Oleh: Iant Lily (Ketua Pospera NTT)
Pulau Komodo memberikan keindahan alam yang tidak di miliki oleh belahan dunia lain. Menurut National Geograpic 2011, Pulau Komodo didaulatkan menjadi salah satu 7 keajaiban dunia (The New 7 Wonders).
Prestasi ini memberikan dampak signifikan bagi Indonesia, dengan datangnya turis mancanegara maupun domestik berkunjung ke Pulau Komodo, bahkan menurut data pemerintah tahun 2018 wisatawan yang berkunjung ke pulau Komodo mencapai 126 ribu pengunjung.
Hal ini, menggelitik pemerintah pusat untuk mulai gencar memprioritaskan pembangunan pariwisata besar besaran di NTT khususnya pulau Komodo, melalui PERPRES 32 tahun 2018.
Begitu juga, Gubernur terpilih Viktor Laidkodat, yang salah satu visi misinya, yaitu pengembangan pariwisata NTT. Beliau tidak segan- segan membuat pernyataan – pernyataan kontroversial terkait pembangunan pariwisata Pulau Komodo. Dengan tegas beliau mengatakan akan menutup sementara dan memindahkan masyarakat yang hidup di Pulau Komodo.
Pernyataan dari Gubernur Viktor Laiskodat tentu tidak mudah untuk di selesaikan secara sepihak, apalagi persoalan memindahkan manusia yang sudah hidup ribuan tahun di Pulau Komodo, bahkan warga Pulau Komodo mengklaim diri mereka adalah keturunan Komodo.
Tentu, ini masalah serius yang perlu dilihat dari banyak aspek (sosial, budaya, ekonomi dan lingkungan). Sebab kurang lebih ada 1.700 penduduk asli hidup di Pulau Komodo.
Jika memang Gubernur ingin memindahkan masyarakat yang sudah lama hidup di Pulau Komodo demi investasi pengembangan pariwisata NTT, maka apakah pemerintah sudah siap secara matang dengan berbagai konsekuensinya?
Memindahakan masyarakat, tentu bukan saja manusianya, tapi lingkungannya untuk beradaptasi, kehidupan sosial dan budayanya, pendidikannya, sandang pangannya dan mata pencariannya.
Kita sering mengalami kasus-kasus seperti ini, hanya karena pembangunan, masyarakat justru menjadi korbannya. Sama halnya kasus yang terjadi ketika pemerintah Kota Kupang ingin membangun bendungan di Kolhua, tapi ditolak oleh warga yang tinggal di lokasi pembangunan bendungan, padahal bendungan yang sebenarnya menjadi kebutuhan rakyat Kota Kupang akhirnya di batalkan pembangunannya.
Maka itu, kajian dan pendekatan persuasif itu sangat penting demi menemukan solusi bersama yang baik bagi kelansungan hidup masyarakat di Pulau Komodo.
Akhirnya, saya yakin bahwa jika Pemerintah Provinsi NTT ingin membangun NTT sebagai destinasi pariwisata dunia berskala besar dan bertujuan untuk peningkatan ekonomi masyarakat bukan ekonomi investor maka dengan sendirinya rakyat akan menerimanya. Sebab NTT harus maju, NTT harus bisa dan NTT harus sejahtera. Tentu, semua keputusan ada konsekuensinya, tapi kita jangan mau menjadi provinsi yang selalu mendapat gelar provinsi tertinggal.