PENYAKIT Pneumonia merupakan penyakit infeksi utama yang bisa menjadi penyebab kematian pada anak di dunia. Hingga saat ini, Pneumonia masih merupakan penyebab terbesar kematian balita secara global, setiap 30 detik, seorang anak usia < 5 tahun meninggal karena pneumonia. Demikian dikatakan Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Sumba Barat, Drg. Bonar Bernadus Sinaga, M.Kes, pada pertemuan Pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) Manajemen Terpadu Balita Sakit Berbasis Masyarakat (MTBS/M) Tingkat Kabupaten Sumba Barat di Restoran Sumba Ate pada Jumat, 1 Maret 2019 lalu.
Kepala Dinkes Sumba Barat, menjelaskan. pada tahun 2015, terdapat 5,9 juta balita meninggal dan 15 % (935.000) diantaranya karena pneumonia. Pneumonia menyerang anak dan keluarga dimana pun berada, namun tertinggi terjadi di Asia Selatan dan sub-Sahara Afrika. Anak, kata Kepala Dinkes Sumba Barat, dapat dilindungi dari pneumonia. Pencegahan cukup dengan intervensi dan biaya pengobatan rendah, dengan teknologi kedokteran dan pelayanan kesehatan sederhana.
Sebelumnya, pada kegiatan Bursa Inovasi Desa yang dihadiri semua kepala desa, Ketua BPD, tokoh masyarakat dan tokoh perempuan serta para pendamping dana desa se-Kabupaten Sumba Barat di aula SMA Kristen Waikabubak beberapa waktu lalu, Kepala Dinkes juga menjelaskan terkait penyebab terjadinya Penyakit Pneumonia pada balita. Dijelaskannya, pneumonia itu merupakan infeksi pada jaringan paru yang disebut dengan alveoli. Ketika seorang anak mengidap pneumonia maka anak mengalami peradangan pada paru yang mengakibatkan tertimbunnya eksudat di paru-paru dan mengakibatkan terjadinya gangguan pertukaran gas.
Dokter Bonar juga menjelaskan, kuman penyakit akan bisa mencapai jaringan paru bila ada inhalasi melalui udara napas, ada aspirasi kuman yang ada di tenggorokan dan melalui aliran pembuluh darah (bacteraemia) serta bersumber langsung dari infeksi dekat paru paru atau trauma menusuk paru-paru.
Dijelaskannya, seorang anak yang terkena Pneumonia biasanya pada awal yang dirasakan adalah adanya infeksi saluran pernafasan atas, kemudian terjadi infeksi akut saluran pernafasan bagian bawah (paru-paru) yang kemudian berakibat terjadinya pneumonia. Untuk mengatasinya, maka setiap pasien terlebih orangtua anak harus mengetahui tata laksana penanganannya. Ciri-ciri seseorang dengan Pneumonia bisa juga ditandai dengan adanya batuk yang berkepanjangan yang menyebabkan kesukaran bernafas pada balita.
Untuk itu, ketika melakukan pemeriksaan pada balita maka harus melakukan pemeriksaan secara menyeluruh. Pada saat pemeriksaan, seorang petugas harus menanyakan, melihat, merasa dan mendengarkan. Pada saat pemeriksaan ini juga, petugas harus sudah bisa menentukan ada tidaknya tanda bahaya dan selanjutnya harus bisa melakukan klasifikasi Penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut). Selanjutnya, petugas kesehatan akan melakukan pengobatan dengan menyampaikan cara meminum obat yang benar serta menyarankan agar keluarga atau orangtua bisa melakukan perawatan anak di rumah.
“Pada saat pemeriksaan, tanyakan berapa umur anak, apakah anak menderita batuk ataukah kesukaran bernafas dan berapa lama. Kemudian, tanyakan apa saja tanda bahayanya seperti apakah bayi di bawah dua bulan kurang bisa minum atau menetek? Apakah bayi 2 sampai 59 bulan tidak bisa minum atau menetek? Apakah anak pernah mengalami wheezing atau mengigau dan apakah berulang-ulang? Apakah anak demam dan berapa lama? Apakah anak kejang? Inilah tahapan pertama yang harus dilakukan oleh seorang petugas ketika memeriksa seorang balita, “kata Dokter Bonar.
