MAUMERE, SUARAFLORES.NET,–Tokoh pemuda yang menggaungkan Pancasila Sakti ke seluruh bumi Indonesia, Liberius Langsinus (Bung Sila) membangun Kampung Literasi Pancasila Sakti Dala Elat Kloangpopot, Maumere, Kabupaten Sikka, Pulau Flores. Kampung Literasi Pancasila Sakti tersebut secara resmi dilaunching oleh Wakil Bupati Sikka, Romanus Woga, Sabtu (2/3/3019) yang dihadiri pula oleh TNI, Polisi, Pemerintah Desa Kloangpopot, dan warga, secara khusus kaum muda.
Acara Launching Kampung Literasi Pancasila Sakti dimulai dengan penyerahan dokumen properti Misi Pancasila Sakti Keliling Indonesia berupa, Pigura Pancasila Sakti dan Buku Pancasila Dikhianati kepada Wakil Bupati Sikka, Romanus Woga dan Bendera Merah Putih dan Tongkat yang diserahkan oleh Bung Sila kepada Komandan Kodim (Dandim) Sikka, yang diwakili oleh Intel Kodim Sikka. Selanjutnya, properti tersebut diletakan di dalam Taman Baca Pancasila Sakti Dala Elat Kloangpopot.
Wakil Bupati Sikka, Romanus Woga dalam sambutan saat acara launching Kampung Literasi Pancasila Sakti Dala Elat Kloangpopot memberikan apresisasi atas inisiatif Bung Sila yang telah menjalankan Misi Pancasila Sakti ke seluruh bumi persada Indonesia hingga membangun Kampung Literasi Pancasila Sakti. Menurut Romanus, Misi yang diemban Bung Sila, seorang anak kampung dari Kloangpopot sesungguhnya merupakan misi mulia. “Hanya orang-orang terpilih yang bisa melakukan misi kebangsaan ini. Dan pasti diliputi oleh sebuah tekad yang bulat untuk kepentingan nusa dan bangsa,” kata Romanus.
Tentunya, lanjut Romanus, Pemda Sikka mengapreasiasi setiap anak bangsa yang memiliki gagasan-gagasan kreatif dan produktif. Dia mengatakan, jika mencermati benar-benar perjalanan Bung Sila dalam Film Dokumenter yang ditayangkan, maka bisa dilihat dia melewati segala medan dan cuaca yang ekstrim tetapi ia bisa. Hal ini karena dalam dirinya Bung Sila yakin ada penyertaan Allah, alam, arwah, adat istiadat dan akal budi. Itulah kesaktian Pancasila yang sudah dibuktikan Bung Sila dalam menjalankan misinya.
Sementara itu, Bung Sila, mengatakan, Kampung Literasi Pancasila Sakti itu ia dirikan melalui sebuah refleksi panjang setelah menjalan Misi Pancasila Sakti keliling Indonesia beberapa tahun lalu. Kampung Literasi Pancasila Sakti itu, selain untuk menanamkan Ideologi Pancasila juga untuk mendorong pendidikan generasi muda melalui gerakan membaca. Ia mengaku sangat mencengangkan ketika membaca hasil penelitian yang dipublikasikan Connecticut State University pada Maret 2016 yang menyatakan Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. Sementara UNESCO (2012) melaporkan bahwa kemampuan membaca anak-anak Eropa dalam setahun rata-rata menghabiskan 25 buku, sedangkan Indonesia mencapai titik terendah 0 persen.
Fakta tersebut, lanjut dia, artinya, dari seribu anak Indonesia, hanya satu yang mampu menghabiskan 1 buku dalam setahun. Begitu pula data penelitian yang dilakukan United Nations Development Programme (UNDP), tingkat pendidikan berdasarkan Indeks Penmbangunan Manusia (IPM) di Indonesia masih tergolong rendah, yaitu 14,6%. Persentase ini jauh lebih rendah dari pada Malaysia yang mencapai angka 28% dan Singapura yang mencapai angka 33%.
Menurut Bung Sila, akibat belum meratanya akses fasilitas pendidikan dan minimnya kualitas sarana pendidikan menjadi salah satu faktor penyebab utama perkembangan kualitas literasi di Indonesia. Berbagai upaya untuk menggenjot minat baca dapat dimulai dengan hal-hal sederhana, seperti mengubah pola pembelajaran di sekolah. Selain itu, membudayakan minat membaca mulai dari orang tua. Karena keluarga adalah sumber literasi informasi pertama tempat bertumbuh dan berkembangnya anak. Anak-anak biasanya mengikuti kebiasaan orang tua.
