SUARAFLORES.NET,— Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Viktor Bungtilu Laiskodat akan menutup Taman Nasional Komodo (TNK). Alasan utama yang disampaikan adalah untuk menyelamatkan binatang purba itu dari ancaman kepunahan karena berkurangnya rusa yang menjadi makanan utama komodo.
Menyikapi keputusan Gubernur Laiskodat, banyak warga berpendapat berbeda. Menurut mereka, langkah itu seharusnya tidak dilakukan kalau hanya beralasan rusa yang merupakan makanan komodo sudah berkurang. Alasan lainnya, dengan penutupan TNK, maka jumlah wisatawan luar negeri maupun dalam negeri ke Pulau Komodo akan berkurang bahkan mungkin sepi. Dengan demikian, akan menurunkan pendapat daerah, negara dan ekonomi warga di Labuan Bajo, Manggarai Barat.
Menanggapi polemik soal penutupan TNK, Wakil Gubernur NTT, Joseph Nae Soi, saat dikonfimasi Suaraflores.net di Jakarta, Senin (21/1/2019) lalu menerangkan bahwa semua pihak harus bisa membedakan TNK sebagai taman yang dilindungi dan dikonservasi, dan TNK sebagai pusat pariwisata. “Harus dibedakan dulu TNK sebagai taman yang dilindungi dan dikonservasi dan TNK sebagai pusat pariwisata. Kalau kita mau supaya komodo tetap eksis dan menjadi dinosaurus yang masih hidup satu-satunya di dunia, maka dia harus dilindungi, salah satunya dengan konservasi,” kata Nae Soi.
Menurut Nae Soi, konservasi itu dilakukan supaya tersedianya makanan komodo yang cukup. Jika makanan komodo tidak berkecukupan karena dicuri oleh manusia, maka komodo akan menjadi kanibal. “Konservasi sangat penting. Salah satu bentuknya adalah menutup sementara TNK supaya dapat mengembalikan komodo pada habitat aslinya. Untuk menjaga dia tetap eksis, maka kebutuhan makanannya harus benar-benar terjaga,” kata Nae Soi.
Meski Pemprov NTT bersikukuh akan menutup TNK dengan berbagai argumennya, niatan tersebut ternyata ditentang keras oleh pemerintah pusat. Wakil Presiden Jusuf Kalla yang adalah tokoh pencetus Komodo menjadi salah satu dari 7 keajaiban dunia, menentang keras. Menurut Kalla, TNK tidak perlu ditutup.
Baca juga: Harga Tiket ke TNK akan Naik, Ini Komentar Pelaku Pariwisata Flores
Baca juga: TNK Ditutup, Nae Soi: Harus dibedakan TNK sebagai konservasi dan pusat pariwisata
Dikutip dari Antarnews.com, Kalla mengatakan, ditutup atau tidak TNK, komodo tetap perlu makan, sehingga hal itu seharusnya bukan menjadi alasan bagi Pemprov NTT untuk menutup taman nasional tersebut.
“Kalau saya lihat, alasannya Gubernur Viktor itu untuk memperbanyak atau mengembangbiakkan rusa. Tapi jangan lupa, dikunjungi atau tidak dikunjungi, itu tetap saja (komodo) perlu makan,” kata Kalla kepada wartawan di Kantor Wakil Presiden Jakarta, Selasa. (19/2/2019) lalu.
Menurut Jusuf Kalla, upaya pengembangbiakan rusa seharusnya dapat berjalan seiring dengan pembukaan Taman Nasional Komodo. Pengembangbiakan rusa tersebut dapat dilakukan di tempat lain, sehingga TN Komodo tidak perlu ditutup. “Itu benar bahwa perlu makannya rusa, kambing itu lebih terkait. Kalau ada pertanyaan apa dikembangkan di tempat lain dulu lalu dibawa ke situ, itu bisa saja,” tambah Kalla.
Terkait penutupan TNK juga mendapat reaksi dari Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman. Seperti dikabarkan Antaranews.com, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman akan menggelar rapat koordinasi untuk membahas rencana penutupan Pulau Komodo yang menjadi bagian Taman Nasional Komodo selama satu tahun dari kunjungan wisatawan.
Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Manusia, Iptek, dan Budaya Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Safri Burhanuddin saat dihubungi di Jakarta, Selasa, mengatakan, rakor tersebut akan digelar pekan depan setelah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melakukan pembahasan internal mengenai masalah itu. “Kami akan segera menggelar rakor dengan mengundang semua pihak terkait termasuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga Kementeian Pariwisata. Karena, begitu dikatakan menutup, kan dampaknya luar biasa bagi wisatawan yang berencana ke Labuan Bajo,” katanya.
