Oleh: Petrus Selestinus, SH*
Berdasarkan hasil investigasi yang kami lakukan di beberapa Kabupaten di Jawa Tengah, sebagai daerah yang banyak memproduksi kain bermotif tanun ikat tradisional NTT, diperoleh fakta bahwa di sana hanya dalam hitungan menit, produksi kain bermotif sarung tenun ikat tradisional NTT bisa menghasilkan puluhan ribu meter kain dalam berbagai motif, mutu dan warna yang terus menerus dikembangkan sejak tahun 70-an hingga sekarang. Namun demikian tidak ada upaya dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah NTT untuk memberikan perlindungan terhadap produksi dan pemasaran kain tenun tradisional NTT, baik di pasar domestik maupun pasar internasional. Pengenalan kain tenun ikat tradisional NTT di kalangan pejabat sangat minim, itu-pun hanya diselipkan dalam pidato-pidato resmi pejabat sekedar basa basi, sementara pengenalan produk tenun ikat tradisional NTT di mancanegara nyaris tak didengar dilakukan oleh Pemerintah Daerah.
Memang ada sejumlah pihak swasta atas inisiatif dan kemampuan sendiri berhasil mempromosikan tenun ikat tradisional NTT ke manca negara, tetapi hal itu dilakukan berkat upaya secara swadaya tanpa bantuan pemerintah daerah. Sebut saja seperti promosi yang dilakukan Ibu Julia Laiskodat dengan Butiq Le-Vico-nya secara routin mempromosikan sarung tenun ikat tradisional NTT di dalam negeri dan mancanegara melalui fashion shouw berkali-kali secara gemilng, kemudian Altonsa Horeng dengan Sanggar Lepo Lorun di Nita, Cletus Beru dengan Sanggar Doka Tawa Tana dan Romanus Rewo dengan Sanggar Bliran Sina di Watu Blapi, mereka telah mempromosikan produk tenun ikat hingga ke manca negara, namun promosi yang mereka lakukan itu secara swadaya di bawah resiko sendiri tanpa bantuan Pemda NTT.
Dengan lahirnya UU No. 5 Tahun 2017, Tentang Pemajuan Kebudayaan, maka negara melalui badan khusus yaitu “Dana Perwalian” telah menyiapkan anggaran khusus untuk memajukan kebudayaan terkait dengan onyek-obyek pemajuan kebudayaan, sehingga para pelaku usaha yang selama ini menekuni bidang pengetahuan dan teknologi tradisional di NTT bisa mempersiapkan diri secara lebih baik termasuk harus mulai menginventarisir sejumlah karya warisan nenek moyang kita, yang dapat dikategorikan dalam obyek pemajuan kebudayaan antara lain seperti : “kain tenun ikat tradisional, kuwu tua (tempat memasak tuak, moke/miras), seni tari tradisional, penangkapan ikan paus tradisional, alat musik sesando, gong waning, rumah-rumah adat, rumah gendang (Manggarai) dll., belum lagi tradisi lisan berupa latung lawang/kleteng latar, ritus-ritus dll., yang semuanya masuk menjadi obyek pemajuan kebudayaan yang dihasilkan oleh masyarakat NTT dari “pengetahuan tradisional” dan “teknologi tradisional” warisan nenek moyang kita.
Perlu Rekonstruksi Sejarah Warisan Nenek Moyang
Sangat minimnya bukti sejarah yang mendeskripsikan bagaimana awal mulanya karya tekonologi dan pengetahuan tradisional nenek moyang kita ini bisa kita warisi sampai sekarang, akibatnya kita hampir tidak memiliki catatan sejarah atau kita tidak memiliki upaya untuk mendeskripsikan, mendokumentasikan dan/atau merekonstruksikan sejarah pembuatan sarung tenun ikat, proses penyulingan miras ( kuwu tua), tradisi penangkapan ikan paus (Lamalera, Lembata), dll. di NTT sebagai bagian dari sejarah pengetahuan dan teknologi tradisional asli warisan nenek moyang asli orang NTT. Ini bukan saja menjadi tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah, tetapi juga menjadi tanggung jawab kita semua sebagai warga masyarakat yang melekat hak-hak tradisional. Kita juga tidak mengetahui secara pasti sejak kapan nenek moyang kita di NTT memiliki pengetahuan tradisional dan mengembangkan menjadi teknologi tradisional berbagai produk pengetahuan dan teknologi tradisional, tradisi lisan, ritual-ritual yang kita lakoni sebagai ekspresi budaya tradisional masyarakat NTT dalam kehidupannya sehari-hari.
Selama 19 tahun reformasi yang ditindaklanjuti dengan amandemen UUD 1945, hingga sekarang, pemerintah dan pemerintah daerah mengabaikan kewajiban konstitusionalnya untuk merevitalisasi, merepatriasi dan merestorasi budaya sebagai upaya penyelamatan Obyek Pemajuan Kebudayaan guna mengimplementasikan ketentuan pasal 18A ayat (2), pasal 18B ayat (2), pasal 28I ayat (3) dan pasal 32 ayat (1 dan 2) UUD 1945. Tujuannya antara lain adalah untuk : mengembangkan nilai luhur budaya bangsa; memperkaya keberagaman budaya; mencerdaskan kehidupan bangsa; meningkatkan citra bangsa; mensejahterakan rakyat dan mempengaruhi arah perkembangan perdaban dunia sehingga kebudayaan menjadi haluan pembangunan nasional. Kelalaian memenuhi kewajiban konstitusional khsusnya bidang Pemajuan Kebudayaan, akan berakibat menguatnya perilaku pragmatisme, melunturnya daya tahan dan daya tangkal masyarakat terhadap pengaruh negatif dari luar termasuk lemahnya masyarakat menghadapi ancaman radikalisme, terorisme dan intoleransi dalam berbagai bidang yang pada gilirannya mengancam eksistensi NKRI.
