Pustakawan Berkarya Wujudkan Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial Tingkatkan Kesejahteraan Rakyat

by -54 Views

JAKARTA,SUARAFLORES.NET,- Kementerian Dalam Negeri dan Kepala Perpustakaan Nasional menyelenggarakan Rakornas Bidang Perpustakaan 2019 pada Kamis, (14/3/19) di Birawa Hall Hotel Bidakara, Jakarta Selatan. Rakornas yang dibuka secara resmi oleh Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo mengusung tema “Pustakawan Berkarya Mewujudkan Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat.”

Rakornas ini merupakan gerakan pertama kali dalam sejarah yang dihadiri kurang lebih 3.000 orang dari seluruh Indonesia. Mendagri, Tjahjo Kumolo mengatakan, perpustakaan memiliki peran penting dalam upaya mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas, mandiri dan mampu berdaya saing di era global. Salah satu peran penting tersebut ialah membangun ekosistem masyarakat berpengetahuan (knowledge based society).

“Peranan penting Perpustakaan melalui upaya mewujudkan ekosistem masyarakat yang berpengetahuan, perpustakaan mengusung rencana strategis penguatan literasi masyarakat. Peranan perpustakaan dalam penguatan literasi masyarakat dilaksanakan melalui transformasi layanan perpustakaan berbasis inklusi sosial. Secara inklusif adalah hak masyarakat untuk mendapatkan layanan perpustakaan, di mana pun mereka berada dan pada kondisi apa pun. Hal ini dijamin oleh negara melalui Undang-undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan,” kata Tjahjo.

Menurutnya, berdasarkan hasil Sensus Data Perpustakaan oleh Perpustakaan Nasional RI tahun 2018, diketahui bahwa 31 Provinsi dari 34 Provinsi di Indonesia telah memliki Peraturan Daerah Bidang Perpustakaan. Artinya sudah 91%. Kemudian 162 dari 514 Kabupaten/Kota telah memiliki Peraturan Daerah Bidang Perpustakaan 32%. Kerenanya, Kemendagri terus mendorong Pemerintah Daerah untuk menyusun Perda terkait Perpustakaan.

“Kementerian Dalam Negeri bekerjasama dengan Perpustakaan Nasional terus mendorong daerah yang belum memiliki Peraturan Daerah Bidang Perpustakaan, untuk segera menyusun Peraturan Daerah Bidang Perpustakaan guna menjamin kepastian dan keberlanjutan layanan perpustakaan di daerah sebagai salah satu urusan wajib pemerintah daerah,” papar Tjahjo. 

Kelembagaan Perpustakaan di Daerah Harus Kuat

Tjahjo Kumolo menekankan agar kelembagaan perpustakaan di daerah harus kuat. Hal itu dilakukan guna mewujudkan tata kelola perpustakaan sebagai salah satu urusan wajib non pelayanan dasar pemerintah daerah. “Agar bisa mewujudkan tata kelola perpustakaan, kelembagaannya perpustakaan di daerah juga harus kuat,” tegasnya.

Tjahjo juga membagi Kelembagaan perpustakaan di Provinsi dan Kabupaten/Kota di Indonesia ke dalam 3 (tiga) tipologi, yaitu: Dinas Perpustakaan Provinsi dan Tipologinya Provinsi yang telah membentuk kelembagaan Perpustakaan di tingkat provinsi hingga saat ini sejumlah 34 Provinsi (100%). Rincian tipologi perpustakaan pada 34 provinsi adalah Tipologi A sebanyak 23 Dinas Perpustakaan; Tipologi B sebanyak 10 Dinas Perpustakaan; dan Tipologi C sebanyak 1 Dinas Perpustakaan. Dinas Perpustakaan Kabupaten/Kota dan Tipologinya Kabupaten/Kota yang telah membentuk kelembagaan Perpustakaan di Kabupaten/Kota sejumlah 482 (93.74%). Dengan klasifikasi Tipologi A sebanyak 70 Dinas Perpustakaan, Tipologi B sebanyak 179 Dinas Perpustakaan, dan Tipologi C sebanyak 227 Dinas Perpustakaan.

