Oleh: Petrus Selestinus, SH*
Dalam rangka menjaga proses, mutu, ukuran (kualitas dan kuantitas), spesifikasi dan karakteristik suatu produk seni budaya agar bisa diterima oleh umum terkait dengan kebutuhan dan perkembangan kepariwisataan dimana NTT akan menjadi salah satu destinasi wisatawan dunia, maka pemerintah daerah bersama masyarakat khususnya para pelaku seni dan budaya di seluruh NTT, harus duduk bersama mengambil langkah-langkah konkrit untuk melindungi dan melestarikan keaslian seni, budaya tradisional yang secara turun temurun sudah menjadi sebuah peradaban masyarakat NTT. Karena itu melalui proses dan mekanisme “standarisasi dan sertifikasi” oleh sebuah lembaga “akreditasi” yang kompoten segera dibentuk dan diharapakan agar seluruh sanggar seni budaya yang mengelola produk seni dan budaya tradisional di NTT dapat disertifikasi untuk memenuhi standar yang sudah ditetapkan.
Jika produk seni dan budaya tradisional yang dikelola oleh sebuah sanggar telah memenuhi kriteria, kualitas, kuantitas, spesifikasi dan kualifikasinya sesuai dengan standar yang telah ditetapkan, maka sanggar-sanggar seni budaya yang telah memiliki kriteria atau kualifikasi memenuhi standar akan mendapatkan pengakuan dalam bentuk sertifikasi dari sebuah lembaga akreditasi yang diakui bersama oleh masyarakat dan pemerintah daerah. Karena itu maka sebuah sanggar seni dan budaya baru dapat dikatakan telah memenuhi standar, jika sanggar-sanggar itu telah memiliki sertifikasi sebagai bentuk pengakuan terhadap kualitas dan originalitas seni budaya yang dikelolanya.
Tujuannya tidak lain guna meningkatkan mutu berbagai macam sanggar seni budaya yang muncul akhir-akhir ini dengan berbagai motif dan kepentingan bukan saja sebagai sebuah dinamika dan kepedulian masyarakat dalam pembangunan kepariwisataan kita, tetapi juga ada sanggar-sanggar seni dan budaya yang mendadak didirikan oleh orang-orang yang tidak memiliki kualifikasi sebagai profesional di bidang seni atau budaya, hanya untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan bisnis semata, manakala pemerintah atau dunia pariwisata membutuhkan pementasan baik pada event lokal, nasional maupun internasional.
Saat ini Provinsi NTT, memasuki sebuah era baru, era dimana Provinsi ini cepat atau lambat akan menjadi daerah destinasi atau tujuan wisatawan dunia, yang diawali dengan Sail Komodo 2013 dan Tour de Flores/TdF 2016 pada tanggal 16-26 Mei 2016 yang akan datang. Tujuan dari Sail Komodo 2013 dan TdF 2016 – 2017 ini dimaksudkan untuk mempromosikan obyek wisata eksotika di NTT, dimana seni dan budaya tradisonal sebagai satu kesatuan dalam bingkai peradaban masyarakat NTT dengan menampilkan berbagai daya tarik wisata alam yang eksotik, akan menjadi menu spesial dalam promosi pariwisata dimana masyarakat sebagai salah satu komponen pelaku seni dan budaya menjadi unsur yang sangat penting dalam menjadikan NTT sebagai salah satu destinasi wisatawan dunia. Oleh karena itu eksistensi seni budaya tradisional yang pada saat ini sudah mulai pudar dan tidak lagi menampilkan bentuk dan karakter aslinya harus dipikirkan untuk dibangun dan dilestarikan oleh tangan-tangan yang memiliki keahlian, profesional dan kompeten di bidangnya.
Sejalan dengan lajunya kunjungan wisatawan dunia ke NTT dan giatnya pemerintah daerah, khususnya Dinas Pariwisata mengembangkan dan mempromosikan potensi pariwisata alam dan seni budaya eksotika NTT, telah berdampak dengan munculnya sanggar-sanggar seni budaya yang oleh sebagian pelaku seni di NTT dikategorikan sebagai sanggar-sanggar dadakan atau (sanggar-sanggar yang didirikan oleh orang yang tidak memiliki keahlian tentang seni budaya asli masyarakat setempat, tetapi karena memiliki akses dengan kekuasaan, sehingga mereka bisa eksis hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan pementasan dalam berbagai event, meskipun tidak memenuhi kualifikasi standar seni budaya yang eksotik). Mereka hanya memburu bayaran karena ada iming-iming mendapatkan kompensasi atas pementasannya itu, maka tanpa memperhatikan kualitas dan kriteria kelayakan pementasan, sanggar-sanggar inilah yang laris manis, tanpa memperhatikan kualitas dan keaslian seni budaya trafisional setempat yang hatus dikedepankan.
