JAKARTA, –SUARAFLORES.NET,–Teknologi informasi menjadi andalan dan tulang punggung Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla dalam upaya memberantas dan mencegah tindak pidana korupsi. Implementasi kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam penanggulangan dan pencegahan korupsi juga dilakukan dengan memperbaiki regulasi yang mengatur ihwal korupsi. Hasilnya, masyarakat makin percaya efektivitas langkah yang diambil pemerintah.
Fakta tersebut terungkap dalam diskusi bertajuk “Cerdas dan Canggih Melawan Korupsi” yang digelar Kantor Staf Presiden di Gedung Bina Graha, Jakarta, 07 Januari 2019. Narasumber yang hadir dalam diskusi tersebut adalah Deputi II Kepala Staf Kepresidenan Yanuar Nugroho, pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Rhenald Kasali, dan politisi mantan anggota Partai Demokrat, Ruhut Sitompul.
Selama ini, arah dan kebijakan pemerintah dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi bergerak dalam senyap dan nyaris tidak mendapatkan perhatian dari publik. Masyarakat lebih tertarik untuk menyorot perilaku-perilaku korupsi yang menyeruak ke publik seperti operasi tangkap tangan dan sebagainya. Namun hal itu tidak mengurangi kenyataan bahwa masyarakat sudah merasakan efektivitas dan kebijakan antikorupsi yang dijalankan pemerintah.
“Berdasarkan laporan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada bulan Oktober 2018, upaya pemerintah memberantas korupsi selama empat tahun ini dirasakan oleh masyarakat. Masyarakat menilai tingkat korupsi di berbagai bidang menurun dari tahun ke tahun,”ujar Yanuar.
Ia mengakui bahwa korupsi sekarang ini hidup di zaman baru. Zaman di mana teknologi menjadi sangat masif dan intensif digunakan dalam berbagai kehidupan masyarakat. “Melawan korupsi di zaman canggih ini juga harus dilakukan dengan canggih,“ ujar peneliti lulusan Institut Teknologi Bandung dan University of Manchester ini.
Ia menambahkan bahwa pemerintah telah melahirkan tiga produk hukum untuk mempercepat pemberantasan korupsi, yaitu: Inpres 7/2015, Inpres 10/2016, dan Perpres 54/2018. Dari tiga aturan hukum tersebut, penggunaan dan pemanfaatan teknologi informasi dalam aksi pencegahan korupsi sangat terasa, mulai dari sekitar 30% pada tahun 2015 meningkat menjadi lebih dari 81% pada tahun 2018.
Yanuar menegaskan bahwa korupsi sistemik sudah mengakar dalam tatanan kerja birokrasi. Pemerintah mengupayakan perbaikan tata kelola salah satunya dengan memanfaatkan teknologi informasi. Mulai dari perencanaan (e-planning) dan penganggaran (e-budgeting) hingga pengadaan yang menggunakan e-catalog dan e-procurement. Selain itu, pemerintah juga mendorong kebijakan satu peta dan satu data untuk mendukung perencanaan pembangunan.
Rhenald Khasali dalam kesempatan tersebut juga menekankan bagaimana teknologi informasi membuat disrupsi yang sebelumnya tidak terbayangkan. “Dengan teknologi informasi, saat ini tuyul pun terdisrupsi. Semakin sulit mencuri uang.” Lebih jauh lagi, Rhenald menilai pemerintah sudah berada di arah yang tepat, akan tetapi ini harus diikuti dengan reformasi lembaga politik dan lembaga legislatif.
Pakar yang banyak mengulas gejolak ekonomi digital tersebut menegaskan bahwa para pelaku korupsi tidak mungkin lagi mencuri uang dengan cara-cara lama. “Oleh karena itu, kerja pemberantasan korupsi itu adalah kerja bersama, baik di sektor eksekutif, yudikatif, maupun legislatif,” papar Rhenald.
Sementara itu, Ruhut Sitompul mengutarakan, apa yang sudah dikerjakan oleh pemerintah itu nilainya seratus. Makanya banyak yang ketakutan dengan apa yang sudah dikerjakan oleh pemerintah. “Yang mengatakan bahwa korupsi itu seperti kanker stadium 4 itu hoax saja. Kenyataannya, pencegahan dan pemberantasan korupsi itu terlihat nyata selama pemerintahan Pak Jokowi,” kata Ruhut. (ksp/Muklis/AW/sfn)