Oleh karena itu, Tjahjo Kumolo menekankan agar kepala daerah memerhatikan tujuh poin penting sebagai berikut; pertama, membentuk Dinas Perpustakaan bagi pemerintah daerah yang belum. Kedua, memperkuat struktur kelembagaan dan tata laksana perpustakaan kecamatan dan desa/kelurahan melalui peraturan perundang-undangan. Ketiga, mendorong penyelenggaraan Perpustakaan Umum pada tingkat provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan dan Desa/Kelurahan berjalan dengan baik. Keempat, Memacu pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kesenjangan pembangunan antarwilayah, pentingnya pembangunan perpustakaan di wilayah tertinggal, terdepan, terluar dan perbatasan (3TP). Kelima, optimalisasi pemanfaatan Nomor Induk Kependudukan (NIK) pada e-KTP sekaligus sebagai Kartu Anggota Perpustakaan di seluruh wilayah Republik Indonesia.

Selanjutnya, keenam, mempercepat implementasi MoU Kerjasama antara Kementerian Dalam Negeri dengan Perpustakaan Nasional RI Nomor 041/735/SJ, 2/PKS/I/2019, tentang Kerjasama Dalam Rangka Koordinasi Tugas dan Fungsi Lingkup Kementerian Dalam Negeri dan Perpustakaan Nasional, khususnya dalam memperkuat kerangka regulasi, kelembagaan, ketenagaan dan kualitas pengelolaan perpustakaan di daerah.Ketujuh, Dana DAK transfer ke daerah sebagian untuk pengembangan  perpustakaan, literasi dan kegemaran membaca, terutama penyediaan buku buku life skill dan home industry serta  buku buku teknologi terapan.


Kepala Perpustakaan Nasional RI, Muhammad Syarif Bando

Literasi Bukan Sekedar Membaca

Kepala Perpustakaan Nasional RI, Muhammad Syarif Bando dalam laporannya mengatakan, Rakornas yang dihadiri sekitar 3.000 orang peserta baik para kepala dinas maupun staf perpustakaan tingkat provinsi, kabupaten/kota, perpustakaan tingkat universitas maupun sekolah, pegiat literasi hingga berbagai jenis perpustakaan di Indonesia. Ia pun mengaku, salah satu faktor kesuksesan penyelenggaraan Rakornas dan literasi di tingkat daerah tak lepas dari peranan Menteri Dalam Negeri dan jajarannya yang terus mendorong Pemerintah Daerah dalam hal Perpustakaan dan literasi untuk masyarakat. “Pertama dalam sejarah dalam 38 tahun dihadiri oleh kurang lebih  3.000 orang. Hal ini juga tak lepas dari dukungan Mendagri. Ke depan kita harapkan Perpustakaan akan semakin Berjaya dengan dukungan Mendagri dan semua pihak,” kata Syarif.

Syarif Bando juga menegaskan bahwa Literasi bukan hanya sekedar membaca, tetapi juga aplikasi dari nilai-nilai positif dari apa yang dibaca. “Literasi bukan sekedar membaca, tapi bagaimana seseorang bisa menyerap nilai-nilai positif dari apa yang di baca, kalau yang sekedar bisa baca banyak, tapi belum tentu terliterasi dengan baik,” ujar Syarif Bando.

Tak hanya itu, Syarif juga menilai Perpustakaan layak disebut sebagai Mercusuar yang bisa memandu dan mengarahkan masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat melalui Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial.“Perpustakaan itu bagaikan Mercusuar, bukan sebagai Menara Gading. Apa bedanya? Kalau Mercusuar itu dia akan menjadi pemandu, mengarahkan kita pada jalan yang sebenarnya, itulah perpustakaan,” kata Syarif.

Namun, yang menjadi persoalan adalah sejauh mana perpustakaan dapat menjangkau masyarakat. Permasalahan inilah yang dipaparkan Syarif dalam kesempatan yang sama. Menurutnya, perpustakaan sebagai pusat literasi di tengah masyarakat tidak akan terwujud jika daerah masih abai dalam pemeliharaan dan pemanfaatan perpustakaan, terutama di desa dan daerah perbatasan.“Seberapa jauh perpustakaan menjangkau masyarakat? Ini masalahnya. Jangan mimi mau bicara kualitas SDM jika tidak bicara soal baca, jangan bicara soal baca jika perpustakaan juga tak mampu menjangkau masyarakat,” tegasnya.

Seperti diketahui, gerakan literasi merupakan amanat dari Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…” sehingga gerakan literasi yang terus digaungkan Pemerintah sejalan dengan hal tersebut.

