SUARAFLORES.NET — Puluhan difabel sedaratan Flores mengikuti Pelatihan Motivasi Diri yang dilaksanakan oleh Caritas Keuskupan Maumere, Flores. Pelatihan ini menghadirkan 2 fasilitator, yakni Sunarman Sukamto dari PPRBM Solo yang sekarang bekerja di Kantor Staf Presiden dan Nengah Latra dari Yayasan PUSPADI Bali.
Ada beberapa tujuan dari Pelatihan Motivasi Diri, yakni meningkatkan rasa percaya diri orang berkebutuhan khusus untuk terus berusaha hingga memiliki posisi tawar yang kuat di masyarakat. Mengurangi perasaan terkucil (sense of social isolation) dimasyarakat dikarenakan disabilitasnya. Mengurangi rasa curiga kepada pihak-pihak yang sedang bekerja mendampingi orang dan anak berkebutuhan khusus. Menguatkan kapasitas pengurus Forsadika sebagai motivator untuk orang dan anak berkebutuhan khusus lainnya.
Lebih lanjut, kegiatan ini juga bertujuan memotivasi difabel untuk berani berwirausaha sesuai potensi dan modal dasar yang mereka miliki. Memotivasi difabel-difabel di Sikka dan mitra Caritas Germany yang lain agar mau mengubah mental dan pola pikir mereka (mindset).
Caritas sendiri menaruh harapan besar agar orang dengan kebutuhan khusus memiliki posisi tawar didalam relasi sosial dan wirausaha. Terbangunnya jejaring kerjasama Forsadika dengan semua lembaga yang bekerja mendampingi orang dan anak berkebutuhan khusus sebagai modal advokasi bersama. Lahirnya motivator-motivator baru untuk pemberdayaan orang dan anak berkebutuhan khusus di wilayah mereka masing-masing
Kegiatan yang berlangsung di Nara Room Hotell Maumere, Desa Lepo Lima ini mendapat reaksi positif dari sejumlah difabel yang hadir. Mereka tampak antusias menyimak materi-materi yang dipaparkan narasumber. Tampak mereka berdialog serius ketika mendapat materi disampaikan.
Sebagian besar menyampaikan isi hati yang selama ini mereka alami dalam kehidupan rumah tangga ataupun di tengah masyarakat. Bagi mereka, difabel sama-sama memiliki hak yang juga dapat memberikan kontribusi untuk pembangunan melalui kreatifitas dan kemampuan yang dimiliki. Mereka berharap agar para pihak, baik Pemerintah, DPRD dan pihak swasta dapat menyelami dan berpihak pada difabel melalui fasilitas dan pembangunan.
“Difabel tidak untuk dikasihani, tidak ingin dapat keprihatinan tapi lebih kepada keberpihakan. Kami butuh kesetaraan dalam pelayanan. Kita sama-sama rakyat Indonesia,” ujar sejumlah difabel kepada SuaraFlores.Net di sela-sela diskusi di Nara Room Hotel Maumere belum lama ini.
Koordinator Program Caritas Keuskupan Maumere Margareta Helena menjelaskan bahwa Caritas Maumere sejak tahun 2013 bekerjasama dengan Caritas Jerman melalui program rehabilitasi bersumberdaya masyarakat mendampingi orang dan anak berkebutuhan khusus. Dari awal program Caritas aktif melakukan kampanye dan sosialisasi tentang hak orang dan anak berkebutuhan khusus.
Dari tahun ke tahun mulai muncul kesadaran dan pemahaman yang baik tentang hak-hak orang dan anak berkebutuhan khusus. Gereja dan pemerintah setempat mulai menunjukkan kepedulian dan keberpihakan kepada mereka melalui kebijakan anggaran dan relasi sosial yang melibatkan mereka.
Margareta mengatakan, saat ini, di Sikka sudah ada organisasi yang menaungi anak dan orang berkebutuhan khusus. Organisasi ini dalam bentuk forum dengan nama FORSADIKA (Forum Belarasa Difabel Nian Sikka). Usia forum ini terbilang mudah karena belum genap setahun. Walalupun usianya masih muda, forum ini sudah mensosialisasikan dirinya di lingkup pemerintah dan gereja.
Sebagai lembaga yang membidangi lahirnya organisasi ini, Caritas melihat masih ada faktor X yang mempengaruhi mental orang berkebutuhan khusus dan keluarga anak berkebutuhan khusus. Stigma yang dilabelkan kepada mereka sebagai orang yang layak mendapatkan bantuan membuat spirit hidup sebagian mereka menjadi lemah. Sekalipun di Sikka ada banyak lembaga sosial yang bekerja mendampingi kelompok ini tetapi sulit mengukur keberhasilan.