Baca juga: Pilkada Sikka, Robi Idong: Saya dikaderkan Aleks dan Ansar
Kondisi ini sangat menyedihkan karena munculnya sanggar-sanggar seni budaya yang “dadakan” (tiba-tiba muncul) pada akhir-akhir inilah yang secara langsung tidak langsung menggerus dan memarginalkan seni budaya tradisional yang original di setiap Kampung, Desa dan Kecamatan yang hidup dan berkembang atas kekuatan swadaya secara turun temurun, tanpa mendapatkan perhatian dan suport dari pemerintah untuk melestarikannya. Ironisnya lagi pemerintah daerah di seluruh NTT, sangat minim dalam memberikan perhatian dan suport teradap seni budaya tradisional yang hidup enggan mati tak mau, namun masih dibutuhkan ketika bisnis kepariwisataan yang memadukan obyek wisata alam dengan seni budaya tradisional dalam satu paket eksotika NTT, bakan menjadi peradaban mausia NTT karenanya perlu digalakan oleh pemerintah pusat, daerah dan masyarakat.
Urgensi untuk mempertahankan originalitas seni budaya tradisional masyarakat NTT, terkait dengan posisi NTT sebagai daerah tujuan wisatawan dunia yang menyimpan sejuta pesona menarik untuk dieksplore dengan daya dukung yang masih kuat seperti desa adat Waerebo dan sawah laba-laba (Manggarai), desa adat Bena (Bajawa), Danau Kelimutu (Ende) dll., maka proses standarisasi dan sertifikasi terhadap sanggar-sanggar yang mengelola seni budaya berikut aktivitas kepariwisataan lainnya di seluruh NTT oleh sebuah lembaga akreditasi yang independen dan kompeten, merupakan sebuah keharusan guna menjaga keaslian tarian adat, alat musik tradisional, ritual-ritual adat yang selama ini selalu mengawali dan menyertai seluruh rangkaian acara pentas seni dan budaya, baik pada event-event lokal dan nasional maupun pada event internasional dimanapun mereka diperlukan.
Ssebetulnya kewajiban menjaga, memelihara dan melestarikan adat istiadat, seni budaya, tradisi masyarakat sebahai sebuah kearifan lokal, merupakan hak dan kewajiban konstitusional pemerintah dan seluruh warga negara Indonesia menurut UUD’45 dan di dalam berbagai Undang-Undang pelaksanaannya. Karena itu ketika terjadi ancaman terhadap eksistensi originalitas seni budaya tari dan alat musik tradisional di setiap kampung, desa dan kecamatan di seluruh NTT dengan berbagai cara dan motif seperti munculnya sanggar-sanggar dadakan yang diciptakan untuk memenuhi kebutuhan pasar dan komersial dengan menyeragamkan gerak seni tari tradsional yang bebas dan dengan alat musik dan cara memainkan dengan irama dangdut, pop Mlayu dll., maka kondisi demikian bukan saja menjadi sebuah pelanggaran trhadap konstitusi akan tetapi juga merupakan ancaman terhadap eksitensi dan originalitas seni, budaya tardisional NTT yang sudah menyatu sebagai sebuah peradaban masyarakat NTT yang berada pada ancaman kepunahan. Karena secara bertahap, sadar atau tidak nilai dan roh seni budaya NTT mulai kehilangan aslinya dan menuju kearah kepunahan yang sulit dikembalikan lagi.
Masuknya irama dangdut, pop Melayu dll. dalam pola hubungan masyarakat telah membawa dampak pada berpalingnya generasi muda kepada hal-hal yang berbau asing, sementara seni budaya asli di NTT mulai dilupakan, dianaktirikan bahkan tidak memiliki daya dukung yang kuat untuk memfilter masuknya anasir-anasir aliran musik dan tari-tarian dari luar yang secara perlahan-lahan menggusur nilai seni budaya tradisional NTT dengan segala falsafah yang dimiliki. Ini bukan merupakan kelalain saja tetapi ini adalah sebuahnpengkianatan terhadap konstitusi yang dilakukan secara kolektif baik oleh pemerintah daerah maupun oleh masyarakat. Tidak ada pembinaan dan pemberdayaan sosial oleh pemerintah untuk membina, melestarikan dan menciptakan inovasi baru guna memperkaya khasanah seni budaya asli NTT yang menunjukan peradaban sebuah komunitas asli multi etnis NTT.
0leh karena itu, sangat mendesak bagi pemerintah dan masyarakat pelaku seni dan budaya untuk duduk sama-sama membicarakan pembentukan lembaga akreditasi seni dan budaya tradisional di NTT, melakukan standarisasi dan sertifikasi terhadap usaha kelompok seni dan budaya guna mempertahankan originalitas seni budaya tradisional NTT dari ancaman kepunahan terutama dengan munculnya sanggar-sanggar dadakan yang tidak terkontrol standarisasinya, sehingga secara langsung atau tidak langsung, sanggar-sanggar ini ikut menggerus keaslian seni buadaya tradisional melalui berbagai macam cara antara lain penyeragaman gerak tari-tarian dan permainan musik tradisional berimana dangdut, pop Melayu dll. Semua ini dimaksudkan untuk memfilter dan memenuhi kebutuhan pariwisata dan dalam rangka menciptakan multiplier effect atau efek berantai dari aktivitas usaha kepariwisataan yang menjadi tanggung jawab bersama antara masyarakat, pemerintah, pengusaha dan wisatawan.
*Penulis Ketua KBM Jaya Jakarta & Aktivis “Save NTT” di Jakarta.