Pahami Enam Jenis Literasi

Staf Ahli Bidang Inovasi dan Daya Saing Kemendikbid Ananto Kusuma Seta yang hadir sebagai narasumber, meminta masyarakat memahami dan mengaplikasikan Gerakan  enam jenis literasi dalam kehidupan. “Penguasaan enam literasi dasar yang disepakati oleh World Economic Forum pada tahun 2015 menjadi sangat penting tidak hanya bagi pelajar tetapi juga bagi seluruh  masyarakat. Enam literasi dasar tersebut mencakup literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, dan literasi budaya dan kewargaan,” kata Ananto.

Pertama, literasi baca tulis salah satu di antara enam literasi dasar yang perlu dikuasai adalah literasi baca-tulis. Membaca dan menulis merupakan literasi yang dikenal paling awal dalam sejarah peradaban manusia. Peningkatan budaya baca dan kegemaran menulis harus diterapkan sejak dini. “kita harapkan nanti setiap kampus, mahasiswa/dosennya wajib menulis jurnal untuk mengembangkan literasi ini. Selain itu, fokus kita ke depan juga adalah literasi untuk kaum ibu-ibu,” kata Ananto.

Kedua, literasi Numerasi.Literasi numerasi adalah pengetahuan dan kecakapan untuk menggunakan berbagai macam angka dan simbol-simbol yang terkait dengan matematika dasar untuk memecahkan masalah praktis dalam berbagai macam konteks kehidupan sehari-hari, menganalisis informasi yang ditampilkan dalam berbagai bentuk serta menggunakan interpretasi hasil analisis tersebut untuk memprediksi dan mengambil keputusan.

Ketiga, literasi Sains dapat diartikan sebagai pengetahuan dan kecakapan ilmiah untuk mampu mengidentifikasi pertanyaan, memperoleh pengetahuan baru, menjelaskan fenomena ilmiah, serta mengambil simpulan berdasar fakta. Keempat, Literasi finansial adalah pengetahuan dan kecakapan untuk mengaplikasikan pemahaman tentang konsep dan risiko, keterampilan agar dapat membuat keputusan yang efektif dalam konteks finansial untuk meningkatkan kesejahteraan finansial, baik individu maupun sosial, dan dapat berpartisipasi dalam lingkungan masyarakat. 

Kelima, literasi Digital. Menurut Ananto, memasuki era industri 4.0 perpustakaan memiliki tantangan yang berbeda dengan era sebelumnya. Era Industri 4.0 dihadapkan pada Networking dan Knowledge Sharing yang kuat. “Ciri dari era ini adalah Connecting. Karenanya tantangan kita saat ini adalah Networking dan Knowledge Sharing, perpustakaan kedepan harus terkoneksi satu sama lain. Abad nanti data adalah barang publik, semua orang harus bias mengakses itu dimana saja dan kapan saja,” kata Ananto.

Keenam,  literasi budaya dan kewargaan literasi budaya merupakan kemampuan dalam memahami dan bersikap terhadap kebudayaan Indonesia sebagai identitas bangsa. Sementara itu, literasi kewargaan adalah kemampuan dalam memahami hak dan kewajiban sebagai warga negara. 

Bangun SDM Lewat Perpustakaan

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menempatkan literasi sebagai salah satu kegiatan prioritas dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2019. Menurut Direktur Pendidikan dan Agama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Hadiat, membangun kualitas Sumber Daya Manusia bisa dilakukan melalui gerakan-gerakan literasi yang dapat ditemui melalui Perpustakaan.


Direktur Pendidikan dan Agama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Hadiat saat berbicara dalam Rakornas Bidang Perpustakaan 2019.

“Bicara literasi, bukan hanya lisan dan tulisan, tapi memahami dari berbagai aspek sehingga kita bisa memahaminya  secara  strategis, cerdas. Salah satu pembangunan manusia bisa dilakukan dengan menggiatkan gerakan literasi melalui perpustakaan,” kata Hadiat yang menjadi narasumber dalam Rakornas tersebut.

Menurutnya, pembangunan manusia dengan gerakan literasi melalui Perpustakaan pendekatan inklusi sosial dimaksudkan untuk memperluas partisipasi masyarakat dan meningkatkan keterlibatan komunitas dalam kegiatan layanan perpustakaan. Tak hanya itu, Bappenas juga akan mendorong peran perpustakaan sebagai institusi gerakan literasi untuk mengambil peran dalam pelaksanaan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs). “Bicara literasi menjadi suatu hal yang luas, ujungnya mempunyai dampak sosial ekonomi yang membawa kesejahteraan. Ini juga kita dorong untuk pelaksanaan tujuan SDGS,” papar Hadiat.

