Pemimpin “Daur Ulang” dan Mahalnya Biaya Pilkada NTT 2018

by -132 Views
Suara Flores

Oleh: Petrus Selestinus

Pilkada NTT 2018 saat ini berada dalam kondisi sangat memprihatinkan. Partai politik peserta pilkada tidak mampu menghadirkan kader berkualitas dan berintegritas atau yang dapat dikualifikasi sebagai kader berkelas “kapitan perahu”. Masyarakat pun kesulitan menemukan figur “kapitan perahu” untuk menjadi kepala daerah dan membangun daerah. Mengapa?

Apakah karena partai politik kekurangan uang untuk melakukan kaderisasi dan pendidikan politik bagi kader-kader baru ? Ataukah karena masih banyaknya kader-kader tua dengan pola jaman tua masih ingin berkuasa ? Yang jelas rakyat merindukan pemimpin perubahan yang tidak “didaur ulang” tetapi pemimpin daerah dengan kriteria “kapitan perahu”.

Dicermati bahwa pemilu seakan hanya berlaku bagi penguasai partai. Pemilu juga seakan menutup ruang gerak bagi kader-kader militan yang sudah lama tinggal di partai tersebut. Dapat ditarik garis lurus bahwa pemilu seakan hanya memberi peluang kepada penguasai partai yang dapat memerintahkan kader untuk ia dapat bertarung. Ini termasuk dalam pemimpin “daur ulang” yang dikemas bungkusannya tapi isinya sama.

Dalam pilkada NTT, tidak terlihat satupun figur yang mendekati kriteria pemimpin “kapitan perahu” sesuai pandangan Prof Matulada yang kemudian dielaborsi oleh Dr. Ignas Kleden.

Kriteria pemimpin “kapitan perahu” adalah istilah dari antropolog Prof Mattulada terkait dengan konsep kepemimpinan maritim yang menurut Prof Mattulada hanya bisa tumbuh dari bawah,  tidak mungkin turun dari surga. Dia harus punya pengalaman yang matang terlebih bagaimana menjalankan perahu, teknik berlayar, membaca arah angin, melihat bintang di langit.

Yang terpenting lagi harus bisa bekerja sama dengan seluruh awak perahu agar bisa memimpin masyarakat menuju cita-cita bersama. Kalau perahunya karam maka sang kapitan perahu harus bertahan hingga penumpang dan awak perahu selamat atau mendapatkan pertolongan yang dibutuhkan. Kapitan perahu harus menjadi orang terakhir meninggalkan perahunya bukan dia turun dahulu.

Pendapat Prof Mattulada ini kemudian dielaborasi oleh Dr. Ignas Kleden dalam sebuah artikel di Harian Nasional, bahwa seorang “kapitan perahu” membutuhkan kompetensi seorang pemimpin yang transparan, yang diuji sendiri oleh alam. Melalui transparansinya itu, maka inkompentesinya tidak akan bisa ditutup-tutupi, sehingga dia tidak boleh bahkan tidak bisa “berpura-pura bisa” dengan kemampuannya karena akan terbongkar dalam waktu singkat saat menghadapi badai.

Baca juga: Flobamora Inc., Pilgub dan Nasib NTT

Sulitnya melahirkan kepemimpinan “kapitan perahu” maka menjamurlah pemimpin “daur ulang” di setiap musim pilkada. Pemimpin “daur ulang” adalah pemimpin yang sudah gagal memimpin dan gagal dalam pilkada berikutnya karena tidak layak lagi untuk dipilih. Ia muncul  tanpa malu-malu sebagai paslon pilkada berikutnya dengan kemasan atau bungkusan yang tambal sulam, agar bisa tampil dan dipilih kembali sebagai pemimpin untuk menipu pemilih.

Mahalnya Pilkada

Pada pilkada NTT 2018, KPU mendapat alokasi anggaran sebesar 318 miliar rupiah (belum termasuk anggaran pengamanan dan pengawasan). Besarnya anggaran ini diharapkan melahirkan pemimpin yang berkualitas bukan pemimpin “daur ulang” yang dibungkus isi dalamnya dengan kemasan baru.

Mencermati dari sosok-sosok yang sekarang tampil sebagai calon, maka antara besaran biaya yang digelontorkan negara sangat tidak balance dan compatible. Apalagi disana sini muncul sikap skeptis masyarakat. Tidak nampak atribut paslon dan partai politik pengusung yang seharusnya secara maksimal memperlihatkan adanya upaya maksimal dari paslon dan parpol pengusung sedang berjuang melahirkan seorang pemimpin di NTT.

Di sana sini masyarakat dan LSM bahkan partai politik mengeluhkan begitu banyak warga yang belum memiliki KTP Elektronik, sehingga berpotensi merugikan paslon dan masyarakat.

Disini muncul pertanyaan untuk apa dan untuk siapakah biaya begitu besar yang dikeluarkan oleh negara tetapi kualitas pelaksanaan pilkada di NTT sangat memprihatinkan. Besarnya anggaran untuk biaya pilkada 2018 di NTT-pun sempat mengganggu sejumlah kepala daerah mengambil kebijakan diskresi berupa menunda pelaksanaan proyek-proyek untuk tahun anggaran berjalan. Hal itu berarti hanya untuk sebuah euforia pilkada dengan pasangan calon yang minus malum, di luar kriteria bersih dan bebas KKN apalagi memenuhi kriteria “kapitan perahu”, rakyat harus dikorbankan.

Kita harus jujur mengakui bahwa sistim pilkada langsung belum mampu mendorong partisipasi masyarakat untuk ikut melahirkan pemimpin daerah dengan kriteria “kapitan perahu”. Padahal kondisi NTT terkini sangat membutuhkan model kepemimpinan “kapitan perahu”. Sistim pilkada langsung belum mampu menjawab kebutuhan masyarakat NTT untuk keluar dari kemiskinan, kebodohan dan ketertinggalannya.

Kita baru berada dalam taraf euforia sesaat menghamburkan biaya tinggi untuk sebuah pilkada yang tidak bermutu, sambil menikmati hingar bingar segelintir calon dan parpol membangun janji-janji palsu, karena janji janji itu hanya akan terdengar lagi pada saat kampanye pilkada dan akan senyap hilang tanpa bekas tatkala kekuasaan diraih.

Karena itu, tidak salah munculnya joke (lelucon,red) ditengah masyarakat saat pilkada, pileg bahkan pilpres tentang  apa beda antara Pilkada dengan Pil KB. Bedanya, pilkada kalau jadi lupa, sedangkan Pil KB kalau lupa jadi.Ini adalah sebuah sinisme yang sederhana tetapi sangat mengena karena orang selalu melupakan janji-janjinya setelah terpilih dan menjadi penguasa.

Pemimpin yang gagal total adalah pemimpin yang tidak mampu memberikan kepada warganya memiliki e-KTP. E-KTP memiliki nilai dan manfaat yang strategis ke depan serta dijadikan sebagai salah satu syarat bagi setiap warga dalam menggunakan hak pilih dalam Pilkada. Karena itu, rakyat silakan berpikir untuk menentukan pilihan politik pada pilkada serentak 27 Juni 2018 mendatang. ***

Petrus Selestinus, Koordinator TPDI & Advokat Peradi)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *