Kasus Tanah Eks HGU Nangahale,  Bupati, Uskup dan Masyarakat Adat Berdialog

by -45 Views
????????????????????????????????????

MAUMERE, SUARAFLORES.CO- Jalan perjuangan masyarakat adat Tana Ai khususnya Suku Soge dan Suku Goban , untuk mendapatkan pengakuan hak ulayat atas tanah eks HGU Nahangale-Patiahu, Kec. Talibura, Kabupaten Sikka, akhirnya kembali terbuka. Pada Jumad, 6 Mei 2016 lalu dilaksanakan dialog antara masyarakat adat, Kekuskupan Maumere dan Pemda Sikka bertempat di Ruang Rapat Lepo Bispu, Jl. Wairklau, Maumere.

Pertemuan yang berlangsung lebih dari 2 jam tersebut difasilitasi langsung oleh Bupati Sikka, Yosep Ansar Rera. Selain itu, turut hadir Uskup Maumere, Mgr. Kherubim Parera, SVD, manajemen PT. Kristus Raja Maumere (PT.Krisrama), Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sikka, staf Dinas Pertanian Kabupaten Sikka, dan staf Dinas Kehutanan Kabupaten Sikka.

Sementara itu, masyarakat adat Suku Soge dan Suku Goban diwakili oleh Januarius Aris, Ignasius Nasi, Romanus Ruben, Darius Dare, Yakobus Juang, Ludovikus Lado, Dominuk Doni, dan Leonardus Leo serta didampingi oleh Dewan Pengarah PBH Nusra sekaligus Direktur Lembaga Pendidikan Kritis dan Advokasi Rakyat (BaPikir), John Bala dan aktifis PBH Nusra, Are de Peskim. Kedatangan delegasi masyarakat adat diantar oleh sekitar 60-an anggota komunitas.

Yosep Ansar Rera saat membuka diskusi meyatakan bahwa pembicaraan terkait HGU Nangahale sudah dilakukan hanya saja belum menemui titik akhir. “Kita sudah bicara panjang lebar untuk menyelesaikan persoalan tanah eks HGU Nangahale hanya saja di titik akhir itu kita belum menemui kesepakatan. Teman-teman PT. Krisrama juga mengajukan usulan sementara masyarakat adat juga ke Jakarta untuk menyampaikan usulannya sehingga ada baiknya kita duduk bersama untuk membangun kesepakatan,” terangnya.

Sejalan dengan Ansar Rera, John Bala selaku pendamping masyarakat adat menyatakan bahwa pertemuan ini dirancang sesuai rekomendasi pertemuan pada akhir April lalu di tempat tersebut untuk mendengar langsung perencanaan dan perjuangan yang sudah dibuat oleh masyarakat adat.

“Pertemuan ini dirancang untuk menghasilkan titik temu antara masyarakat adat dan PT. Krisrama,” tegas John Bala. Lebih jauh, John menyatakan bahwa yang hadir dalam pertemuan tersebut adalah perwakilan Suku Goban dan Suku Soge. “Kalau ada suku lain yang mengklaim tanah tersebut maka tidak termasuk dalam dua suku tersebut,” tegasnya.

Sementara itu, Uskup Maumere, Mgr. Kherubim Parera,SVD, menyatakan, selama ini pihak PT. Krisrama dan masyarakat adat tidak pernah bertemu karena pihaknya mendapatkan hak tersebut dari pemerintah. “Kita berjuang masing-masing karena kami dapat hak tersebut dari pemerintah, dari negara,” ungkapnya.

Meskipun demikan, karena pengajuan perpanjangan yang diajukan PT. Krisrama (perusahaan milik keuskupan Maumere, red) ditanggapi Kementerian Agraria dan Tata Ruang dengan meminta pihaknya berunding terlebih dahulu dengan masyarakat adat pemegang hak asal usul dan yang sedang melakukan reclaim atas tanah tersebut. Mgr. Kherubim menyatakan bahwa pihaknya disibukkan dengan urusan ini.

“Kalau repot begini kami kembalikan kepada negara dan kami akan dapatkan 30% sesuai kebiasaan dan perundingan karena kami tidak mau berkelahi dengan masyarakat karena masyarakat ini juga umat kami,” ujarnya.

Presentasi Usulan Pemanfaatan Tanah

Masing-masing pihak yang hadir dalam dialog tersebut juga mempresentasikan usulan perencanaan pemanfaatan lahan eks HGU Nangahale-Patiahu ke depannya. Usulan perencanaan dari Pemerintah daerah Kabupaten Sikka, dipresentasikan oleh Elkana M. Hale dan Abel Asamau dari BPN Sikka.

