepat dan cepat Kementerian Pariwisata menjawab keinginan publik NTT terutama menolak program Wisata Halal diterapkan di Labuan Bajo Flores NTT dan menarik Shana Fatina dari BOP Labuan Bajo harus menjadi model dalam menyelesaikan suatu persoalan, apalagi terkait dengan perilaku pejabat yang diduga memiliki agenda tersembunyi yang kelak dapat mengganggu tugas pemerintahan umum di daerah di Labuan Bajo,” terangnya.
Lebih jauh, dia juga berharap, dalam membangun visi besar Pariwisata Indonesia di Labuan Bajo, sebagai daerah pariwisata super prioritas destinasi wisatawan dunia melalui BOP, maka putra putri NTT dengan latar belakang berbeda, dari beragam etnis, budaya dan adat istiadat perlu diberikan prioritas untuk mengambil bagian dalam memajukan Pariwisata Indonesia yang berbasis pada aspek sosial budaya, lingkungan alam (ekowisata), kearifan lokal, dan agama masyarakat setempat.
Ditegaskannya pula bahwa prinsip yang berlaku universal, yaitu setiap tamu harus menyesuaikan diri dengan lingkungan. Ada pepatah yang berlaku universal, yaitu “di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung.” Artinya, siapapun dia harus hormat pada budaya setempat.
Diberitakan sebelumnya, pemerintah dan masyarakat NTT menolak dengan tegas Konsep Pariwisata Halal yang mau diterapkan di Labun Bajo sebagai salah satu pusat pariwisata dunia. Pemerintah menilai, konsep tersebut sangat tidak menguntungkan pembangunan pariwisata NTT ke dalam dua gap yaitu halal dan tidak halal atau haram.
Menanggapi kasus tersebut, belum lama ini Petrus Selestinus menegaskan bahwa program Wisata Halal yang dicoba diterapkan oleh Shana Fatina tidak hanya berpotensi memecah belah kerukunan hidup umat beragama di NTT, tetapi juga bertolak belakang dengan Program Wisata Budaya yang sedang dikembangkan oleh Pemprov NTT sebagai destinasi wisatawan dunia. Publik NTT pun meragukan iktikad baik Shana Fatina karena mencoba menerapkan Wisata Halal di Labuan Bajo di luar Program Wisata Budaya dan bertolak belakang dengan realitas sosial budaya masyarakat NTT. (bkrsfn)