Oleh: Hendrikus Mandela
Pendidikan tidak pernah lepas hakikatnya dengan manusia. Oleh karena itu dalil-dalil tentang pendidikan pada umumnya sering bermuara pada proses memanusiakan manusia. Pemahaman ini yang menjadikan pendidikan sebagai kebutuhan yang harus dipenuhi oleh manusia.
Driyarkara, seorang tokoh pendidikan merumuskan pandangan tentang pendidikan dengan dalil pokoknya yaitu pendidikan merupakan pemanusiaan, dimana pendidik memanusiakan dan anak didik memanusiakan diri. Intisari dari pandangannya tentang pendidikan yakni pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia. Kemudian tokoh lain seperti Langeveld, John Dewey, Ki Hajar Dewantara, dan lain sebagainya memberikan pandangan secara definitif tentang pendidikan. Walaupun pendapat mereka berbeda namun pada intinya benang merah dari keseluruhan gagasan mereka bahwa pendidikan merupakan proses pemanusian, khususnya pemanusiaan dalam wacana kognitif.
Pendidikan merubah manusia yang biasa menjadi luar biasa. Pendidikan membentuk eksistensi setiap individu terkait keberadaannya dalam lingkungan masyarakat. Bahkan pendidikan menjembatani tujuan suskses sebagaimana yang selalu diimpikan oleh manusia.
Ada banyak hal sumbangsi pendidikan untuk kemudahan hidup manusia apabila manusia memposisikan diri tekun dalam berproses atau beraktivitas di lahan pendidikan. Bahkan tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan menjadi kunci kesuksesan bagi manusia. Lebih dari pada itu pendidikan menjadikan manusia terkandung oleh nilai tentang harkat dan martabat di hadapan sesamanya. Singkatnya bahwa dalam kaitan dengan kehidupan manusia, pendidikan mampu menjelma kehidupan ke tingkatan yang lebih baik.
Kalau pendidikan hakikatnya mengubah taraf hidup manusia menjadi lebih baik itu artinya semua yang diwartakan oleh pendidikan tidak diragukan dari segi isi atau kualitasnya. Lalu yang menjadi pertaannya, mengapa perbincangan tentang mutu pendidikan kerap kali menjadi persoalan vital yang diangkat ketika berbicara tentang tentang topik pendidikan.
Siapakah yang mengantongi persoalan kualitas? Apakah pendidikan? Ataukah manusia? Atau relasi keduanya sehingga melahirkan persoalan tersebut? Untuk lebih jelas dalam menyingkap persoalan tentang mutu pendidikan maka mari kita kembali ke provinsi Nusa Tenggara Timur yang rentan dilanda oleh penyakit degradasi mutu maupun moral pendidikan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tentang Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2010 sampai 2016, Propinsi Nusa Tenggara Timur selalu menempati rangking di atas 30 besar dari 34 Provinsi yang ada di Indonesia. Posisi ini boleh dibilang posisi terakhir diatas Provinsi Papua dan Papua Barat.
Tahun 2010, NTT mendapat peringkat 32, dengan persentase IPM 59,21 %. Peringkat ini merupakan peringkat kedua dari terakhir, yakni dari 33 propinsi. Jika kita melihat persentase secara Nasional, Indonesia memperoleh rata-rata IPM 66,53%. Artinya NTT memperoleh IPM dibawah rata-rata indeks Nasional, dengan selisih 7,32 %.
Tahun 2011, NTT mendapat peringkat 31 dari 33 propinsi dengan IPM 60, 24 %. Ada peningkatan IPM sebesar 1,03 %. IPM Nasional 67,09 %. Dengan demikian selisih IPM NTT dan Nasional 6,8%. Tahun 2012, NTT mendapatkan peringkat 31 dengan IPM 60,81 %. IPM Nasional 67,7 %, maka selisih 6,89 %.