Dokter Bonar, menambahkan, tindakan yang harus dilakukan pada saat melihat adalah harus memastikan seorang dalam kondisi tenang. Apakah ada tanda nafas cepat dan TDDK atau tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam? Apakah kesadarannya menurun dan terlihat gizi buruk? Petugas selanjutnya juga meraba tubuh anak untuk memastikan apakah anak demam ataukah terlalu dingin. Langkah selanjutnya adalah seorang petugas harus bisa mendengarkan seperti apakah seorang anak terdengar stridor dan wheezing ataukah tidak.
Dalam pemeriksaan, lanjutnya, petugas bisa menghitung waktu seorang anak bernafas. Misalnya dalam waktu satu menit atau 60 detik, akan dianggap nafas cepat bila untuk anak berumur di bawah 2 bulan bila anak bernafas 60 kali per menit atau lebih. Anak berumur 2 bulan hingga di bawah 12 bulan dianggap nafas cepat bila terjadi 50 kali per menit atau lebih. Anak berumur 12 bulan sampai 5 tahun dianggap nafas cepat bila 40 kali per menit atau lebih.
Kadis Kesehatan Kabupaten Sumba Barat ini, menjelaskan, persoalan Pneumonia belum semua orang mengetahuinya. Ia mencontohkan, ketika seoranga anak saat bernafas terlihat ada tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (TDDK) maka orangtua harus segera membawa anak ke puskesmas atau rumah sakit karena itu salah satu tanda dari Pneumonia. Ciri-ciri seorang anak dengan TDDK bila saat tarik napas, dada bagian atas dan perut bergerak keluar (mengembang), sedangkan dada bagian bawah justru bergerak ke dalam.
Untuk mendeteksi seorang anak mengidap Pneumonia ataukah tidak maka petugas bisa melakukan pemeriksaan dengan menggunakan alat atau metode Stetoskop. Untuk alat Stetoskop tingkat sensitivitas 53 % dan spesifisitas 59 %. Untuk menghitung nafas dengan TDDK maka tingkat sensitivitas 77 % dan spesifisitas 58 %. Dokter Bonar mengingatkan, seoran anak atau balita yang mengalami demam dan batuk bukan berarti diklasifikasikan sebagai Pneumonia karena spesifisitas gejala ini dan nilai prediksinya rendah.
Ciri-Ciri Pneumonia
Seorang anak baru dikatakan mengalami Pneumonia khsususnyya yang berumur di bawah 2 bulan biasanya dicirikan dengan adanya nafas cepat 60 kali permenit atau lebih, nafas lambat 30 kali per menit, TDDK, kurang bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, wheezing, tangan dan kaki teraba dingin, tanda gizi buruk dan demam. Anak dengan tanda bahaya salah satu dari tanda tadi maka bisa dikategorikan sebagai penyakit sangat berat dan perlu segera melakukan tindakan rujuk. Untuk bisa rujuk maka perlu didiagnosa terlebih dahulu oleh dokter. Untuk anak umur di bawah 2 bulan tidak ditemukan tanda bahaya maka anak tersebut masuk klasifikasi batuk bukan pneumonia.
Untuk anak 2 bulan sampai 59 bulan baru dikatakan pneumonia bila tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, gizi buruk, tampak biru, ujung tangan dan kaki terlihat pucat dan dingin. Bila kita menemukan seorang anak dengan salah satu tanda tersebut maka anak tersebut masuk kategori penyakit sangat berat dan perlu segera dirujuk. Ditambahkannya, tindakan yang harus dilakukan pada tahapan pra rujukan penyakit sangat berat yaitu memberikan satu dosis antibiotic, obati demam dan wheezing jika ada. Ibu juga harus tetap memberikan ASI dan selanjutnya segera membawa ke rumah sakit.
Kepala Dinkes Kabupaten Sumba Barat, Drg. Bonar Sinaga, menjelaskan, selama ini Dinas Kesehatan melalui Puskesmas terus melakukan berbagai upaya pencegahan dan penanganan Pneumonia. Namun, pihaknya juga mengalami hambatan di lapangan. Hambatan yang ditemukan di lapangan seperti masih banyak anak menderita pneumonia tanpa diketahui oleh ibu atau pengasuhnya. Sebanyak 50 % kematian itu terjadi dalam 3 hari setelah gejala penyakit muncul dan ketersediaan tatalaksana kasus pneumonia masih rendah.
