SUARAFLORES.NET,–Suasana rumah tua di tepi jalan raya Melolo-Waingapu terlihat sepi usai hujan mengguyur Kota Waingapu di sore itu. Di halaman rumah yang luas rindang dengan hijau pepohonan, ada seekor anak sapi yang sedang asyik memakan batang pisang. Langkah kaki Suaraflores.net memasuki halaman rumah tua itu disambut dengan cuitan burung yang bersarang di teras rumah. Tampak kursi-kursi dan meja tua telah siap menerima tamu. Setelah pintu diketuk, seorang pria perlahan membuka pintu. Ia mengenakan kaca mata, berbaju kaos dan celana panjang hitam. Dialah Sang Dokter Lapoe Moekoe salah satu tokoh penting pembangunan Kabupaten Sumba Timur.
Usia pria spesialis dokter kesehatan itu tidak lagi muda. Gerak jalannya sudah melambat, rambutnya sudah memutih, namun semangatnya masih tinggi meski sudah berusia 80-an. Disentil perjalanan hidupnya, mata Lapoe Moekoe langsung menyala-nyala dan dahinya yang berkerut terlihat cerah semangat kembali mengingat masa lalunya yang penuh dengan perjuangan panjang. Saksi hidup pembangunan Sumba Timur ini mulai mengisahkan bahwa ia lahir di Sumba Barat dan bersekolah SD sampai SMP di sana. Usai menamatkan pendidikan SD dan SMP, ia pergi merantau ke Surabaya, Pulau Jawa untuk melanjutkan SMA dan perguruan tinggi. Di Pulau Jawa, ia terus belajar keras untuk menuntut ilmu hingga tamat pada usia 30-an tahun.
Setelah lulus sekolah, lanjutnya, ia tidak kembali ke Sumba karena harus mengikuti wajib militer. Setelah lama hidup mendadu nasib dan menimba ilmu di tana rantau, ia kemudian pulang dan bekerja di Rumah Sakit Lende Moripa, Waikabubak, Sumba Barat selama kurang lebih 9 tahun. Karena Rumah Sakit Lende Moripa waktu itu menjadi satu-satunya rumah sakit, tugasnya sangat berat. Apalagi dengan keterbatasan perawat dan fasilitas medis pendukung. Kehadirannya sangat membantu mengobati begitu banyak warga yang sakit dan menyelamatkan kaum perempuan dan anak-anak yang kala itu jauh dari sentuhan tenaga medis, terutama di desa-desa pedalaman.
Suatu ketika, di sela-sela kesibukanya menjalankan tugas pelayanan kesehatan, datanlah beberapa tokoh Golkar dari Kupang. Para politisi Golkar tingkat Provinsi NTT itu memintanya untuk menjadi calon bupati dari Sumba Timur. Ia menolaknya karena merasa bukan orang politik, ia hanya seorang dokter yang tidak dan belum terlibat samasekali di dunia politik praktis. Karena para politisi Golkar itu terus mendesak dengan alasan telah mendapat dukungan dari seluruh warga di desa- desa, maka ia kemudian menerimanya setelah mendiskusikannya secara serius dengan istrinya. Waktu itu usianya kurang lebih 40 tahun. Ia pun kemudian meninggalkan Waikabubak dan pergi ke Waingapu, Sumba Timur menjawab positif tawaran Golkar yang kala itu sedang mengalami masa-masa jaya. Ia akhirnya terpilih menjadi bupati dan memimpin Sumba Timur periode 1977-1983, menggantikan Bupati Umbu Haramburu Kapitan.
Membangun Infrastruktur
Di saat ia menjadi bupati pada tahun 1977-1983, bertepatan dengan Repelita 1, dimana pembangunan infrastruktur makin meningkat. Pembangunan di Sumba Timur, lanjut dia, baru dimulai karena ada Instruksi Presiden (INPRES) yang dikucurkan pemerintah pusat untuk membantu pembangunan daerah. Dana-dana tersebut dipakai untuk membangun pra sarana jalan, sekolah dan rumah sakit. Selain itu, juga digunakan untuk membangun sekolah dasar (SD Inpres), puskesmas-puskemas, serta jalan dan jembatan.
Waktu itu, kisah Lapoe Moekoe, ia mulai mengenal dan berhubungan baik dengan seorang pengusaha asal Tiong Hoa bernama Baba Sema.Karena pemerintah masih sangat kekurangan kontraktor untuk mempercepat pembangunan fisik, ia menggunakan jasa Baba Sema melalui perusahaannya yang bernama Lotus. Pasalnya, Baba Sema telah menjadi kontraktor utama yang cukup pengalaman dan memiliki modal usaha. “Dahulu kontraktor hampir tidak ada di Sumba. Kontraktor dari luar daerah pun tidak ada, karena masing-masing daerah membutuhkan kontraktor untuk membangun daerah mereka,”kenang Lapoe Moekoe.
Lapoe Moekoe mengaku mengenal Baba Sema sebagai seorang pekerja yang sangat baik karena hasil kerjanya berkualitas. Ada juga pemborong-pemborong lain yang baru bertumbuh dan baru mulai belajar. Sebagai mitra pemerintah, Baba Sema cukup berjasa untuk kemajuan pembangunan di Sumba Timur. Proyek-proyek infrasturktur yang dia kerjakan dulu terutama jalan, yaitu jalan negara dari Sumba Timur sampai Sumba Barat. Selain itu, juga jalan-jalan di Kabupaten Sumba Timur. “Ada juga pekerjan-pekerjaan gedung kantor bupati pertama (kantor lama). Kalau gedung yang baru, dibangun oleh kontraktor dari Kupang karena proyek itu dikerjakan oleh pemborong dari propinsi,”katanya.
