Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau ASN atau birokrat sejatinya tidak berpolitik praktis alias tidak berkampanye untuk mendukung figur calon tertentu dalam hajatan pilkada. Hal itu telah diatur dalam UU Aparatur Sipil Negara (ASN). Meski demikian, pegawai negeri atau para birokrat tetap mempunyai hak untuk memilih atau memberikan suaranya. Hal ini beda dengan TNI dan POLRI yang tetap netral alias tidak memilih. Benarkah PNS tidak terlibat dalam politik dukung mendukung para calon gubernur?
Di NTT, khususnya di birokrat Pemerintahan Propinsi NTT, ada ribuan pegawai negeri dari yang menduduki jabatan strategis kadis, kabid, kepala seksi, kepala badan hingga pegawai-pegawai biasa. Hal yang sering menohok, dalam dua kali pilkada gubernur NTT, para oknum birokrat (tidak semua) meski tidak tampil di muka umum, sebagian mereka diam-diam menjadi tim sukses di jaringan birokrat. Sering terdengar ada ‘Ketua Tim Sukses Birokrat’ untuk memenangkan sang calon gubernur yang mereka dukung.
Dalam pantauan dan rekaman media, dalam pesta pilkada, para oknum birokrat bukan hanya terlibat menjadi ‘tim sukses bawa tanah,’ tetapi juga sekaligus menjadi donatur kampanye. Bentuk sumbangan mereka bermacam-macam, ada yang dalam bentuk uang kas, ada dalam bentuk atribut, ada dalam lainnya. Mereka berjuang keras dengan berbagai cara agar memenangkan calonnya menjadi gubernur agar tidak dibilang mereka hanya, duduk manis’ menunggu diberi jabatan. Hal ini lumrah karena nasib mereka ditentukan gubernur terpilih.
Fakta ini sudah seringkali terjadi di dalam pilgub, hanya saja Bawaslu yang menjadi pengawas pemilu diduga tidak terlalu jelih dalam mencermati dinamika gelap-gelapan yang terjadi di dalam sarang birokrat. Jika saja, Bawaslu benar-benar menjalankan fungsi pengawasan 100 persen, dan mengawasi ketat kerja politik para oknum birokrat, sejatinya mungkin saja gerakan politik para oknum birokrat ini bisa diredam.
Lebih jauh, benarkah dalam pilgub 2018 ini para oknum birokrat NTT tidak terlibat sebagai tim sukses oknum calon tertentu? Mungkin saja tidak, tetapi bisa juga ya. Dari penelusuran media, sejak awal proses pilgub NTT 2018, ada begitu banyak oknum birokrat terlibat aktif dalam dukung mendukung calon-calon gubernur yang mereka jagokan. Meski tidak terbuka atau membuka diri, mereka secara diam-diam tetap bergerak dengan berbagai cara dan modus.
Namun demikian, tidak etis untuk membeberkan nama-nama para birokrat tersebut, karena itu menyangkut keselamatan dan keamanan mereka bila calon gubernur yang mereka dukung tidak terpilih. Karena juga tentu berkepentingan dengan nasib mereka. Biarlah itu menjadi tugas Bawaslu NTT untuk membuktikannya karena mereka dibiayai dengan ratusan miliar APBD NTT untuk melakukan fungsi pengawasan.
Saat ini, di tengah –tengah masyarakat NTT muncul berbagai pertanyaan. Netralkah para birokrat NTT dalam pilgub kali ini? Siapakah yang akan mereka dukung dan mereka pilih menjadi gubernur yang akan menjalankan pemerintahan dan mengamankan posisi mereka masing-masing? Dua pertanyaan ini, sudah menjadi pertanyaan rutin berulang-ulang dikala pilkada digelar. Mengapa para birokrat sering menjadi ‘lahan garapan’ para oknum calon gubernur, terutama calon yang ingin mempertahankan status quo nya?