Untuk itu, ia berharap ada komitmen petugas puskesmas untuk bisa menghitung napas atau memeriksa TDDK serta memberikan terapi antibiotika dan obat simptomatik yang tidak rasional. Hal ini tentu memerlukan upaya peningkatan kualitas dan kuantitas dari kegiatan monitoring dan evaluasi terhadap penanganan Penyakit ISPA. Untuk melaksanakan kegiatan Pengendalian ISPA, jelas Dokter Bonar, diperlukan data dasar (baselined) program yang lengkap dan akurat. Data dasar atau informasi tersebut diperoleh dari pelaporan rutin berjenjang dari fasyankes hingga ke pusat setiap bulan.
Pelaporan rutin kasus pneumonia tidak hanya bersumber dari Puskesmas saja tetapi dari semua fasilitas pelayanan kesehatan baik swasta maupun pemerintah. Pelaporan surveilans sentinel Pneumonia semua golongan umur dari lokasi sentinel dilakukan setiap bulan dan laporan kasus influenza pada saat pandemi. Setelah data terkumpul, kata Dokter Bonar, dilakukan pengolahan dan analisis baik di tingkat Puskesmas, tingkat kabupaten maupun di tingkat provinsi.
Sehubungan dengan pencatatan dan pelaporan, menurut Dokter Bonar, seorang kader pelaksana MTBS-M bisa mencatat tata laksana kasus pada formulir tata laksana balita sakit atau bayi muda, kemudian memasukkan ke lembar register MTBS-M dan Buku KIA. Selanjutnya petugas puskesmas memindahkan catatan tersebut ke dalam buku kohirt bayi atau kohort anak balita sebagai pelayanan MTBS, dan supervisor akan melaporkan seluruh rangkaian proses dan hasil penyelenggaraan MTBS-M sebagai informasi bagi pihak lain. Laporan yang telah disusun tersebut akan diketahui oleh Kepala Puskesmas, dan dikirimkan ke Dinas Kesehatan Kabupaten minimal 3 bulan sekali, kemudian secara berjenjang ke Dinas Kesehatan Provinsi dan Kementerian Kesehatan RI.
Dukungan berbagai sektor
Penanganan Pneumonia di Kabupaten Sumba Barat mendapatkan dukungan berbagai pihak. Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa, Jefry Dapamerang, SP,MM, menegaskan komitmennya untuk mendukung berbagai upaya penanganan Pneumonia di daerah. Caranya adalah Pokja MTBS/M harus dibentuk di tingkat kabupaten. Pada tahap awal anggaran untuk monitoring di desa atau puskesmas menjadi tanggung jawab masing-masing dinas terkait.
Untuk tahun 2020 Pokja MTBSM bisa dianggarkan lagi untuk membiayai sejumlah kegiatan. Bahkan, kata Kadis PMD ini, pada tahun 2019 ini, melalui dana desa ada sejumlah pembiayaan untuk program kesehatan ibu dan anak serta boaya penanggulangan berbagai jenis penyakit seperti ISPA dan Malaria melalui pembiayaan perilaku hidup bersih dan sehat. “Perlunya dukungan dari berbagai pihak terkait tata laksana Pokja MTBSM ini sampai dengan sistim pencatatan dan pelaporannya. Pokja ini sangat penting untuk mendorong peningkatan kualitas kesehatan masyarakat, “ujarnya.
Kadis PMD menyarankan kepada Dinas Kesehatan dan Puskesmas agar bisa menyiapkan tenaga pelaksana MTBS/MTBS-M dan formulir R/R untuk pelaksanaan MTBS/MTBS-M. Menurutnya, dengan adanya Pokja ini maka tentu masyarakat mendukung secara aktif, menemukan dan mencatat kasus bayi balita pneumonia serta melaporkan ke petugas kesehatan terdekat. Hal sama juga dikemukakan oleh Kepala Bappeda Kabupaten Sumba Barat, Titus Diaz Liurai, S.Sos, MM. Menurut Kepala Bappeda, keberadaan Pokja MTBSM bisa mendorong upaya penanganan Pneumonia dan hal ini menjawab amanat Peraturan Daerah tentang Kesehatan Ibu Bayi dan Anak atau Perda KIBA. (Penulis: Silvester Nusa, Sumba Barat).