Oleh: Hilarius Kopong
Indonesia tidak akan ada kalau tidak ada keragaman. Indonesia terbentuk dari berbagai pulau besar dan kecil dengan beraneka ragam budaya, bahasa, kepercayaan dan yang lainnya. Keragaman adalah aset bangsa Indonesia yang menjadi perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Keragaman ini harus dirawat oleh anak nusantara sebagai wujud cinta kita pada NKRI.
Itulah kesimpulan yang dapat saya ambil dari diskusi ‘Merawat Keragaman’ bersama Wima Witoelar yang diselenggarakan oleh Forum Masyarakat Indonesia di Australia (FMIA) di aula Bhineka Tungal Ikka, Konsulat Jendral Republik Indonesia di Melbourne, tanggal 18 November 2017 yang lalu.
Wima Witoelar dalam pengantar diskusi itu mengatakan bahwa taman bunga yang hanya ditanami sejenis tanaman bunga, bahkan bunga mawar sekali pun tak akan seindah tanam bunga yang di tumbuhi beraneka ragam jenis tanaman dengan bunganya berwarna warni dan dengan berbagai rupa dan bentuknya. Dan taman ini akan tetap indah apabila selalu dijaga dan dirawat dengan tekun.
Pentingnya menjaga dan merawat keragaman ini dirasakan semakin penting setelah berbagai kejadian politik yang cenderung merusak keragaman yang dialami oleh bangsa Indonesia akhir-akhir ini. Hal ini terjadi karena ada orang atau kelompok tertentu yang berambisi untuk menjadi penguasa. Kelompok ini menggunakan segala cara untuk mencapai ambisinya. Mengeksploitasi sentimen suku, agama dan ras sebagai mana yang kita saksikan pada Pilkada Gubernur DKI yang baru lalu.
Jutaan orang termobilisasi oleh isu SARA yang dihembuskan oleh oknum-oknum yang misinya bisa saja berbeda tetapi mempunyai lawan yang sama. Mengapa begitu banyak orang termobilisasi? Ada banyak sebab, tetapi sebab utamanya adalah minimnya ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh orang-orang itu sehingga mereka tidak ada altrnatif pendapat dalam benaknya untuk menyaring hasutan-hasutan dari operator politikus yang haus akan kekuasaan. Nah, bagaimana menangkal hal ini?
Kita harus membuka diri untuk membagi ilmu pengetahuan dan pengalaman kita masing-masing supaya kita saling belajar dan saling melengkapi. Selain itu, kita juga harus melestarikan bahasa, kebudayaan dan kepercayaan asli nusantara. Salah satu caranya adalah memasukan bahasa daerah ke dalam kurikulum lokal. Ini merupakan langkah awal tetapi juga langkah utama karena lewat bahasa daerah anak didik bisa belajar tentang adat, budaya dan kepercayaan aslinya.
Cerita-cerita tentang adat dan budaya serta kepercayaan asli dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran bahasa daerah. Dengan kata lain anak-anak bisa belajar adat dan budaya serta kepercayaan asli masyarakat setempat lewat bahasa daerahnya. Anak didik yang belajar tentang adat dan budaya serta kepercayaan asli ini tentu juga akan belajar agama yang diajarkan di sekolah itu. Dengan demikian anak didik menyadari bahwa lebih dari satu cara dalam memandang segala sesuatu dalam kehidupan di dunia ini.
Kita bisa membandingkan orang yang hidup dalam masyarakat multikultur dengan orang yang hidup dalam masyarakat monokultur. Tidak hanya itu, kita juga bisa membandingkan seseorang yang dunia kehidupannya hanya dalam lingkungannya sendiri dengan orang yang hidupnya bergaul dengan orang dari berbagai latar belakang yang berbeda.
Orang yang bergaul dengan siapa saja bisa lebih mudah menerima keragaman karena dia sudah terbiasa dengan perbedaan dan menyadari bahwa hidup ini bukan atas dasar ikatan suku, ras dan agama melainkan atas dasar nilai kemanusian. Contoh lain adalah orang-orang belajar bukan hanya agamanya tetapi agama lain adalah orang yang lebih mudah dan tanpa curigai menerima kehadiran agama lain dalam masyarakatnya dibandingkan dengan orang yang belajar agamanya secara dalam tetapi cuma agamanya saja yang ditekuninya. Orang yang hanya menekuni agamanya ini akan akan cenderung curigai pada orang yang beragama lain karena dia tidak dipahami dengan baik akan agama lain.
Pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah harus mengambil inisiatif untuk segera memasukan bahasa daerah sebagai salah satu mata pelajaran dalam kurikulum muatan lokal di sekolah dasar sampai sekolah menengah atas. Hal ini memberi peluang kepada anak didik untuk belajar adat, kebudayaan dan kepercayaan aslinya melalui mata pelajaran bahasa daerah. Jika bahasa daerah masuk sekolah maka akan membuat generasi muda lebih mencintai mengenal siapa dirinya dan dengan penuh percaya diri akan menerima keragaman dalam hidupnya sebagai suatu karunia Tuhan YME dan patut disyukuri bukan dicurigai apalagi dibenci. Semoga bermanfaat bagi semua lapisan masyarakat. ***
Melbourne, 25-11-2017