Oleh: Petrus Selestinus,SH*
Penyelenggara Negara mempunyai peranan yang sangat menentukan dalam penyenggaraan negara untuk mencapai cita-cita perjuangan bangsa, mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana tercantum dalam UUD 1945. Untuk itu perlu diletakkan asas-asas penyelenggaraan negara karena praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme tidak hanya dilakukan antar Penyenggara Negara melainkan juga antara Penyelenggara Negara dengan pihak lain yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta membahayakan eksistensi negara, sehingga diperlukan landasan hukum untuk pencegahannya.
Untuk itulah perlu dibentuk sebuah UU, yaitu UU No. 28, Tahun 1999, Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; yang antara lain mengatur tentang kewajiban setiap Penyelenggara Negara. Ada 7 (tujuh) kewajiban Penyelenggara Negara menurut pasal 5 UU No. 28 Tahun 1999, 2 (dua) diantaranya adalah : bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama dan setelah menjabat; dan melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan setelah menjabat. Itulah beberapa point yang merpakan pertimbangan pembentukan UU No. 28 Tahun 1999.
Di dalam pasal 20 UU No. 28 Tahun 1999, disebutkan bahwa setiap Penyelengara Negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 angka 1, 2, 3, 5 atau 6 dikenakan sanksi Administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Begitu pula dengan ketentuan pasal 21dan 22 mengancam dengan pidana penjara maksimum 12 tahun dan denda paling banyak Rp. 1 miliar bagi Penyelenggara Negara yang melakukan Kolusi dan Nepotisme. Ketentuan pasal 21 dan 22 di atas menegaskan bahwa perbuatan Kolusi dan Nepotisme juga dapat dipidana selain perbuatan Korupsi.
Selama ini, penerapan sanksi bagi Penyelenggara Negara yang lalai melaporkan kekayaan dengan mengisi LHKPN untuk diperiksa dan diumumkan kepada publik oleh KPK, nyaris tak terdengar termasuk di Pemda Sikka, kalaupun ada instruksi dari pimpinan lembaga negara kepada bawahaannya-pun tidak banyak yang patuh. Padahal sanksi yang diatur di dalam pasal 20 UU No. 28 Tahun 1999 jika ditegakkan secara konsekuen, maka bisa dipastikan tidak ada satupun Penyelenggara Negara yang lalai. Berdasarkan berita media, dalam waktu dekat KPK akan mengumumkan nama-nama Anggota DPR RI yang lalai melaporkan kekayaan di dalam LHKPN, dengan maksud agar publik bisa memberikan sanksi sosial termasuk tidak memilihnya lagi di dalam pemilu legislatif 2019. Namun demikian mestinya KPK juga segera koordinasi dengan Sekjen DPR RI untuk mengatur penjatuhan sanksi administrtatif terhadap para Anggota DPR yang membuat UU No. 28 Tahun 1999 tersebut.
Juga Bupati Sikka Roby Idong beberapa waktu yang lalu mengeluarkan ancaman akan mencopot jabatan setiap Penyelenggara Negera di lingkungan Pemda Sikka apabila lalai melaporkan harta kekayaannya dalam LHKPN untuk disampaikan ke KPK. Langkah Roby Idong ini sangat tepat, sebagai bagian dari upaya pencegahan korupsi dari internal Pemda Sikka. Mengapa, karena kewajiban melapor kekayaan bagi setiap Penyelenggara Negera adalah kewajiban asasi yang harus dipenuhi. Jika saja masih ada Pejabat Pemda Kabupaten Sikka yang masih enggan melaporkan kekayaannya dalam LHKPN kepada KPK, maka ybs. patut diduga memiliki kekayaan yang jumlah tidak wajar dan melampaui gaji resmi yang diterima sebagai Penyelenggara Negara selama ini di Sikka atau dengan kata lain ybs, memiliki pendapat lain diluar gaji resmi dan itu harus dideclare di dalam LHKPN supaya tidak dicurigai aebagai hasil dari KKN.
Dengan LHKPN itu akan terlihat dengan jelas, kekayaan yang dimiliki seseorang Penyelenggara Negara dari usaha yang halal atau haram, karena setiap kekayaan yang dmiliki si Pejabat itu harus dijelaskan dasar perolehannya seprti : asal usulnya, tahun berapa dibeli, berapa harga pembeliannya, dimana letak obyek/harta kekayaannya yang semuanya akan diukur dengan melihat pendapat sah si Penyelenggara Negara ybs. Jika saja Penyelengara Negara ybs gajinya pas-pasan kemudian dia membelajakan kekayaannya dengan harga yang melampaui gajinya, maka KPK akan menjadiman dasar penyelidikan ke arah dugaan terjadi KKN pada pejabat ybs. dan itu yang membuat banyak Penyelenggara Negara enggan melapor ke KPK.
*Penulis: Mantan Komisioner Kamisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) Tahun 2000-2004.