Menurut Safri, penutupan Pulau Komodo yang menjadi salah satu atraksi utama destinasi wisata Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, perlu dipikirkan matang-matang. Pasalnya, meski bertujuan untuk menjaga kelestarian satwa endemik komodo, kawasan tersebut juga menjadi salah satu titik destinasi wisata unggulan Tanah Air.”Taman Nasional Komodo kan kawasan yang dikelola Kementerian LHK, tentu mereka tahu urgensinya. Pemerintah NTT juga yang punya wilayahnya, sedangkan Kementerian Pariwisata kan tentu ada target tertentu untuk menjaring wisatawan. Maka, perlu ada keputusan komprehensif terkait masalah ini,” ujarnya.
Safri menyebut salah satu cara yang bisa ditempuh agar kawasan taman nasional tetap terjaga sekaligus tetap menjadi atraksi wisata adalah dengan mengatur jumlah pengunjung sesuai dengan daya dukungnya. “Dulu Pak Menko (Luhut Pandjaitan) mengusulkan agar Pulau Komodo dan Rinca itu pengunjungnya dibatasi. Jadi, idenya bukan ditutup, tapi dibatasi, dilihat dari daya dukung pulau tersebut karena utamanya adalah bagaimana komodo bisa bertahan,” jelasnya.
Tolak Harga Tiket Dinaikan, Stop Komersialisasi Komodo
Selain mendapat reaksi dari pemerintah pusat soal penutupan TNK, sebelumnya, para pelaku pariwisata di Pulau Flores, NTT juga bereaksi menolak keras rencana Gubernur NTT yang akan menaikan tarif masuk ke Pulau Komodo. Para pelaku pariwisata menilai Gubernur NTT terlalu berlebihan jika wacana itu direalisasikan.
Kepala Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) Kabupaten Sikka, Heribertus Adjo mengatakan bahwa harga tiket ke Pulau Komodo yang selama ini sebesar Rp150.000, ke depan akan naik menjadi Rp7 juta setiap kali masuk merupakan tindakkan mengkomersialisasikan Komodo. “Sangat mahal sekali. Bagi saya, ini bentuk komersialisasikan komodo yang berlebihan. Sesungguhnya, Komodo terkenal bukan karena uang,” tegas Heribertus Ajo kepada SuaraFlores.Net, beberapa waktu lalu.
Baca juga: Komodo, 1 dari 10 Tempat di Indonesia yang Wajib Dikunjungi
Baca juga: Tahun 2019, PDAM Tirta Komodo Optimis Hadapi Tantangan
Heribertus Ajo berpendapat bahwa yang harus dilakukan untuk menata TNK, bukan sekedar menaikan harga tiket masuk, tapi cara mengelola yang patuh dan taat pada desain konservasi tanpa harus memberatkan pengunjung secara berlebihan. Lagi pula, komodo itu merupakan berkat dari Langit, dari Yang Maha Pencipta untuk hidup berdampingan dengan penghuni alam lainya dimuka bumi ini. “Kenapa pengunjungnya harus dibuat susah? Apalagi didukung oleh Lembaga UNESCO sejak tahun 1991 yang menetapkan komodo ini sebagai warisan dunia (World Heritage). Jadi, komodo bukan milik NTT saja. Oleh karena itu, perlu kearifan berinteraksi dalam mengatur bukan menyulitkan,” tegasnya.
Ia menekankan bahwa uang memang diperlukan dalam melakukan konservasi tetapi bukan dengan cara komersialisasi yang berlebihan. Sebenarnya tanpa disadari, rencana tersebut secara tidak langsung, pemerintah telah menjadikan komodo sebagai komoditi untuk mendapatkan uang (kejar uang).
Dia menegaskan bahwa pemerintah hanya mencari akal supaya mendapatkan banyak uang. Demi uang, pemerintah memuat macam-macam aturan yang tidak menguntungkan pelaku pariwisata. “Kita sampai sendiri lupa bahwa komodo sendiri bisa eksis itu tanpa uang tapi karena seleksi alam. Jadi bukan soal uang saja untuk menghayati dan mengatur konservsi, tapi soal cara adalah juga bagian dari konsern kita. Saya merasa saat ini campur tangan manusia dalam hal uang sudah terlalu berlebihan. Untuk itu, kita harus merasa malu pada binatang komodo atas sikap manusia yang mengambil keuntungan dari keberadaannya. (tim/sfn)