Ia mengatakan, salah satu faktor internal dari lembaga pendamping adalah model pendampingan tidak menyeluruh dan sifatnya sesaat tidak berkelanjutan. Menggunakan istilah hulu dan hilir. Sepertinya pendampingan hanya dilakukan di hulu, sedangkan dihilir dibiarkan berkembang secara alamiah.
Hal ini tidak terlepas dari durasi project dan sifat program yang disalurkan. Model ini membuat orang dengan kebutuhan khusus seperti kelinci percobaan. Mereka akhirnya menjadi putus asa karena merasa tidak dilayani dengan baik untuk menjadi manusia yang sempurna dan berdayaguna.
Baca juga: Manfaatkan Dana Desa, Kaum Muda Lela Buka Kebun Sayur Organik
Baca juga: Maxi Deki, Anggota DPRD yang Rayakan Syukuran Pelantikan di Panti Asuhan
Fakktor ekonomi, tingkat pendidikan, relasi sosial yang sangat minim membuat mereka menjadi kelompok marginal yang hanya berjuang mempertahankan hidup dari waktu ke waktu. Sesuatu yang sangat mustahil bagi mereka untuk bermimpi menjadi orang suskses walaupun memiliki kemampuan berbeda.
Tidak jarang lembaga-lembaga yang bekerja mendampingi kelompok ini menjadi bulan-bulanan karena dianggap sedang menjual keterbatasan mereka untuk mendapatkan keuntungan. Ketidakpahaman mereka tentang mekanisme kerja yang mewajibkan setiap lembaga untuk mempertanggungjawabkan dana, baik narasi maupun keuangan menjadi alasan lembaga-lembaga ini dicurigai. Untuk menghapus atau menghilangkan presepsi yang keliru atau salah di tingkat mereka, perlu ada penguatan kapasitas di tingkat mereka.
Sebelum sampai pada hal yang lebih besar dan luas menyangkut kerjasama dengan pihak ketiga, mereka perlu dimotivasi untuk lebih percaya diri dan berjiwa besar untuk berusaha. Harapannya ketika ada motivasi diri dan mau berusaha menjadi lebih baik dan sukses menimbulkan rasa percaya diri bahwa mereka memiliki kemampuan yang sama dengan orang non disabilitas.
Sisi lain, lanjut Margita, yang juga muncul selama proses pendampingan oleh Caritas adalah tidak saling mendukung satu dengan yang lain. Cemburu sosial menjadi tinggi ketika ada sesama memiliki kemampuan yang lebih. Faktor kesulitan ekonomi membuat mereka sangat rentan dalam hal pengelolaan keuangan baik secara individu maupun di dalam kelompok.
Faktor-faktor ini yang selama ini terlihat dan dirasakan oleh Caritas. Boleh jadi apa yang sudah diungkapkan ini ‘Salah Besar’ karena salah menggunakan kaca mata untuk melihat mereka. Jika benar ini sesuatu yang Salah artinya ada Fakktor X yang membutuhkan pihak lain untuk membantu melihatnya.
Caritas sendiri merasa sangat membutuhkan orang atau pihak lain untuk membantu meluruskan jalan pendampingan orang dan anak dengan kebutuhan khusus agar ke depannya menjadi lebih baik.
Margareta menjelaskan bahwa tiga tahun terakhir ini Caritas fokus melakukan advokasi hak-hak orang dan anak berkebutuhan khusus di pemerintah dan gereja. Ini menjadi pertanyaan besar buat mereka karena menurut mereka yang lebih dibutuhkan bukan kebijakan tetapi sesuatu yang langsung didapatkan untuk mempertahankan hidup mereka.
Cara berpikir seperti ini melemahkan daya juang mereka untuk mengadvokasi hak-hak mereka. Ini tidak terlepas dari perjuangan advokasi membutuhkan waktu yang lama dan hasilnya tidak langsung dinikmati oleh mereka.
“Melalui training motivasi diri ini, diharapkan ada semangat baru yang muncul untuk terus berjuang dan berusaha agar menjadi orang sukses. Meminimalisir perasaan curiga kepada lembaga-lembaga yang bekerja mendampingi mereka bahwa mereka sedang dieksploitasi dan Menjadikan Forsadika sebagai wadah yng kuat untuk merebut kembali hak-hak mereka,” tandas Margareta. (sfn02).