Ditambahkah Hadiat, budaya literasi untuk pembangunan manusia dilandasi tiga pilar, yaitu; pertama, peningkatan layanan dasar seperti pendidikan. Sumber Daya Manusia sebagai modal besar harus dikuatkan dengan hak pemenuhan layanan dasar yang juga maksimal untuk menciptakan kesejahteraan. Kedua, memastikan dapat menghasilkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul yang dikuatkan melalui peningkatakan layanan dasar.Ketiga, pembangunan karakter. Sumber Daya Manusia yang diciptakan, tapi hanya dapat dipenuhi hak layanan dasarnya saja sehingga bisa produktif, tetapi harus menjadi manusia yang memiliki integritas, karakter. Hal ini juga memuat pendidikan karakter.

Diakhir pembicaraanya, Hadiat menilai transformasi digital harus dimanfaatkan gerakan literasi dan perpustakaan untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.“Transformasi digital  juga menjadi perhatian. Era digital kalau di dunia pendidikan misalnya terkait menyesuaikan pola pembelajaran. Perpustakaan juga dihadapkan pada era yang sama sehingga pengelolaan perpustakaan harus sejalan dengan kebutuhan di era ini (digital),” tutup Hadiat.

Komisi X Dukung Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial

Sementara itu, Komisi X DPR RI menegaskan mendukung penuh Perpustakaan yang berbasis inklusi sosial melalui tiga fungsi yang melekat pada tubuh DPR, yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Pertama, dukungan  Legislasi Menurut, Ketua Komisi X DPR, Djoko Udjianto, legislatif mendukung perpustakaan dengan mengeluarkan empat undang-undang sebagai dasar hukum, yaitu; Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan, dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2018 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam.


Ketua Komisi X DPR, Djoko Udjianto dalam Rakornas Perpustakaan 2019

“Melalui dukungan Legislasi, kami  mendukung perpustakaan untuk menyelamatkan kekayaan intelektual yang ada di Indonesia, salah satunya dengan dengan menerbitkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2018 tentang KCKR (Karya Cetak dan Karya Rekam),” kata Djoko saat menjadi narasumber dalam dalam Rakornas tersebut.

Kedua, dukungan anggaran. Djoko mengatakan, DPR terus melakukan upaya agar Perpustakaan mendapatkan anggaran yang meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan DIPA No.SP DIPA -057.01-0/2018 Pagu Anggaran Tahun 2019 Perpustakaan Nasional adalah Rp730.775.563.000,- Dibanding Pagu Anggaran Tahun 2018, naik sebesar Rp145.841.925.000,- (24,93%). 

“Kami Komisi X terus mendorong agar perpustakaan mendapatkan anggaran yang cukup signifikan. Hal ini bisa dilihat dari besaran anggaran yang naik setiap tahunnya, tahun ini saja naik sebesar 24 persen lebih, belum lagi kalau kita lihat saat ini infrastruktur atau  ketersediaan perpustakaan kita menempati peringkat kedua di dunia,” papar Djoko.

Diketahui, berdasarkan data dari OCLC (Online Computer Library Center) Lembaga jejaring Perpustakaan yang berbasis di Amerika Serikat tahun 2018 menempatkan Indonesia menempati peringkat ke-2 dunia jumlah perpustakaan tertinggi. India menempati posisi pertama dengan jumlah 323,605 perpustakaan. Peringkat ke-3 Rusia 113,440 perpustakaan dan ke-4 China 105,831 perpustakaan.

Ketiga, dukungan Pengawasan. Pengawasan dilakukan untuk menjamin pelaksanaan program berjalan transparan dan akuntabel, serta memastikan program pemerintah berjalan dengan tepat sasaran, tepat jumlah dan tepat waktu. Melakukan pengawasan, evaluasi dan mendorong Perpusnas RI untuk menyusun program-program prioritas bersifat inovatif yang bertujuan untuk pengembangan perpustakaan dan pembudayaan kegemaran membaca, baik di tingkat pusat maupun daerah. (Sp/Btr/Bkr/sfn)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *