SUARAFLORES.NET-PDIP NTT tengah mengalami turbulensi politik yang hebat. Pasca penetapan Marianus Sae-Emilia Nomleni, memicu banyak tanggapan dan pendapat dari para kader-kader senior dan simpatisan serta masyarakat luas. Aksi terbuka dilakukan sejumlah kader terbaik yang juga Cagub PDIP NTT tereliminasi seperti Kristo Blasin, Ray Fernandez, Daniel Tagu Dedo dan Honing Sanny mendukung Cagub-Cawagub lainnya yakni Victor Laiskodat-Josef Nai Soi.
Sikap politik para kader terbaik PDIP NTT ini, memperlihatkan ada sesuatu yang sedang putus, antara PDIP sebagai Partai Kader berbasis ideologis kerakyatan marhaenisme dengan penetapan DPP PDIP yang mengakomodir Cagub Marianus Sae-Emilia Nomleni yang masih diragukan latar belakang basis ideologis perjuangannya. Plus tanpa adanya komunikasi dan koordinasi politik yang baik antara petinggi DPD PDIP NTT dan DPP PDIP. Padahal, di jajaran pengurus teras DPP ada 2 orang putera NTT. Mereka adalah Andreas Hugo Pareira, politisi PDIP asal Sikka dan Herman Heri, politisi PDIP asal Ende yang memiliki peran sangat penting.
Jika benar demikian, maka menjadi tanda tanya besar, kenapa Andre Hugo Pareira dan Herman Heri tidak bisa melakukan koordinasi politik yang baik dengan petinggi DPD PDIP NTT? Sebut saja Ketua DPD PDIP NTT, Frans Lebu Raya, Wakil Ketua DPD PDIP NTT Kristo Blasin yang juga Cagub PDIP NTT, Ketua DPC PDIP TTU, Ray Fernandez yang juga Cagub PDIP NTT.
Baca: Megawati “Buang”, PDIP akan Tuai Malapetaka di Pilgub NTT
Hal ini harusnya dilakukan agar keputusan yang diambil tidak menimbulkan pemberontakan seperti sekarang ketika DPP PDIP menetapkan pasangan MS-EN. Tetapi, kenapa justru Andre Hugo Pareira dalam pernyataannya mengatakan bahwa PDIP akan membuat kejutan. Apakah kemudian inilah yang disebut kejutan politik ketika Keputusan DPP PDIP tetapkan MS-EN langsung dibalas dengan pemberontakan para kader terbaiknya?
Publik patut bertanya, kenapa baru kali ini kondisi PDIP NTT bisa berantakan seperti ini. Ada apa dengan keputusan DPP PDIP, sehingga langsung ditentang keras. Dimanakah peran sentral Andre Hugo Pareira dan Herman Heri yang kemudian tidak bisa meredam sikap protes para kader PDIP NTT yang berani membuat pembangkangan terbuka? Apakah Keputusan DPP PDIP itu benar-benar sebuah keputusan politik yang sudah matang atau karena faktor kepanikan politik tertentu?
Baca: Kristo Blasin Percaya Megawati Putuskan Terbaik bagi NTT
Ini pertanyaan-pertanyaan penting yang patut digarisbawahi secara serius. Sebab, ketika bicara kualitas kader terbaik PDIP NTT seperti Kristo Blasin dan Ray Fernandez sebagai Cagub NTT juga punya nilai jual tinggi dan peluang menang pun besar. Tetapi mengapa point penting ini tidak memikat seorang Andre Hugo Pareira dan Herman Heri, sehingga sepertinya hanya melihatnya dengan sebelah mata?
Sosok seperti Kristo Blasin misalnya, apa yang kurang darinya ketika mengurus PDIP NTT? Waktu 10 tahun menjadi Ketua Banggar DPRD NTT? Ia adalah sosok penting dibalik suksesnya seorang Frans Lebu Raya dan PDIP NTT bisa menguasai panggung politik NTT hampir 15 tahun terakhir dengan program monumentalnya Desa Anggur Merah yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya Program Nasional Dana Desa & lahirnya UU Desa.
Tidak ada satupun cacat moral politik yang dia (Kristo Blasin, red) lakukan. Ia sungguh menjaga ideologi perjuangan PDIP, sehingga hidupnya tetap sederhana. Tak sedikitpun wajah marhaennya berubah menjadi wajah kapitalis. Ia pun taat asas dan terus menuntun dengan baik Frans Lebu Raya menakodai PDIP NTT dengan baik sampai hari ini.
Baca: Benarkah ada Skenario Scan Tandatangan Megawati untuk SK Palsu Cagub ?
Kristo adalah sosok pemersatu bersama sahabat sejatinya, Frans Lebu Raya di tubuh Partai Banteng Moncong Putih NTT. Tetapi kemudian kenapa hari ini, DPP PDIP seolah-olah tidak mengenalnya dan meragukannya? Bahkan meremehkannya hanya karena alasan mencari Cagub yang berprestasi? Memangnya seorang Kristo Blasin itu tidak berprestasi? Lantas, prestasi seorang Frans Lebu Raya menakodai NTT selama ini bukan juga merupakan prestasi seorang Kristo Blasin, sebagai kader partai yang setia memberikan masukan dan pendapat.
Apalagi, visi misi dan program kerja seorang Cagub-Cawagub kan disusun bersama dengan petinggi partai. Sangatlah naïf, jika seorang Kristo Blasin dinilai tidak berprestasi. Sungguh sebuah ironi politik yg sangat tidak elok.
Lebih buruk lagi, ada selentingan yang beredar jika Kristo Blasin ditolak DPP PDIP karena tidak punya modal biaya politik yang cukup. Ini sesuatu yang sangat menyakitkan. Jika benar demikian, maka pertanyaannya adalah apakah kedepan setelah era Frans Lebu Raya, lalu Kristo Blasin dan Ray Fernandez yang berani maju Cagub NTT dengan modal politik minus, masih adakah kader PDIP NTT yang bisa tampil?
Ini sebuah pelajaran politik yang sangat berharga dan patut direnungkan. Masih adakah kader PDIP NTT yang sehebat Frans, Kristo dan Ray? Apalagi, Frans Lebu Raya sudah tidak bisa maju lagi, sedangkan Kristo Blasin dan Ray Fernandez hampir dipastikan hengkang dari PDIP. Apakah PDIP masih bisa bertahan disebut partai kader dengan sistem kaderisasi terbaik? Ataukah berubah menjadi partai yang hobby melahirkan kader-kader instant?
Baca: Politi Itu Selalu Dinamis Mengikuti Perkembangan Jaman
Rasanya, PDIP NTT bakal alami masa-masa sulit pasca keputusan DPP PDIP, jika Andre Hugo Pareira dan Herman Heri tetap memainkan politik di PDIP NTT dengan karakter politiknya yang selalu penuh dengan kejutan dan beraroma wangi mawar merah. Apalagi hampir dipastikan rivalitas politik antara Andre Hugo Pareira dan Herman Heri versus Kristo Blasin & Ray Fernandez, ditambah Frans Lebu Raya yang akan menuju senayan 2019 tidak terelakan.
Tampilnya Frans Lebu Raya ke senayan 2019, jelas menjadi faktor yang sangat mengganggu seorang Andre Hugo Pareira dan Herman Heri. Ditambah munculnya nama Kristo Blasin, sesama orang Sikka dengan Andre Hugo Pareira, dimana Kristo Blasin kini sedang dilirik Partai Nasdem untuk diusung ke Senayan 2019. Demikian pula dengan Ray Fernandez.
Nah, sampai disini, muncul sebuah pertanyaan kritis, mengapa sekarang antara sesama politisi PDIP NTT, dalam hal ini Frans Lebu Raya, Kristo Blasin dan Ray Fernandez dengan Andre Hugo Pareira dan Herman Heri, bisa muncul perbedaan politik yang tajam sekali? Kenapa keputusan DPP PDIP menetapkan MS-EN menimbulkan perlawanan? Adakah salah dan dosa seorang Kristo Blasin ataukah Ray Fernandez, sehingga disingkirkan begitu saja oleh DPP PDIP dan membuat keduanya kecewa sekali? Adakah hal yang disembunyikan dan tidak dibicarakan baik-baik bersama Frans, Kristo dan Ray? Ataukah memang ada intrik politik tertentu yang mungkin menjadi alasan petinggi DPP PDIP asal NTT, AHP dan HH untuk menyingkirkan mereka?
Mungkinkah karena kepentingan politik ke senayan 2019 itu? Atau semata-mata target politik jangka pendek Pilgub NTT mencari figur yang memiliki dukungan modal politik yang kuat seperti kader PAN Marianus Sae. Sebab suka tidak suka, luka politik ini akan terbawa terus. Lihat saja hari ini, Kristo, Ray, Daniel dan Honing sudah merapat ke kubu Victor-Joss yang tentunya diikuti seluruh barisan pendukungnya. Dan, ini tidak boleh dianggap remeh.
Andre Hugo Pareira dan Herman Heri tentu menjadi orang DPP PDIP yang paling berkepentingan untuk menang, jika tidak ingin “digantung” oleh Ketua Umum PDIP Ibu Megawati Soekarno Putri. Karena bagaimanapun juga, kedua orang ini yang paling berperan dibalik lolosnya MS-EN sebagai Cagub-Cawagub PDIP NTT. Satu lagi, keduanya juga harus berjuang keras agar tidak dituduh sebagai biang kehancuran PDIP NTT.
Masih ingat kasus Honing Sanny didepak dari kursi DPR RI Fraksi PDIP dan keanggotaan partai? Apalagi paket MS-EN sesungguhnya lebih dahulu diusung PKB, sementara PDIP hanyalah partai pendukung. (war/sfn).