Dalam beberapa kali pilgub, seperti disaksikan media, para birokrat secara khusus yang berkepentingan dengan jabatan atau yang sedang menduduki jabatan menjadi ‘orang-orang yang dilematis yang terbelenggu.’ Mereka menjadi dilema karena mereka terbebani dengan UU ASN yang mengatur pergerakan mereka, mereka dilema karena sudah utang budi diberikan jabatan, dan mereka merasa cemas dan takut kalau jabatan yang mereka duduki bisa hilang ke orang lain.
Oleh karena itu, terutama para para birokrat yang sudah mendapatkan jabatan, mereka merasa serba salah ( karena utang budi) kalau tidak mendukung calon gubernur yang diusung status guo yang ingin melanjutkan tampuk kekuasaannya. Mereka kemudian berani bermain gelap-gelapan melakukan operasi senyap di bawa tanah dengan biaya sendiri ataupun melalui alasan perjalanan dinas.
Apa resiko yang akan mereka peroleh apabila calon gubernur yang mereka dukung kemudian kalah? Fakta membuktikan, resiko yang ditanggung para ‘birokrat pemain politik gelap’ sangat besar dan menyakitkan. Dari fakta terselubung yang sering ditemukan, sudah pasti jabatan mereka hilang, sudah pasti mereka dimutasi, bahkan tidak mendapatkan jabatan samasekali (non-job) selama masa jabatan gubernur terpilih berkuasa. ‘Politik balas dendam,’ bukan lagi hal baru dalam suksesi kepemimpinan di NTT. Hal inilah yang menjadi resiko terburuk yang akan didapat atau dinikmati oleh para oknum birokrat yang berani bermain politik.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo telah mengingatkan, agar aparatur sipil negara (ASN) harus netral dalam penyelenggaraan Pilkada 2018. Dia menegaskan ada sanksi bagi ASN yang melanggar ketentuan tersebut. Sanksinya sudah dirumuskan oleh Menpan (Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi),” ujar Tjahjo, seperti dilansir Kompas.com beberapa waktu lalu. Namun demikian, tampaknya masih sulit untuk bagi ASN untuk netral 100 persen. Mengapa? Nasib PNS memang ditentukan oleh Negara dalam hal ini Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, namun nasib jabatan birokrat, seperti kepala dinas, kepala bidang, kepala seksi, kepala badan dan lain-lain, ada di tangan pemimpin (gubernur) terpilih.
Panorama politik yang sering terjadi, setelah gubernur baru terpilih, dia pasti memilih birokrat-birokat baru yang adalah orang-orang kepercayaannya yang ia yakini loyal dan bisa menjalankan program politiknya di birokrasi. Memang, untuk menempatkan para kepala dinas dalam birokrat ada BAPERJAKAT (Badan Pertimbangan Jabatan), namun demikian BAPERJAKAT ini terkadang menjadi “Macan Ompong” karena kekuasaan penuh ada di tangan gubernur terpilih. Gubernur terpilih menjadi eksekutor terakhir yang menentukan siapa di posisi apa.
Pesta pilgub NTT 2018 tinggal empat hari lagi. Rakyat NTT akan menentukan siapa dari empat calon yang disodorkan KPUD NTT di atas kertas suara. Rakyat bawah dan juga para birokrat NTT yang kini tengah berkuasa 10 tahun sudah pasti telah mempunyai pilihan di dalam hatinya. Ada Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Esthon Foenay-Christian Rotok (1), ada Marianus Sae-Emilia Nomleni (2), ada Benni Kabur Harman – Benny Litelnoni (3) dan ada Viktor Laiskodat-Josep Nae Soi (4). Satu dari empat pasangan ini akan menjadi pemimpin NTT akan datang yang menentukan nasib rakyat dan terutama nasib birokrat lima tahun mendatang. Satu hal yang harus diwaspadai, hati-hati jangan sampai birokrat hanya menjadi sapi perah yang diberi ‘janji manis gula-gula relaxa manis-manis pedis.’ Waspadalah ! (Penulis: Kornelius Moa Nita, Redaktur Suaraflores.net)