SUARAFLORES.NET,–Kisah kehidupan keluarga besar Ir. Soekarno (Bung Karno) tidak terlepas dari peranan sekian banyak orang kecil. Mereka berasal dari keluarga kecil, dari berbagai agama dan suku bangsa. Ada orang Jawa, Bali, NTT, dan lain-lain. Salah satunya adalah Ibu Helena Pareira, seorang perempuan asal Maumere, Flores, NTT. Helena adalah salah satu perempuan perawat yang turut merawat Ibu Fatmawati dan anak-anaknya.
Sebagaimana dikisahkan oleh Drs. Didinong Say,(salah satu putra kandung Ibu Helena) kepada Suaraflores.Net, Minggu (2/6/2019) di Jakarta, bahwa Helena Pareira adalah salah seorang puteri AM. Boer Pareira da Rato, Kapitan Hamente Bola Maumere Flores, NTT di tahun 1930-an. Pada tahun 1935, atas bantuan kerabat Raja Sikka, Don Thomas da Silva yang bernama Moat Nong Selong Pareira, Helena bersama Tereja da Silva dapat diterima sebagai murid wanita pertama di Schakelschool setingkat SMP, di Ndao Ende. Mereka seangkatan dengan Frans Seda, Herman Fernandez, Dion Lamuri, Silvester Fernandes, Willem Wowor dan lain-lain. Itulah masa di mana Helena sebagai anak-anak untuk pertama kalinya mendengar dan melihat seorang buangan politik (interniran) dari Jawa yang bernama, Soekarno (Bung Karno) di Kota Ende.
Setamat Schakelschool pada 1940, dengan menumpang kapal pengangkut sapi KMP Waikelo, bersama Frans Seda, Silvester, Herman Fernandez, Helena berangkat ke Tanah Jawa. Frans Seda dan kawan-kawan menuju ke Sekolah Guru Bantu Van Lith di Muntilan, sedangkan Helena menuju ke Mendut, sebuah sekolah keputrian yang dibina oleh suster suster Katolik.
Pada tahun 1942, balatentara Dai Nippon masuk ke Indonesia. Saat itu, sekolah-sekolah umum yang dibina oleh Misionaris Katolik asal Belanda dibubarkan oleh Jepang. Para pembinanya dijebloskan ke dalam kamp tahanan. Helena sangat beruntung karena di saat itu ia berada di RS. Panti Rapih Jogyakarta untuk mengikuti pendidikan lanjutan bidang keperawatan. Rumah sakit, para dokter dan perawat adalah tempat dan pihak yang tidak diganggu sama sekali oleh Jepang di masa perang tersebut.
Baca juga: Kisah Para Tokoh tentang Kunjungan Soekarno di Maumere
Baca juga: Dikala Bungkarno Tepuk Bahu Si Tukang Kayu dari Iligai
Pada tahun 1945, setamat dari pendidikan keperawatan di RS. Panti Rapih Jogyakarta, Helena terus bekerja di rumah sakit tersebut. Barangkali Helena merupakan perawat pertama asal Flores yang tamat dari RS. Panti Rapih Jogyakarta. Saat itu, ia menyaksikan dan mengalami dampak Perang Dunia ke -II di rumah sakit tempatnya bekerja. Dirinya ikut merawat banyak korban pertempuran Ambarawa antara Tentara Indonesia yang dipimpin Jenderal Soedirman melawan Tentara Inggris yang datang ke Indonesia untuk melucuti Tentara Jepang.
Dikisahkan Didi Say, antara tahun 1946 hingga 1949, Ibu Kota Republik Indonesia berpindah ke Jogyakarta. Saat itu, Presiden Bung Karno dan keluarganya juga pergi dan tinggal di Jogyakarta. Di masa sulit itu, dukungan Gereja Katolik bagi kehidupan keluarga Bung Karno sebagaimana ditunjukkan oleh Uskup Semarang Mgr. Soegiyopranoto sangat berarti. Uskup Soegiyopranoto tercatat pernah memberikan dukungan logistik untuk keluarga Bung Karno, yaitu ketika Bung Karno ditangkap Belanda pada Clash II. Uskup Semarang ini juga memerintahkan para suster dan perawat dari RS. Panti Rapih untuk selalu siap melayani kepentingan istri kepala negara, Ibu Fatmawati.
Ketika Ibu Fatmawati melahirkan salah seorang puterinya di Jogyakarta, para perawat dan bidan dari RS. Panti Rapih datang dan tinggal di dalam istana selama 3 bulan untuk merawat isteri dan anak Bung Karno tersebut. Salah satu di antara perawat itu adalah Helena Pareira. Helena pernah menceriterakan sepenggal pengalamannya merawat Ibu Fatmawati.
“Bung Karno itu suka sekali mencuri lihat ketika para perawat sedang memandikan dan membersihkan Ibu Fatmawati pada saat-saat awal setelah melahirkan. Sebagai perawat dan mengikuti perasaan wanita, Helena pernah menegur secara halus sang proklamator tersebut agar jangan datang menonton ketika ibu Fatmawati sedang dimandikan. Namun Bung Karno berkilah bahwa itu adalah pemandangan terindah yang tak boleh dilewatkan,” tutur Didi Say mengulangi kisah sejarah mendiang ibunya.
Baca juga: Ribuan Rakyat Sambut Bung Karno, Lagu Proklamasi Berkumandang
Baca juga: Frans Seda Tokoh Tiga Zaman dan Bandara Tertua di Flores
Setelah pengakuan kemerdekaan RI oleh Belanda pada tahun 1950, Helena melanjutkan pendidikan kebidanan di RS St. Boromeus Bandung selama 1 tahun. Kemudian, ia mulai berkarya sebagai perawat bidan di RS. St. Carolus Jakarta sampai dengan tahun 1953. Di Jakarta, Helena juga sempat masuk dalam tim medis St. Carolus yang live in di Istana Merdeka untuk merawat Ibu Fatmawati ketika beliau melahirkan puterinya yang lain.
Bung Karno selalu mengingat semua orang, secara khusus orang-orang yang telah membantu keluarganya. Tidak heran bahwa di tahun 1957, pada kunjungan ketiga Bung Karno ke Kota Ende Flores, dari atas panggung, Bung Karno di awal orasinya sempat menanyakan keberadaan suster perawat asal Flores bernama Helena yang pernah ikut merawat keluarganya di Jogyakarta dan Jakarta.
Fakta sejarah menulis bahwa Helena kemudian menikah dengan Laurensius Say, seorang pria cerdas dan berani asal Maumere, Flores pada tahun 1954. Laurensius Say kemudian menjadi Bupati Kabupaten Sikka ke tiga yang menjabat dari tahun 1967-1977. Helana meninggal di Maumere dan dimakamkan di Pemakaman Iligetan (g) Maumere. (bungkornell/sfn)