Oleh: Tony Kleden*
Dalam ilmu jurnalistik, setiap peristiwa atau kejadian itu disebut layak berita kalau memenuhi beberapa syarat. Salah satu syaratnya adalah unsur kedekatan atau proximity. Syarat ini menjelaskan apakah sebuah peristiwa atau kejadian itu dekat dengan pembaca atau tidak.
Kedekatan itu bisa dalam dua macam, kedekatan geografis atau kedekatan psikologis. Kedekatan geografis artinya jarak geografis peristiwa itu dekat dengan audiens sebuah media. Sedangkan kedekatan psikologis artinya sebuah peristiwa atau kejadian itu punya hubungan emosional dengan audiens atau tidak.
Sebuah kecelakaan lalu lintas yang menewaskan puluhan penumpang di Brasil tidak akan diturunkan media-media di Indonesia, apalagi di NTT. Sebabnya, peristiwa kecelakaan lalu lintas ini terlalu jauh jaraknya, baik jarak geografis maupun jarak psikologis dengan pembaca di Indonesia, apalagi di NTT.
Tetapi kalau salah satu penumpang yang tewas itu adalah warga NTT, maka media di NTT berpeluang besar memberi tempat kepada peristiwa itu. Sebabnya, ada orang NTT yang jadi korban, yang berarti ada kedekatan emosional dengan laka lantas itu.
Dalam konteks ini kita jadi mengerti mengapa peristiwa tewasnya Siyono, terduga teroris di Solo, tidak menjadi berita hangat dan menarik untuk media-media di NTT. Sementara media-media di Jawa Tengah dan beberapa media nasional memberitakan peristiwa itu dengan beberapa sudut pandang (angle) berita.
Siyono ditangkap Densus anti-teror di Klaten Jawa awal Maret lalu. Setelah ditangkap dia dibawa dan diperiksa di Jakarta. Selang tiga hari kemudian dia dipulangkan dalam kondisi tewas.
Mabes Polri menyatakan Siyono tewas karena melakukan perlawanan terhadap anggota Densus ketika menjalani proses pemeriksaan. Karena merampas senjata petugas yang mengawalnya, Siyono ditembak petugas.
Menyusul kasus ini ada banyak aksi demo dan protes. Sekitar 700 warga Solo menggelar aksi demo. Kontras dalam investigasinya menemukan bahwa terjadi kesalahan prosedur dalam kasus kematian Suyono. Mabes Polri tetap membuka peluang pihak lain yang menemukan informasi baru untuk disampaikan dan akan jadi bahan pertimbangan. Penjelasan resmi oleh Mabes Polri, Suyono tewas karena berkelahi dengan petugas yang mengawalnya. Dia berusaha merebut senjata petugas itu sehingga ditembak.
Peristiwa ini jauh di Solo, Jawa Tengah. Siyono juga bukan orang NTT, tidak punya hubungan emosional dengan orang NTT. Maka, media-media di NTT tidak memberi tempat pada peristiwa ini.
Kasus yang sama juga terjadi dengan kemenangan Polsi atas pra peradilan yang diajukan Novel Baswedan. Dengan kemenangan ini, maka penangkapan dan penahanan yang dilakukan Polri terhadap Novel Baswedan sah menurut hukum dan sesuai prosedur. Kasus ini sudah lama, jadi ramai tahun lalu. Tetapi media-media di NTT kurang memberi tempat pada kasus ini.
Kedepankan Unsur Penting
Dua kasus ini adalah contoh sangat faktual tentang bagaimana media memandang sebuah kejadian atau peristiwa itu layak berita atau tidak. Masing-masing media tampil dengan visi dan filosofi yang kemudian diterjemahkan ke dalam policy beritanya.
Tetapi ada juga kasus atau peristiwa yang bisa mengabaikan hukum proximity itu. dalam kasus tewasnya Siyono dan kemenangan Polri atas pra peradilan Novel Baswedan, media di NTT mestinya memberi tempat yang cukup dengan mengabaikan proximity. Dalam hal ini media mengedepankan unsur penting dari dua kasus ini.
Menurut saya, tempat yang cukup untuk kedua kasus ini dalam liputan media di NTT sangat bermanfaat untuk membuka perspektif dan cara pandang warga terhadap hidup bersama dalam negara. Bahwa dalam hidup bernegara dan menegara ada nilai yang berlaku umum. Negara, melalui aparatusnya termasuk aparat kepolisian pasti berada di garda terdepan memperjuangkan dan mempertahankan nilai-nilai yang berlaku umum, yang diterima semua warga.
Kasus kematian Siyono kita sesali kalau memang ada prosedur yang salah. Mabes Polri juga menyatakan penyesalannya karena tewasnya Soyono, yang menurut polisi tahu tempat penyimpanan senjata para teroris. Ada mata rantai yang putus dari kematian Siyono dengan tekad negara membebaskan negara ini dari teroris.
Dengan mengulas secara cukup melalui tulisan-tulisan analisis, media di NTT bisa ‘membawa’ kedua kasus ini kepada pembaca di NTT. Bahwa sampai di titik mana pun di atas tanah republik ini aparat kepolisian akan hadir menjamin keamanan. Sesuai tugas dan tupoksinya polisi hadir untuk memberi jaminan keamanan kepada warga negara.
Kita jadi mengerti mengapa Kapolda NTT baik yang sekarang maupun sebelumnya telah bertekad menjaga NTT dari ISIS dan teroris. Agustus tahun lalu Densus 88 menangkap seorang terduga teroris bernama Syarif di Desa Ranggawatu, Kecamatan Sanonggoang, Manggarai Barat.
Kasus-kasus teroris seperti ini mungkin terlalu jauh dengan audiens di NTT, tetapi sangat penting. Nilai kepentingannya terletak pada keamanan negara, kenyamanan warga dan tanggung jawab polisi mengamankannya. Keamanan negara, kenyamanan warga dan tanggung jawab polisi tidak menarik di mata media. Tetapi tiga hal ini berharga mutlak untuk diamankan.
Maka cara baca media hingga kasus-kasus ini layak berita adalah mengedepankan unsure menariknya. Dalam rumusan lain, dalam hal kepentingan umum yang lebih besar, media mesti melawan dogma. Beranikah media di NTT melawan dogma itu demi kepentingan yang lebih besar dan menyangkut keamanan negara dan kenyamanan warga?
*Penulis: Wartawan, mengajar jurnalistik di SMA Seminari St. Rafael Kupang