Oleh karena itu, kata Bung Sila, peran orang tua dalam mengajarkan kebiasaan membaca menjadi penting untuk meningkatkan kemampuan literasi anak. Karena literasi memerlukan serangkaian kemampuan kognitif, pengetahuan bahasa tulis dan lisan, pengetahuan tentang genre dan kultural. Memahami konsep literasi bukan hanya tentang membaca dan menulis, tetapi juga mencakup ekonomi, budaya, moral (moral literacy) dan literasi kritis (critical literacy). Agar setiap orang trampil berimajinasi, mengidentifikasi dan menggunakan informasi, mengevaluasi sumber-sumber informasi yang otoritatif, mengelola dan menyimpan informasi
dengan benar serta dapat menggunakan informasi secara etis. Sehingga dapat membentuk pribadi-pribadi yang berpikir kritis dan menjadi pembelajar seumur hidup.
Sementara itu, terkati Ideologi Pancasila, menurutnya, dalam perspektif paham kebangsaan dan nasionalisme, munculnya fenomena politik identitas sudah meretak semangat keberagaman. Media mainstream telah lumpuh dan konten berita media sosial yang tanpa sensor telah menguasai dinamika kehidupan sosial tanpa batas. Begitu pula ancaman terhadap Ideologi Pancasila semakin nyata dan terbuka. Pembubaran HTI tak berarti melenyapkan paham kilafahnya.
Mengutip Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) Wahid dalam Buku Pancasila Dikhianati Karya Bung Sila (terbitan 2014), ia mengungkapkan bahwa komitmen aktivis Islam terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tinggal 31 persen. Dikatakan pula “yang sudah tidak percaya dengan Pancasila 12 persen, tidak percaya dengan Undang-Undang Dasar 16 persen dan tidak percaya dengan Bhineka Tunggal Ika 26 persen. kata . Sementara Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) kembali merilis data hasil penelitian LIPI (2012) bahwa 86% mahasiswa di 5 Universitas tenar di Jawa “tolak Pancasila” sebagai Dasar Negara.
Bung Sila mengaku, dari perjalanan Misi Pancasila Keliling Indonesia, ia membuktikan hampir di setiap provinsi anak-anak sekolah tidak ingat lagi dengan Pancasila. Bahkan Pancasila tidak diajarkan di sekolah, seperti apa yang dikisahkan Nur, murid Kelas V SDN Suka Maju Lalubi Halmahera Selatan, dimana di sekolahnya Pancasila tidak ajarkan sehingga istilah Pancasila saja, Nur baru mendengarnya. Para guru-guru pun mengungkapkan rasa kekecewaan, karena kita tidak lagi menghargai jasa-jasa perjuangan para pahlawan bangsa. Akibatnya persatuan dan kesatuan bangsa mulai terpecah belah. Setiap suku bangsa tidak lagi menghargai persatuan Indonesia. Begitu pula Pendidikan Moral Pancasila(PMP) dan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) sudah dihilangkan dari kurikulum. “Bagaimana penerus bangsa kita bisa mengenali jejak sejarah pejuang-pejuang bangsa, kata Bung Silla menguitip pernyataan Lasmi Hayati, Pembina Pramuka SDN 10 Manggar Belitung Timur.
“Sebagai Pemuda Indonesia asal Desa Kloangpopot, penggerak dan perintis Misi Pancasila Sakti Keliling Indonesia, tentu kita merasa prihatin dengan kondisi kebangsaan kita saat ini, yakni ancaman terhadap persatuan bangsa mulai nyata. Karena kita lupa Pancasila, Watu Mahang Negara (dasar kehidupan berbangsa). Maka inisiatif mendirikan Kampung Literasi Pancasila Sakti di salah satu titik di wilayah kabupaten Sikka merupakan bagian kecil mengisi ruang kosong gerakan cinta tanah air dan bangsa. Jika hal ini menjadi gerakan bersama kita, maka literasi tidak lagi sekedar membaca dan menulis tetapi menghidupkan negara bangsa,” tegas Bung Sila.
Dari perspektif tersebut, kata Bung Sila, dirinya merasa bertanggungjawab untuk mendorong dan membangunkan kesadaran kolektif warga untuk bersama merawat persatuan bangsa untuk membumikan nilai-nilai luhur Pancasila bagi generasi bangsa dengan mendirikan Kampung Literasi Pancasila Sakti. Sehingga akan dibangun sebuah Lepo Pancasila Sakti sebagai museum mini, dimana menjadi tempat untuk menyimpan properti Misi Keliling Indonesia, ada taman baca, dan studio pemutaran film-film kebangsaan.
Selain itu, ada pun suguhan makanan kuliner seperti aneka ubi bakar, urap sayur paku dan pucuk labu yang menjadi branding Lepo Pancasila Sakti. Dan juga, di dalam Kampung Literasi Pancasila Sakti, ada pula bentuk kegiatan lain, yakni: Kelas Inspirasi (mendengar, membaca dan menulis), menggalang pengumpulan buku bacaan, hari berbahasa Inggris, kontes musik kampung, video kreatif, dan nobar Film Dokumenter tiap
dua pekan. (bungkornell/sfn)