SUARAFLORES.NET,–Usia Provinsi NTT hampir memasuki 61 tahun. Menuju usia ke-61 tahun pada Desember 2019 nanti, provinsi yang dihuni hampir 5,2 juta lebih penduduk ini, selain menjadi Provinsi Terkorup dan Termiskin juga masuk kategori provinsi yang Tergelap-gulita alias belum terang benderang seluruhnya. Kebutuhan energi listrik belum 100% dirasakan oleh mayoritas warga yang berada di desa-desa, bukit-bukit, pegunungan, lembah bahkan kawasan tepi pantai. Bagi warga di desa-desa terpencil, listrik masih menjadi barang mewah yang sulit dibeli apalagi dinikmati.
Menjelajahi NTT dari ujung Pulau Sumba, Timor, Sabu, Rote dan Alor, panorama gelap-gulita di desa-desa terpencil masih terlihat hitam pekat di malam hari. Bukan hanya daratan Sumba, Timor, Sabu dan Rote, tetapi di Pulau Flores yang sudah lebih maju dalam riak pembangunan, suasana gelap gulita di desa-desa terpencil juga masih terlihat. Kondisi ini jauh berbeda dengan di Pulau Jawa yang siang dan malam terang benderang. Jaringan listrik memang sudah terpasang menghubungkan banyak desa dengan desa lainnya, namun akibat kondisi geografis dan jarak pemukiman warga yang berjauhan, menjadi salah satu kendala bagi PT. PLN. Pasalnya biaya tinggi diperlukan dalam memenuhi kebutuhan listrik warga.
Selain keluhan warga desa yang hampir terekam dan termuat di berbagai media, daya atau kemampuan pasokan energi listrik juga belum mampu sepenuhnya menjawab kebutuhan listrik rakyat perkotaan. Faktanya, sangat sering bahkan menjadi semacam kebiasaan membudaya bahwa listrik padam atau pemadaman listrik oleh PT. PLN di NTT masih terjadi. Selain daya lemah, jaringan terganggu dan mesin rusak atau macet, alasan lainnya kita kekurangan sumber energi listrik untuk menjadi pembangkit listrik.
Mengapa sudah memasuki usia yang ke-61 tetapi rakyat NTT belum sepenuhnya menikmati penerangan listrik? Benarkah NTT masih masuk kategori provinsi yang gelap-gulita? Jawabannya sudah dijawab sendiri oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Igatius Jonan dalam kunjungan ke Kampus Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero di Nita, Maumere, Flores, NTT, Sabtu (23/3) lalu.
Seperti dikutip dari situs www.stfkledalero.ac.id, dalam Kuliah Umum di STFK Ledalero yang dihadiri ribuan mahasiswa, dosen, Bupati Sikka,
General Manager PLN NTT, tokoh agama dan warga Sikka, Jonan membeberkan fakta dan data terkait tingkat elektrifikasi. Diungkkannya bahwa berdasarkan data statistik dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan rasio elektrifikasi mencapai angka 98,30% secara nasional. Dari semua provinsi di Indonesia, rasio elektrifikasi paling rendah ditempati oleh Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yaitu 61,90%. Provinsi lain selain NTT mencatat rasio elektrifikasi di atas angka 84,00%. Rasio elektrifikasi terendah selain NTT juga terdapat di Provinsi Kalimantan Tengah yaitu 84,30%.
Dalam kuliah umum yang mengusung judul ‘Energi Berkeadilan untuk Rakyat’ ini, Jonan menegaskan bahwa penyebab utama rendahnya rasio elektrifikasi di NTT adalah karena kurangnya kerja keras dari rekan-rekan PLN NTT. Bahkan, Menteri ESDM tersebut juga meminta kesediaan dari rekan-rekan PLN NTT untuk bekerja 24 jam sehari dalam rangka mencapai rasio elektrifikasi yang lebih tinggi lagi dalam waktu ke depan.
“Dalam rasio elektrifikasi NTT masih tertinggal. Waktu tiga tahun lalu saya bertugas di sini -kementerian ESDM-, provinsi yang tertinggal itu Papua. Tetapi sekarang provinsi yang tertinggal adalah NTT. Tahun ini kita akan mengejar ketertinggalan itu, tetapi tolong rekan-rekan di NTT juga mau bekerja keras. Kalau perlu bekerja 24 jam sehari. Saya mendapat laporan bahwa kita mau membangun jaringan listrik di sini tetapi rekan-rekan PLN tidak mau bekerja sangat keras,” demikian ungkap Jonan.
