Ahli Konstruksi UCB Beberkan Kajian Kostruktif
Setelah menalaah, menganalisa dan mengkaji kasus mangkraknya tiga proyek (red), Ketua Pusat Studi Jasa Konstruksi (PSJK) Universitas Citra Bangsa (UCB) Kupang, Dr. Ir. Andreas W. Koreh, MT, mengungkapkan beberapa catatan kritis konstruktif terkait keberlanjutan proyak NTT Fair, Monumen Pancasila dan GOR Oepoi. Dikutip dari Pos Kupang.Com, belum lama ini, Andre Koreh mengunkapkan kekecewaannya terhadap Pemerintah Provinsi NTT yang terkesan membiarkan tiga bangunan mangkrak itu bertahun-tahun tak terjamah. Andre menilai Pemerintah seakan tidak “berniat” menuntaskannya, padahal pemerintahlah yang menggagas bangunan ini. Penegak hukum pun seperti tidak melihat ini sebagai sesuatu yang perlu diselidiki lebih jauh. Entah mengapa mereka enggan melakukan penyelidikan.
Ketua Ikatan Persatuan Insinyur Indonesia (IPII) Provinsi NTT ini, mengatakan, sebagai seorang birokrat yang pernah menangani pembangunan infrastruktur di NTT, ia mengingatkan kembali besarnya biaya pembangunan Gedung NTT Fair yang kurang lebih Rp 29 Miliar, Monumen Pancasila yang menelan biaya kurang lebih Rp 28 Miliar. Keduanya dibiayai melalui APBD Murni NTT TA 2017. Sementara itu, GOR Mini Oepoi menelan biaya kurang lebih Rp12 Miliar melalui kombinasi biaya APBN dan APBD NTT sejak tahun 2012. Total biaya untuk tiga bangunan itu, uang negara yang dialokasikan sekitar Rp70 Miliar.
Andre Koreh yang puluhan tahun berkarier di jajaran PUPR NTT ini, kembali menjelaskan dan menekankan kembali cerita singkat di balik pembangunan ketiga gedung pemerintah tersebut. Pertama, Gedung NTT Fair. Menurutnya, pekerjaan Gedung NTT Fair terhenti karena para pihak yang paling bertanggung jawab dikenakan sanksi pidana, baik Penyedia jasa, Pengguna Jasa maupun Pengawas, semuanya dikenakan sanksi pidana kurungan badan. Kasus yang didakwakan kepada mereka adalah “mark up progres” fisik atau menaikkan persentasi realisasi fisik proyek dari yang sebenarnya.
Progres Fisik baru mencapai 40-50 persen versi penyidik, versi PPK 80 persen, namun yang dibayarkan oleh PPK sebesar 100 persen. Karena waktu kontrak sudah berakhir, namun kepada penyedia diberi perpanjangan waktu 90 hari kalender dan penyedia memberikan uang jaminan perpanjangan waktu dalam bentuk Bank Garansi senilai sisa pekerjaan yang belum selesai (kurang lebih 50-60 persen).
Pendasarannya, menurut PMK No. 163/PMK.OS/2013 Tentang Pedoman Pelaksanaan, Penerimaan dan Pengeluaran Negara pada Akhir Tahun Anggaran , Pasal 7 membolehkan PPK mencairkan keuangan 100 persen walau realisasi pekerjaan belum mencapai 100 persen; tapi penyedia wajib menyerahkan bank garansi senilai pekerjaan sisa. Kondisi ini oleh penyidik dijadikan dalil dakwaan kepada para pihak karena ada progres fisik yang difiktifkan kurang lebih 20-30 persen. Kira-kira seperti itulah garis besar pelanggarannya.
Pasca keputusan pengadilan, bangunan Gedung NTT Fair menjadi tidak jelas mau diapakan kelanjutannya. Seolah jika sudah ada tindakan hukum dan para pihak yang bertanggung jawab dikenakan sanksi, masalah dianggap selesai. Padahal tujuan semula proyek ini adalah terbangunnya sebuah tempat permanen untuk pameran pembangunan yang layak, sehingga tidak perlu mengeluarkan biaya besar tiap kali event pameran pembangunan tahunan pada momen peringatan HUT Kemerdekaan RI.
Dikatakannya, gedung NTT Fair diharapkan akan menjadi lokasi tetap bagi pelaku usaha UMKM agar bisa memasarkan produknya dari seluruh wilayah NTT. Jika DKI punya Jakarta Fair, NTT punya NTT Fair. Kira-kira begitulah filosofi awal saat bangunan ini digagas. Sayang, tujuan dan manfaat proyek yang pembiayaannya didukung oleh DPRD NTT waktu itu, tidak tercapai karena para pihak terlanjur dikenakan sanksi pidana, dan seolah semua berakhir dengan jatuhnya sanksi.
“Seolah jika terbukti bersalah, pasti dihukum, dan jika sudah dihukum maka selesai masalahnya. Begitu sederhananya kita melihat penggunaan anggaran negara tanpa mau melihat aspek lainnya yang lebih besar yakni kepentingan masyarakat. Memang penegakan hukum juga untuk kepentingan masyarakat, namun mari kita lihat detailnya. Jika dihitung rincian kerugian negara di proyek ini kira-kira begini: nilai kontrak kurang lebih Rp31 miliar, sudah dibayar ke penyedia sekitar Rp 25 miliar. Pengembalian kerugian negara sebagai hasil Putusan Majelis Hakim senilai kurang lebih Rp11 miliar, dan sisanya adalah nilai bangunan yang tidak selesai senilai kurang lebih Rp14 miliar. Dan bangunan yang tidak dilanjutkan ini, material sisanya banyak yang hilang dicuri orang, rusak. Dengan kata lain semua bangunan hilang tanpa manfaat,”terang Dekan Fakultas Teknik UCB ini.
