KUPANG, SUARAFLORES.NET,–Bakal calon gubernur NTT, Kristo Blasin, mengunjungi para pemulung di kawasan TPA, Kelurahan Alak, Kota Kupang, Minggu (3/12/2017). Bertolak dari kediamannya Penfui Kupang, Kristo didampingi Ketua Bara Kristo, Andreas Goru dan timnya tiba di tumpukan sampah raksasa menggunung di kawasan pembuangan sampah terbesar di Kota Kupang tersebut.
Disaksikan media ini, ketika turun dari mobil Kristo yang mengenakan baju kaos putih, celana panjang abu-abu dan bersandal jepit langsung merasakan aroma bau busuk yang menusuk paru-paru dan kepungan lalat. Meski lumpur busuk dan lalat berterbangan kian kemari, namun Kristo tidak menghiraukannya. Ia berjalan pelan menghampiri dan menyapa para pemulung yang sedang mengais “sepiring nasi dan seteguk air” di tengah-tengah timbunan sampah yang busuk.
“Selamat siang bapa dan mama,” sapa Kristo yang berdiri di dekat mereka melihat anak-anak yang sedang memilih sampah-sampah plastik untuk dijual. “ Siang juga bapa,” jawab beberapa pria yang sedang bongkar-bangkir sampah yang baru dibuang oleh truk pengangkut sampah. Tampak mereka berebut rejeki bersama puluhan ekor sapi, babi, kambing dan anjing.
Tak lama menyapa puluhan pemulung (anak-anak, pemuda, ibu-ibu), Kristo berjalan menuju bagian timur di rumah-rumah kumuh tempat para pemulung berteduh dari hujan dan panas. Kristo menyapa dua orang ibu yang sedang beristirahat di dekat karung-karung sampah mereka.
“Siang mama apa kabar,” tanya Kristo. “ Siang juga bapa, kabar baik,” jawab ibu-ibu itu tersenyum malu-malu. Kristo berdiskusi dengan kedua ibu itu, dari pekerjaan dan penghasilan mereka setiap bulan hingga biaya sekolah anak, kesehatan dan pemukiman yang layak. Mereka pun tampak tidak malu menceritakan pekerjaan mereka setiap hari di tempat busuk itu secara terbuka.
Suzana (39), yang sudah bekerja sebagai pemulung sejak tahun 1989, di hadapan Kristo menceritakan bahwa ia sudah lama bekerja pilih-pilih sampah bersama suaminya. Penghasilannya setiap bulan rata-rata Rp200.000,- lebih. Jika sampahnya berkualitas baik, maka penghasilan penjualan sampah bisa lebih dari itu, tetapi kalau sampah kelas rendah seperti plastik agua maka rata-rata kecil uangnya.
“Saya sejak tahun 1989 mulai jadi pemulung. Saya tinggal di Osmok. Setiap hari ke tempat ini untuk mencari uang. Anak saya satu orang sekarang sekolah di SMP 14. Dia sekolah gratis, jadi kami hanya mencari uang untuk makan minum tiap hari dan beli pakaian dan untuk urusan lainnya,” ungkap Suzana.
Yumina, rekan Suzana pun menceritakan kehidupannya setiap hari di tempat pembuangan sampah (TPA Alak-red). Kepada Kristo, ia mengungkapkan bahwa ia memiliki 5 orang anak. Ada yang sudah sekolah dan ada yang belum. Suaminya adalah petugas kebersihan di lokasi itu yang digaji oleh pemerintah. Meski suami pegawai, ia tidak malu mengais rejeki di kubangan sampah.
“Suami saya pegawai kebersihan pak. Saya kerja di sini untuk tambah-tambah belanja kebutuhan rumah tangga. Penghasilan saya ya kurang lebih Rp200 -300 ribu setiap bulan. Ya lumayan lah bisa bertahan hidup,” ungkapnya.
Usai berdialog dengan ibu-ibu rumah tangga, Kristo bergerak menemui seorang pria tua yang duduk bersama anak laki-lakinya di bawa sebuah tenda kumuh. Kedua pria yang santai menhisap rokok dan mamah siri pinang itu kaget tiba-tiba Kristo sudah masuk dalam tenda kumuh dan duduk bersama keduanya. Kristo terlibat diskusi seru seputar kehidupan dan impian mereka di masa depan.
“ Sudah berapa lama bapak kerja di sini,” tanya Kristo. “ Sudah lama bapak, sudah sangat lama,” jawab lelaku tua bernama Abulu yang berasal dari Pulau Rote. Di ungkapkannya, ia memiliki beberapa orang anak, ada yang sekolah sudah sampai SMA. Ia bekerja untuk membiayai anak-anak dan rumah tangganya. Dalam sebulan sekali timbang sampah ia bisa mendapatkan Rp500-600 ribu.
Abulu berharap, ke depan, pemerintah bisa buat yang terbaik bagi para pemulung untuk kesejahteraan mereka. “Saya harap pemerintah buat yang terbaiklah untuk kami pemulung yang hidup dari sampah-sampah ini,” kata Abulu sembari menarik rokoknya.
Setelah berdialog dengan Abulu dan anaknya, Kristo pun keluar dari tenda reot dan berjalan ke selatan. Di atas bukit kecil yang dikelilingi sampah-sampah plastik yang telah dipilih, Kristo bertemu seorang perempuan tua yang mengenakan kain dan baju biru. Wajah ibu itu langsung menyambut senyum Kristo yang sudah berdiri di sampingnya. Ibu yang tampak uzur itu menyambut jabatan tangan Kristo dengan malu-malu karena tanganya kotor dan bau.
“Aduh bapak, maaf tangan saya kotor,” kata ibu tua kepada Kristo. “Oh.. tidak apa-apa mama, kita sama-sama orang susah. Saya juga anak petani dari gunung,” kata Kristo kepada ibu tua yang kurang lebih 60 tahun itu. “Mama kenapa mau pilih sampah di sini, kan mama sudah tua? “Untuk beli makan minum bapak. Kalau saya tidak kerja nanti siapa kasih saya uang,” ungkap jujur perempuan bernama lengkap Sarce Nenobasu.
Selain Zuzane, Abulu, Yumina dan Sarce, Kristo juga menyapa banyak pemulung lainnya yang tengah sibuk membongkar-bangkir sampah mencari rupiah. Kristo dan tim kemudian meninggalkan lokasi timbunan sampah raksasa sembari membawa pulang oleh-oleh bau busuk yang terus direfleksikan untuk perubahan nasib para pemulung ke depan.
Ketua Barisan Relawan Kristo (Bara Kristo), Andreas Goru, kepada media menerangkan, kunjungan ke TPA Alak bagi Kristo sudah beberapa kali. Uniknya, dalam kunjungan kali ini, Kristo tidak menyentil atau memperkenalkan kalau dirinya adalah seorang kandidat calon gubernur dari PDIP.
“Pak Kristo hanya mau melihat kondisi kehidupan rakyat kecil yang hidup dari sampah-sampah busuk. Dia tidak sedikit pun memperkenalkan diri sebagai calon gubernur. Pak Kristo tidak mau merepotkan orang-orang kecil di sini, dan mengganggu kesibukan mereka. Selain tempat ini, Kristo akan mengunjungi tempat-tempat lainnya sebagai bekal baginya untuk mempersiapkan program jika kelak dipercaya jadi gubernur NTT akan datang,” kata Andre. (bkr/sft)