Tahun 2013, NTT memiliki IPM 61,68 % dengan peringkat 31 dari 34 propinsi. IPM Nasional 68,31 %, maka selisih IPM sekitar 6,63 %. Tahun 2014, NTT memiliki IPM 62,26 % dengan peringkat 31. IPM Nasional 68,9 %, dengan demikian selisihnya 6,64%.
Tahun 2015, NTT memperoleh peringkat 32 dengan IPM 62,67 %. IPM Nasional 69,55 %, sehingga selisih IPM 6,88%. Tahun 2016, NTT memperoleh peringkat 32 dengan IPM 63,13%. IPM Nasional 70,18 %, maka selisih 7,05%
Dari data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik tersebut ada beberapa fakta yang diperoleh diantaranya:
Pertama, Propinsi NTT selama tujuh tahun terakhir selalu mendapatkan peringkat 31 dan 32 secara Nasional. Kedua, Propinsi NTT memiliki standar IPM dibawah IPM Nasional dengan selisih antara 6 sampai 7 %.
Ketiga, Propinsi NTT boleh di bilang juru kunci dalam Indeks Pembangunan Manusia. Dimana NTT tidak mengalami kemajaun secara peringkat Nasional. Peningkatan hanya terjadi pada persentasi IPM. Namun belum bisa melewati dan sama dengan standar IPM Nasional.
Keempat, Propinsi NTT termasuk salah satu propinsi tertua di Indonesia. Namun dari skala Indeks Pembangunan Nasional masih kalah bersaing dengan propinsi atau daerah lain yang tergolong baru. Contoh Kalimantan Utara yang pada tahun 2013 hingga 2016 memiliki peringkat dan skala IPM masing masing adalah tahun 2013 (14, 67,99%), 2014 (14, 68,64%), 2015 (18, 68,76%) dan 2016 (20, 69,2 %). Kalimantan utara sebagai selalu mendapatkan peringkat 20 besar sedangkan NTT selalu menduduki peringkat diatas 30 besar.
Baca juga: Gereja yang Miskin untuk Kaum Miskin
Kemudian beberapa bulan lalu, masih tentang pendidikan provinsi NTT kala Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy berkomentar tentang laporan Program For International Students Assesement (PISA) yang menempatkan kualitas pendidikan di Indonesia pada ranking yang rendah. Ia mengatakan bahwa jangan-jangan sampel dari survei yang dilakukan oleh PISA adalah siswa-siswi asal Nusa Tenggara Timur (NTT). Pernyataan menteri pendidikan dan kebudayaan tersebut lagi-lagi menjustifikasi rendahnya mutu pendidikan di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Inilah fakta tentang pembanguan pendidikan di provinsi Nusa Tenggara Timur. Bertolak dari fenomena di atas sehingga muncul perdebatan sengit di kalangan publik melalui media sosial tentang mengapa kualitas pendidikan di Nusa Tenggara Timur tak kunjung meningkat. Merujuk pada pernyataan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, segelintir orang mengatakan bahwa pernyataan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tersebut merupakan kritikan keras terhadap pelaku pendidikan di Nusa Tenggara Timur. Sementara itu, sebagian menanggapinya sebagai penghinaan terhadap masyarakat provinsi Nusa Tenggara Timur.
Hemat saya, secara moral pernyataan ini memang merupakan sebuah penghinaan. Namun sebenarnya pernyataan tersebut bermakna sangat mendalam dan merupakan sebuah kritikan bagi pelaku pendidikan di provinsi Nusa Tenggara Timur. Artinya pelaku pendidikan menjadi agen control dan mempunyai fungsi pengawasan penuh terhadap realitas dinamika yang menggerogoti pendidikan di provinsi Nusa Tenggara Timur. Pelaku pendidikan menjadi pengendali fenomena tersebut.