Diceritakannya, menghadapi Pemilu pada tahun 1982, datanglah Menteri Pekerjaan Umum (PU) ke Melolo di awal tahun 1982. Waktu itu, Menteri PU memantau Jembatan Malolo yang rusak dan hanyut dibawa banjir. Setelah Menteri PU pulang, ia langgsung memerintahkan agar jembatan tersebut segera dibangun kembali untuk kelancaran distribusi logistik pemilu ke desa-desa, dan sebagai sarana transporatasi warga. Jembatan itu diperintahkan oleh Menteri PU harus sudah selesai sebelum pemilu digelar.
Pekerjaannya, lanjut Lapoe Moekoe, dikebut selama 6 bulan dan selesai sebelum pemilu digelar. Panjang jembatan tersebut sekitar 100 meter dengan biaya sangat besar. Jembatan Melolo sebenarnya adalah jatah untuk Provinsi Sumatera, namun dialihkan ke Sumba. Waktu itu, bandara dan pelabuhan sudah ada jadi transportasi laut dan udara sudah mulai lancar. Jadi yang banyak dikerjakan adalah membuka isolasi jalan dan jembatan ke desa-desa.
Sekilas Tentang GKS
Dikisahkan Lapoe Moekoe, sewaktu ia menjadi bupati, Gereja Kristen Sumba (GKS) sudah melayani 80 jemaat cabang di seluruh Pulau Sumba. Karena butuh dana yang sangat besar, maka GKS masih bergantung kepada Belanda. Selain gereja, ada dua rumah sakit (Lende Mori dan Lindi Mara) dan sekolah-sekolah. Sekolah-sekolah SD waktu itu hampir seluruhnya sekolah Kristen dibantu oleh Belanda. Pemerintah baru mulai membangun setelah penyerahan kedaulatan tahun 1949 dari Belanda ke Indonesia.Waktu itu dilakukan dinas pendidikan yang bernaung dibawa Yayasan Persekolahan Masehi. Sementara, sekolah-sekolah pemerintah baru mulai pada tahun 1950-an.
Nah, pada waktu putus hubungan Indonesia-Belanda, lanjut dia, misi Zending di Belanda menghentikan bantuan. Ia merasakan sangat susah waktu itu karena ia sendiri kuliah di Surabaya berkat beasiswanya dari Belanda. Ia hampir putus sekolah waktu itu. Karena ia sekolah dokter, maka waktu itu biaya kuliahnya kemudian ditanggung Rumah Sakit Lende Mori di Waikabubak.
“Saya dengan seorang teman, namanya dokter Berek Rajda Helu biaya sekolah kami ditanggung oleh rumah sakit Lende Mori. Saya kemudian pulang dan mengabdi di rumah sakit Lende Mori. Saya bekerja 9 tahun di Lende Mori. Nah, pada waktu itu, GKS dan Belanda mencari jalan bagaimana bantuan bisa berjalan. Saat itu, GKS terselematkan karena adanya Firma Lotus Bersaudara. Jadi, Zending di Belanda mengirim dana ke GKS melalui jasa Toko Firma Lotus. Tentunya, melalui jaringan bisnis yang dibangun waktu itu. Toko Firma Lotus sangat berjasa dalam menyelamatkan GKS waktu itu karena belum bisa berdiri sendiri. Pada waktu saya berhenti dari jabatan bupati, masih tetap ada bantuan dari Belanda untuk GKS,” ungkapnya.
Lelaki tua yang kaya pengalaman sejarah ini mengisahkan pula, waktu penyerahan kedaulatan, Sumba masih dimpin oleh seorang kepala daerah Sumba. Belanda membagi NTT dalam tiga daerah, yaitu Kepala Daerah Timor, Kepala Daerah Flores dan Kepala Daerah Sumba. Kepala Daerah Sumba waktu itu adalah Umbu Tipuk Marisi yang berkuasa pada tahun 1948-1960. Ia memimpin sangat lama karena waktu itu tahun 1958 pemerintah baru mengeluarkan daerah otonom. Penyerahan masih dalam sistem Belanda dibawa pimpinan asisten Residen Sumba. Dahulu belum ada DPR, yang ada hanya perwakilan raja-raja.
Pasca penyerahan kedaulatan (setelah ada undang-undang baru), lanjutnya, Pulau Sumba kemudian dibagi menjadi dua kabupaten, yaitu Kabupaten Sumba Timur dan Sumba Barat. Bupati pertama Sumba Timur adalah Dapawole. Ia berkuasa dari tahun 1960-1971. Setelah itu, Dapawole diganti bupati kedua, yaitu Umbu Hamburu Kapitan yang memimpin Sumba Timur pada tahun 1971-1977, dan dirinya sendiri menjadi bupati Sumba Timur yang ketiga dari tahun 1977-1983. Bupati berikutnya`adalah seorang tentara yang bernama Sway. (bungkornel/suaraflores.com)