Ternyata ada fakta baru yang disampaikan Menteri Jonan yaitu ada masalah soal kinerja PT. PLN NTT selama ini. Jadi bukan saja hanya soal keterbatasan daya, mesin rusak, jaringan putus, dan sumber energi listrik, tetapi juga soal kualitas SDM terutama soal kualitas kerja Bos PT. PLN NTT bersama seluruh anak buahnya. PLN NTT, acapkali menjadi sumber tembakan kritik sengit warga terkait kinerja pelayanan. Banjirnya kritik di tengah masyarakat dan di media masa sudah menjadi taman subur bagi bagi PT. PLN NTT. Oleh warga, PLN dituding tidak mampu memberikan pelayanan yang baik, padahal rakyat sudah membayar rekening listrik mereka secara rutin. Acapkali pula PLN NTT tutup mata dan tutup teling tak mau tau, meski kadang-kadang memberikan klarifikasi di media terkait padamnya listrik. Penegasan Jonan siapa yang berani bantah? Tentu tidak ada yang berani, terutam Bos PT. PLN dan anak buahnya.
Terbaca oleh media, soal pemenuhan kebutuhan energi listrik bagi warga NTT, sebenarnya bukan hanya menjadi tanggub jawab Kementerian ESDM dan PT. PLN saja, tetapi juga dukungan dari puluhan anggota DPR-RI di Senayan Jakarta, Pemerintah Daerah (Gubernur, DPRD I, Bupati dan Walikota serta DPRD II). Selama tidak ada kerja sama yang dibangun secara sinergis dan sistematis kontinyu, jangan pernah bermimpi NTT akan terang benderang seperti Pulau Jawa jika jurang ego politik kepentingan parpol dan bisnis kelompok masih mengkristal antara pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Selain itu, juga diperlukan hubungan yang sinergis antar dinas, badan atau instansi yang untuk saling mendukung dalam pembangunan kelistrikan di NTT. Jika semangat ego sektoral masih tinggi, maka mustahil program kelistrikan bisa tercapai di NTT.
Masalah lainnya, tentunya, bicara soal listrik berkaitan langsung dengan sumber energi listrik dan uang atau anggaran. Soal sumber energi, NTT adalah daerah yang sangat potensial, seperti Panas Bumi Mataloko, Ropa dan Lembata. Juga yang paling aktual adalah energi listrik dari arus laut Gonzalu yang kini tengah direncanakan dibangun Jembatan Palmerah berturbin arus laut di Kabupaten Flores Timur yang konon sudah didukung Presiden Joko Widodo, namun belum digroundbreaking.
Sementara itu, soal anggaran tentu APDB NTT tidak mampu untuk membangun listrik, kecuali bekerja sama dengan investor untuk mendapatkan dukungan dana, seperti yang dilakukan Gubernur Lama, Frans Lebu Raya dan Kadis PU NTT, Andreas W. Koreh yang berani menerobos maut menarik investor Belanda (Tidal Bridge, BV) datang ke NTT. Publik banyak berharap, gebrakan-gebrakan atau terobosan tersebut, terus dilanjutkan oleh Gubernur Baru, Viktor B. Laiskodat dan Wakil Gubernur, Josep Nae Soi, karena keduanya juga memprioritaskan program Jalan Listrik dan Air (JALA). Tentunya, semangat pembangunan untuk rakyat harus lebih dikedepankan dari pada ego politik parpol dan kelompok bisnis.
Selanjutnya, tanpa dukungan pemerintah pusat melalui kementerian terkait, terutama dalam hal ini Kementerian ESDM tentunya akan mengalami jalan buntuh. Oleh karena itu, dukungan besar pemerintah, DPRD NTT dan para bupati, walikota dan DPRD kabupaten kota, hingga para kepala desa dan seluruh warga sangat penting untuk menyukseskan agenda besar Energi Berkeadilan untuk Rakyat yang dicanangkan Presiden Joko Widodo dan Menteri Ignas Jonan. Apalagi, Menteri Jonan sudah menegaskan bahwa hingga akhir 2019 ini seluruh NTT sudah terang benderang.
Semoga NTT pada akhir 2019 nanti tidak dijuluki lagi Provinsi Tergelap tetapi menjadi ‘Nusa Terang Terus’ dalam segala bidang, terutama listrik yang menjadi sumber kehidupan ekonomi, pendidikan dan kesehatan 5,2 juta rakyat. (korneliusmoanita/redaktur suaraflores.com)