Dua Faktor Mempengaruhi Pendidikan di NTT
Ada begitu banyak gagasan yang muncul dari publik tentang rendahnya mutu pendidikan di pprovinsi Nusa Tenggara Timur. Pada kesempatan ini penulis mencoba mengarahkan suatu pandangan serupa yakni tentang mutu pendidikan yang kian viral di mata publik. Dalam kaca mata penulis dua aspek yang kemudian menurut penulis menjadi faktor utama sebagai pengendali stabilitas pendidikan di provinsi Nusa Tenggara Timur. Dua faktor tersebut terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal yang dimaksud berasal dari dalam pendidikan itu sendiri. Ada beberapa poin tentang persoalan internal sebagai bagian penyebab rendahnya integritas pendidikan di provinsi Nusa Tenggara Timur, yakni pertama berkaitan dengan kompetensi guru. Guru berperan sangat vital dalam menggerakan roda pendidikan. Pembentukkan kualiatas siswa bergantung pada kompetensi guru. Artinya rendahnya kompetensi yang dimilikki guru berdampak lanjut terhadap kualitas siswa. Pengandaian ini secara tegas menggambarkan tentang relasi antara guru dan siswa dalam membentuk pribadi siswa yang berkualitas.
Kedua, semangat belajar yang tumbuh dalam diri siswa. Devisit semangat belajar siswa sangat berpengaruh terhadap pencapaian kemapanan aspek kognitif atau intelektual siswa. Pembentukkan kepribadian siswa tidak terlepas dari aktivitas belajar. Jadi belajar merupakan senjata handal dalam mewujudkan peningkatan mutu pendidikan. Artinya bagaimana mungkin peningkatan mutu pendidikan tercapai manakala semangat belajar siswa lemah. Nah ini kembali menjadi problem.
Yang ketiga adalah pemerataan upah yang diterima oleh guru. Semangat pengabdian serta kesetiaan seorang guru dalam mendidik anak muridnya apabila tidak sepadan dengan upah yang diterima maka tentu saja akan memunculkan persoalan baru yang notabene ikut menghambat peningkatan kemajuan mutu pendidikan yang bermuara pada integritas. Artinya rendahnya upah memungkinkan lemahnya semangat mendidik seorang guru terhadap peserta didik.
Kemudian beralih ke topik tentang faktor eksternal. Faktor eksternal secara khusus berbicara tentang aspek-aspek yang turut mendukung pendidikan dalam meningkatkan kualitasnya. Yang paling pertama adalah tentang fasilitas. Fasilitas merupakan unsur yang turut mendukung dalam mewujudkan tujuan peningkatan mutu pendidikan yang berkompetitif sesuai dengan tuntutan-tuntutan eranya.
Keterbatasan persediaan fasilitas dalam ruang lingkup pendidikan akan menghambat berlangsungnya kealotan proses pendidikan. Barang kali fasilitas yang dimaksud antara lain perlengkapan-perlengkapan di dalam kelas, semisal kondisi ruang kelas yang nyaman, ketersediaan kursi dan meja belajar, ketersediaan media belajar sesuai tuntutan zaman (komputer, LCD) maka harus didukung oleh akses penerangan pula.
Kedua, peran orangtua. Berbicara tentang peran orangtua lagi-lagi menjadi bagian dari faktor pendukung dalam mewujudkan peningkatan kualitas pendidikan. Peran orangtua sangat urgen. Namun realitas yang terjadi mengungkapkan kegagalan orangtua sebagai bagian yang tak terpisahkan dari rumah pendidikan. Paradigma yang berkembang di lingkungan masyarakat yang notabene berpredikat sebagai orangtua dari kaum terdidik atau siswa menyudutkan sekolah sebagai satu-satunya tempat bagi seorang anak untuk belajar. Paradigma ini kemudian menciptakan sekat pemisah antara rumah dengan sekolah yang semestinya merupakan satu-kesatuan sebagai lahan untuk berliterasi bagi seorang anak.
Seharusnya rumah menjadi tempat strategis dalam menginternalisasi pengetahuan-pengetahuan yang diterima oleh siswa di sekolah. Namun karena paradigma yang berkembang tersebut akhirnya mengakibatkan siswa mengasingkan diri dari kegiatan belajar dalam beraktivitas di rumah. Orangtua seharusnya menjadi motivator bagi anak dalam membangun semangat belajar dan menjadikan rumah sebagi tempat pertama dalam mendidik maupun membangun semangat belajar anaknya.
Ketiga, lingkungan masyarakat. Situasi lingkungan masyarakat juga memberi pengaruh terhadap proses jalannya pendidikan. Kondisi lingkungan masyarakat memberikan ransangan-ransangan yang menuntut reaksi dari subjek yang terhimpun dalam koridor pendidikan. Reaksi-reaksi tersebut biasanya berupa adaptasi. Lingkungan yang baik tentu memberikan pengaruh yang baik pula terhadap proses yang berlangsung dalam dunia pendidikan. Sebaliknya lingkungan yang buruk akan berpengaruh buruk pula terhadap jalannya proses pendidikan pada sekolah yang terdapat di lingkungan masyarakat tersebut. Sebab harus diakui bahwa karakter siswa maupun guru terbentuk atau terpolarisasi oleh lingkungan sekitar. Jadi perkembangan pendidikan juga bergantung pada lingkungan sekitarnya.
Keempat, faktor ekonomi. Latar belakang ekonomi sangat kuat pengaruhnya terhadap perkembangan peserta didik. Keterbatasan dalam aspek ekonomi mengganggu jaminan asupan yang semestinya disediakan bagi kesejahteraan seorang anak atau siswa. Aspek ekonomi sangat luas pengaruhnya terhadap manusia. Buruknya kondisi ekonomi akan mengganggu setiap lini kehidupan manusia. Singkatnya bahwa semakin angka kemiskinan meningkat maka kesejahteraan hidup masyarakat semakin menurun.
Demikian beberapa poin yang dikemas dalam aspek internal dan eksternal yang menjadi satu-kesatuan dalam mempengaruhi buruknya pembangunan mutu pendidikan di Nusa Tenggara Timur. Selanjutnya yang mesti dipikirkan adalah bagaimana solusi yang tepat untuk mengatasi masalah-masalah tersebut. Jangan sampai kita hanya menjadi generasi yang mampu mengkritik tetapi tidak bisa memberikan solusi terhadap masalah yang sedang membelenggu.
Menurut penulis, berkaitan dengan masalah yang telah dipaparkan di atas maka solusi yang tepat adalah pembenahan kembali terhadap beberapa faktor tersebut. Artinya beberapa faktor tersebut merupakan fakta penghambat meningkatnya mutu pendidikan, sehingga dengan melakukan pembenahan terhadap beberapa faktor tersebut maka dengan sendirinya pendidikan di Nusa Tenggara Timur akan menampilkan progresnya. Selain itu, yang lebih penting adalah sinergisitas antara semua elemen. Baik guru dan siswa, maupun tokoh masyarakat mesti bertekad satu dalam mengentas masalah tersebut walaupun dengan cara yang masing-masing berbeda.
Kemudian dari fenomena rendahnya mutu pendidikan di Nusa Tenggara Timur yang telah dipaparkan di atas, akhirnya penulis dapat menemukan jawaban atas pertanyaan siapakah yang mengantongi persoalan kualitas? Apakah pendidikan? Ataukah manusia? Atau relasi keduanya sehingga melahirkan persoalan tersebut?
Secara tegas penulis menyatakan bahwa berbicara tentang persoalan kualitas pendidikan maka yang mengantongi persoalannya adalah relasi antara manusia dengan pendidikan. Pernyataan ini mutlak kebenarannya karena kualitas pendidikan dibentuk oleh karena hubungan antara keduanya. Hal ini menunjukkan bahwa antara manusia dengan pendidikan merupakan entitas yang tidak akan pernah terpisahkan. Pendidikan menemukan hakikatnya dalam diri manusia. Sebaliknya manusia menemukan hakikatnya dalam diri pendidikan.
Penulis : Mahasiswa program studi pendidikan bahasa indonesia di STKIP St. Paulus Ruteng sekaligus wakil sekjen PMKRI Ruteng.