Generasi Milenial memiliki kewajiban dan tanggung jawab konstitusional untuk menjaga dan melestarikan tradisi budaya yang menjadi obyek pemajuan kebudayaan, karena Hukum Adat dan Konstitusi 45 kita memberikan pengakuan dan jaminan berikut biayanya-pun dijamin oleh Pemerintah melalui APBN dan APBD. Konsekuensi yuridis dari pengakuan negara sebagaimana tertera dalam UUD 1945, dimana negara telah menempatkan kebudyaan sebagai investasi untuk membangun masa depan dan peradaban bangsa demi terwujudanya tujuan nasional sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Oleh karena itu keberagaman kebudayaan daerah merupakan kekayaan dan identitas bangsa yang sangat diperlukan untuk memajukan kebudayaan nasional di tengah dinamika perkembangan dunia, termasuk dapat dijadikan sebagai kekuatan penangkal paham radikal yang mencoba mengamputasi 4(empat) pilar negara khususnya Bhineka Tunggal Ika
Rumah Gedang, Rumah Adat Bena, dan Lepo-lepo di Sikka Dilindungi Negara
Hampir semua Rumah Gendang di Manggarai dan Rumah-rumah Adat seperti Bena di Ngada, di Lio Ende dan Lepo di Sikka dan Kabupaten lainnya di NTT berada dalam keadaan memprihatinkan, bukan saja pada kondisi bangunannya melainkan penghuninya, meskipun tetap memiliki fungsi sosial dengan hak tradisionalnya, yaitu sebagai tempat menyatukan suku, warga dalam 1 Desa dan keluarga dalam 1 Lepo baik dalam peristiwa duka cita maupun suka cita yang dialami oleh warganya. Fungsi sosial Rumah Adat sebagai tempat penyelesaian konflik yang dialami anggota masyarakat dan antar anggota warga dalam 1 (satu) Desa dengan warga lain Desa secara musyawarah, masih sangat tinggi. Mengapa, karena Rumah Adat memgemban misi pelayanan kepentingan warga 1 (satu) suku, 1 (satu) clan atau 1 (satu) Lepo dalam Hukum Adat yang selalu melekat dengan hak-hak tradisional yang diemban oleh fungsi Rumah Adat di setiap Kabupaten di Provinsi NTT.
Kondisi memprihatinkan semua Rumah Adat berciri khas tradisional ini sangat memerlukan hadirnya negara. Rumah tradisional Wae Rebo di Manggarai yang berada dalam kondisi memprihatinkan beberapa tahun yang lalu, telah menarik perhatian beberapa tokoh pencinta arsitek bangunan tradisional di Jakarta secara gotong royong telah merenovasi tanpa mengurangi sedikitpun bentuk aslinya. Juga Rumah Gendang di 3 (-tiga) Kabupaten Manggarai yang jumlahnya ribuan dalam kondisi memprihatinkan karena kondisi bangunannya sudah banyak yang tidak layak lagi, juga Lepo-Lepo di Sikka sama kondisinya, padahal ini adalah warisan nenek moyang yang masih melekat fungsi sosial adat dan hak-hak tradisionalnya masih berlaku secara efektif dalam menjaga kerukunan warga masyarakat dan dengan fungsi sebagai alat pemersatu untuk tempat bermusywarah secara adat dalam menyelesaikan konflik di antara warga masyarakat dan persoalan sosial lainnya.
Meskipun kondisi Rumah Gendang, Rumah Adat dan Lepo-Lepo di NTT sudah sedemikian parah dan hancur, akan tetapi hingga saat ini belum ada upaya dari Pemerintah Daerah sesuai dengan kewajibannya menurut UU No. 5 Tahun 2017, Tentang Pemajuan Kebudayaan untuk mendata, menginventarisasi dan melakukan pemeliharaan sebagai bagian dari upaya penyelamatan (revitalisasi, repatriasi dan rstorasi) demi mempertahankan citra NTT sebagai Provinsi dan Kabupaten yang berbudaya dalam menjaga keutuhan NKRI. Belum adanya langkah-langkah konkrit dari pemerintah daerah, jangan kita jadikannalasan untuk tidak memulai sesuatu terkait perlindungan terhadap Obyek Pemjuan Kebudayaan. Mari kita memulai mendata, menginventarisir dan memetakan obyek-obyek pemajuan kebudayaan sebagai bagian dari tanggung jawab sosial masyarakat dalam pembangunan kebudayaan. Jangan kita biarkan pemerintah bekerja sendiri, tetapi mari kita mulai dan ini perlu partisipasi masyarakat. Kalau bukan kita siapa lagi dan kalau bukan sekrang kapan lagi.
*PENULIS: KOORDINATOR TPDI, PENGAMAT MASALAH SOSIAL & BUDAYA NTT.