Pemda Sikka merencanakan beberapa bentuk pemanfaatan lahan yakni untuk perkebunan HGU, lahan untuk gereja, dan pemukiman penduduk. Lahan untuk kepentingan publik yang dimaksudkan adalah untuk kepentingan pembangunan pasar, koramil, Fakultas Pertanian Universitas Nusa Nipa, dan jalan tani. Masyarakat disediakan areal pemukiman seluas 3, 4 Ha.

Direktur PT. Krisrama, Pater Julius, SVD mengatakan PT. Krisrama sebagai perusahaan milik gereja Keuskupan Maumere berjuang memperpanjang HGU demi mewujudkan visi pengembangan kapasitas lokal untuk meningkatkan kesejahteraan.

“Kami ingin benar-benar hadir untuk gereja, masyrakat dan pemerintah,” tegasnya. Dirinya tidak mempersentasikan rencana pemanfaaatan lahan melainkan menyampaikan perencanaan perusahaan perkebunan PT. Krisrama kedepannya.

“Kami ingin menerapkan dan mengembangkan pengetahuan mengenai pengelolaan dan pengembangan hasil perkebunan kelapa,” ujarnya.

Lebih jauh, beliau menyampaikan bahwa masyarakat setempat akan dilibatkan dalam produksi terutama untuk menambah nilai lebih terhadap produk. “Kami tidak mungkin merekrut masyarakat dari luar padahal ada masyarakat di sekitar misalnya arang kelapa atau nata de coco kan bisa diolah oleh ibu bapa semua,” imbuhnya.

Sementara itu, Yakonus Juang, Ignas Nasi, dan Leonardus Leo dari perwakilan masyarakat adat mengatakan bahwa secara garis besar pihaknya mengusulkan pemanfatan pasca HGU dalam beberap bentuk yakni pemukiman penduduk, lahan garapan, area publik (termasuk lahan untuk fakultas Pertanian Unipa), area konservasi serta lahan untuk kepentingan gereja baik untuk bangunan ibadah maupun untuk lahan usaha. Mereka menghendaki gereja diberi hak milik bukan hak guna usaha.

“Gereja adalah kami, kami juga gereja. Kami tidak mau gereja terus mengontrak. Oleh karena itu, kami ingin gereja diberikan hak milik,” tegas Tana Pu’an Suku Goban, Leonardus Leo.

Sementara itu, terkait perencanaan perkebunan, koordinator delegasi masyrakat adat, Januarius Aris mengatakan bahwa sebaiknya gereja atau PT. Krisrama tidak menngganti bentuk usahanya dengan bentuk usaha yang tidak membutuhkan terlalu banyak lahan.

“Harusnya itu intensifikasi pertanian bukan ekstensifikasi, kelapa sudah tidak bagus dan butuh banyak lahan sehingga sebaiknya diganti dengan tanaman lain dan metode lainnya yag tidak menguasai banyak lahan,” tegasnya.

Hal ini disampaikan terkait hak masyarakat juga untuk mendapatkan lahan pertanian. “Kami ini orang petani ,kalau tidak ada lahan untuk u’a uma kare tua (bertani,red), bagaimana kami hidup,” ujar Aris.

Hasil dari dilog ini merekomendasikan dibentuknya tim bersama-sama dengan masyarakat adat meninjau lokasi atau titik-titik perencanaan masyarakat untuk kemudian didiskusikan kembali pada Jumad, 13 Mei 2016 akan datang. Tim tersebut terdiri dari perwakilan BPN, perwakilan masyarakat adat, dan perwakilan PT Krisrama.

Usai dialog, Mgr. Keherubim Parera dan Yoseph Ansar Rera  menyempatkan diri menemui anggota komunitas adat yang turut mengatar para delegasinya di halaman Lepo Bispu. Kepada masyarakat yang juga umatnya tersebut. Mgr. Kherubim meminta masyarkat untuk bersama-sama berpikir yang terbaik kedepan. Uskup juga memuji pikiran masyrakat adat bahwa mereka dan gereja dan gereja adalah mereka.

“ Tanah itu tanah untuk kepentingan kita semua. Tadi saya senang sekali karena kamu berpikir gereja adalah kita. Kalau selama ini macam kita bentrok, bukan itu maksud kita,” ujarnya. Lebih jauh dirinya mengatakan proses ini tentu sulit namun harus dilihat kepentingan semua pihak, bukan satu pihak saja. (tim/are/sf)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *