(Kuliah Tahunan mengenang Gus Dur di Universitas Monash, Melbourne, Australia)
Oleh: Kopong Hilarius
“…Kata orang-orang, Gus Dur pembela minoritas, Gus Dur adalah bapak pluralitas; kami anak-anaknya tidak sepakat. Bagi kami Gus Dur tidak pernah membela pluralisme. Gus Dur tidak pernah membela minoritas. Gus Dur membela kemanuisan, itu jauh lebih penting…” kata Inayah Wulandari Wahid dalam acara Annual Gus Dur Memorial Lecture 2017 di Univeritas Monash, Melbourne, Australia pada tanggal 2 Desember 2017.
Pernyataan Inayah ini menunjukkan bahwa Gus Dur bukanlah seorang tokoh Indonesia, bukan pula seorang tokoh Islam Indonesia tetapi Gus Dur lebih dari itu, sebagai seorang tokoh humanis (tokoh kemanusiaan).
Sebagai seorang muslim, Gus Dur mendermakan hidupnya di jalan Gusti Allah demi mewujudkan rahmatan lil alamin di muka bumi ini. Hal ini dilakukannya tanpa mengenal waktu namun yang terutama adalah tanpa mengenal batas – batas suku, batas ras, batas agama, dan batas sosial lainnya. Bagi Gus Dur, siapa pun kita, apa pun agama kita, apa pun suku kita dan apa pun ras kita; kita adalah manusia. Manusia yang sama kedudukannya di hadapan Allah.
Semua manusia memiliki hak asasi yang sama. Artinya kita memiliki hak yang sama untuk menjadi diri kita sendiri. Selain itu kita juga harus bisa membebaskan orang lain untuk memilih menjadi dirinya sendiri. Gus Dur teguh memegang prinsip ini dalam hidupnya sebagaimana diceritakan oleh Inayah bahwa suatu ketika Inayah pulang rumah dengan rambutnya berwarna merah muda (pink). Kakak-kakaknya tidak suka dengan warna rambut itu mengadu kepada Gus Dur namun Gus Dur tidak marah, malah membiarkan Inayah dengan warna rambutnya.
Dalam menjaga keutuhan NKRI, Gus Dur mendekatinya dengan mengembalikan apa yang menjadi hak mereka. Contohnya, Gus Dur mengubah nama Irian Jaya menjadi Papua Barat dan mengizinkan orang Papua Barat untuk mengibarkan bendera Bintang Kejora dengan catatan bendera itu dikibarkan bersama-sama dengan bendera merah putih di mana bendera merah putih lebih tinggi posisinya dari bendera Bintang Kejora.
Bagi Gus Dur, jika orang dikembalikan haknya maka dia akan merasa dirinya dihargai sebagaimana adanya dan dia akan merasa menjadi bagian dari kita. Papua Barat akan tetap menjadi miliki Indonesia apabila orang Papua Barat juga merasa memiliki Indonesia.
Gus Dur selalu teguh pada prinsip perjuangannya yaitu mengembalikan hak-hak orang-orang yang menjadi haknya serta membebaskan orang untuk memilih dan membiarkan orang untuk menjadi dirinya sendiri. Hal ini dapat kita saksikan ketika Umat Ahmadiyah ditekan; Gus Dur-lah yang berdiri paling depan membela mereka. Rupanya atas dasar ini maka Inayah mengatakan bahwa Gus Dur tidak akan meminta orang rimba meninggalkan haknya (baca : ke-Tuhan-anya) untuk mengikuti yang mayoritas sebagai mana terjadi baru-baru ini.
Perlu diketahui bahwa hal ini menjadi hebo setelah pernyataan mentri sosial: ” …mereka telah mengenal Tuhan…” Pernyataan ini dikecam oleh banyak kalangan di Indonesia karena menganggap orang rimba tak berTuhan. Padahal kita tahu bahwa orang rimba seperti juga masyarakat Indonesia lainnya. Mereka memiliki kepercayaan asli yang menyembah kepada Sang Pencipta langit dan bumi berserta isinya.
Banyak yang dapat kita berlajar dari Gus Dur, termasuk dalam hal beragama. Gus Dur telah menunjukkan bagaimana beragama yang sesungguhnya yaitu berdoa dan bekerja untuk mewujudkan “rahmatan lil alamin” apa pun agama kita. Ketika berkunjung ke Canberra ibu kota Australia Gus Dur mengatakan kepada salah seorang staf KBRI; “Mas Islam itu seperti ini – aman, damai dan bersih” (Gus Dur mengomentari kehidupan di Kota Canberra . Penduduknya bukan beragama Islam tetapi memancarkan nilai keIslaman). Ini cerita Duta Besar Indonesia untuk Australia (yang ketika Gus Dur ke Canberra, dia masih staf KBRI dan yang bicara dengan Gus Dur) yang hadir sebagai pembicara utama dalam Annual Gus Dur Memorial Lecture 2017. Apa yang dikatakan oleh Gus Dur ini menunjukkan bahwa lebih dari satu jalan atau cara dalam mencapai tujuan yang sama, yaitu kehidupan yang sejahtera lahir dan batin.
Lalu apa yang dapat kita lakukan? Kita tidak mungkin menjadi seperti seorang Gus Dur tetapi jika sejuta orang mau membuka hati dan pikiran untuk meneladani Gus Dur maka kita akan mampu mewujudkan ‘rahmatan lil alamin’ di tanah Nusantara yang kita cintai. Hal ini yang sedang dikerjakan oleh Ibu Sinta Nuriyah Wahid (istri Gus Dur) dan putri-putrinya lewat berbagai kegiatan seperti Buka Puasa Bersama di seluruh Nusantara dan kegiatan Gusdurian lainnya.
Kegiatan-kegiatan ini bertujuan untuk memperkenalkan pikiran-pikiran Gus Dur kepada masyarakat Indonesia supaya orang bisa menyadari bahwa masalah kemanusian masalah yang utama dalam hidup kita. Ilmu dan agama adalah sarana untuk menjadikan kita menjadi lebih manusiawi. Jadi kita meneladani Gus Dur berarti kita siap membela orang yang tertindas hak asasinya sebagai manusia, siapa pun orangnya. Kita harus mampu membebaskan ego kita agar tulus membebaskan orang lain untuk memilih dan menjadi dirinya sendiri.
Untuk mampu membebaskan ego kita memang tidak mudah namun dengan belajar mendalami ajaran-ajaran Gus Dur kita akan lebih leluasa mendalami ajaran-ajaran agama dan kepercayaan kita masing-masing. Kita akan sadar bahwa apa pun ilmu pengetahuan dan apa pun agama yang kita anut hanyalah sarana bagi kita untuk menjadi orang yang mampu membawa berkat bagi sesama dan semesta alam. Hal ini dapat terwujud apabila kita menerima perbedaan sebagai keniscayaan yang dikaruniai Tuhan YME (Allah). Dengan demikian kita akan lebih teguh menjadi seorang pejuang kemanusian dalam hidup kita.***
*Penulis, Warga Flores Timur, Tinggal di Melbourne