Diuraikannya, dalam kasus ini sepintas APH telah menyelamatkan uang negara sebesar Rp11 Miliar sebagaimana putusan Pengadilan. Hal ini pun jika penyedia menggantinya karena jika sudah ditahan bagaimana pula mau mengganti kerugian negara sebesar itu? Atau jika ada hukuman subsider, penyedia lebih memilih menerima hukuman tambahan sebaga subsider agar tidak mengganti kerugian negara.
Dalam kasus ini penulis ingin melihat dari sisi lain, di antaranya adalah sebagai bangunan gedung milik negara, apa yang menimpa Gedung NTT Fair ini, jelas tidak sesuai dengan amanat UU No. 2 /2017 Tentang Jasa Konstruksi Pasal 2, huruf b yang berbunyi: “Penyelenggaraan Jasa Konstruksi berlandaskan pada asas: a. kejujuran dan keadilan;b. manfaat; c. kesetaraan …. dst.” Dalam penjelasan UU ini, yang dimaksud dengan asas manfaat adalah: “segala kegiatan jasa konstruksi harus dilaksanakan berlandaskan pada prinsip profesionalitas dalam kemampuan dan tanggung jawab, efisiensi dan efektif, yang dapat menjamin terwujudnya nilai tambah yang optimal bagi para Pihak dalam penyelenggaraan jasa konstruksi dan bagi kepentingan nasional.”
“Apa yang terjadi pada bangunan NTT Fair ini jelas tidak memberikan kemanfaatan apapun bagi para pihak. Tidak ada nilai tambah bagi para pihak apalagi bagi kepentingan nasional. Kecuali bagi Aparat Penegak Hukum yang berhasil meyakinkan majelis hakim sehingga para pihak dikenakan sanksi pidana kurungan badan dan pengembalian keuangan negara kurang lebih Rp11 miliar,” papar Andre Koreh.
Kedua, Monumen Pancasila. Manumen Pancasila dengan nilai kontrak kurang lebih Rp28 miliar, Andre Koreh mengatakan, proyek ini telah selesai dibangun dengan realisasi fisik mencapai 100 persen. Bahkan sudah diserah terimakan (PHO dan FHO). Namun menurut informasi, masih ada dana milik Penyedia Jasa yang belum dibayar dan masih diblokir Pemerintah Daerah senilai kurang lebih Rp 6 miliar. Entah halangan atau syarat apa yang harus diselesaikan penyedia jasa sehingga dana proyek ini masih diblokir, atau Pemda NTT yang tidak/belum punya dana untuk membayar hak penyedia. Setelah proyek selesai, terjadi bencana Seroja. Gedung ini mengalami kerusakan kurang lebih 10 persen atau senilai kurang lebih Rp 3 miliar.
Andre menyesali sikap Pemda NTT yang tidak mau mengalokasikan anggaran untuk perbaikan walau pinjaman daerah untuk infrstruktur mencapai triliunan rupiah. Pemda NTT tidak mengalokasikan anggaran untuk memperbaiki gedung ini, sehingga bangunan ini mubazir, tidak terawat, tidak pula dimanfaatkan. Seharunya, kata Andre, untuk menghindari kerugian negara, bisa dilakukan pemeriksaan lebih detail untuk mencari tahu pihak mana yang paling bertanggung jawab atas kondisi ini sebagaimana proyek NTT Fair. Pasalnya, tohok Andre negara sudah mengeluarkan biaya setidaknya sekitar Rp 28 miliar.
“Mengapa didiamkan dan tidak dimanfaatkan sesuai rencana peruntukannya? Padahal tujuan semula proyek ini dibangun adalah terbangunnya sebuah monumen yang bisa dijadikan tempat berbagai kegiatan ekonomi. Termasuk pameran kesenian, bisnis dan lainnya yang pada gilirannya diharapkan menjadi sumber penerimaan daerah. Sama dengan NTT Fair, bangunan Monumen Pancasila tidak ada nilai tambah bagi para pihak apalagi untuk kepentingan nasional. Sayangnya tidak ada upaya menekan kerugian negara, atau setidaknya upaya mengurangi potensi kerugian negara. Begitu juga tidak ada upaya penegakan hukum agar menjadi jelas permasalahannya.”paparnya tegas.
Ketiga, GOR Mini Oepoi. Asal muasalnya, kata Mantan Kadis PUPR NTT ini, bangunan ini bermula dari adanya dana hibah Kemenpora RI dengan nomenklatur tujuannya adalah untuk peningkatan prestasi olah raga di NTT sebesar Rp10 miliar. Oleh Pemda NTT, dana Rp10Miliar itu diperuntukan membangun stadion mini dengan menambah anggaran sekitar Rp 2,5 miliar melalui APBD tahun 2012, walaupun kebutuhan dana untuk menuntaskan bangunan ini pada waktu itu sekitar Rp 26 miliar. Diharapkan dengan terbangunnya stadion mini ini , prestasi olah raga di NTT akan meningkat, walau hubungan sebab akibatnya bisa diperdebatkan.
“Intinya ada anggaran negara yang dikeluarkan untuk membangun fasilitas olah raga Ini. Namun manajeman proyek yang dikelola oleh sebuah Komite Penerima Manfaat, yang dibentuk untuk menerima hibah Kemenpora kurang cermat mengatur admintrasi pembangunannya. Mestinya jika akan menggunakan tambahan dana dari APBD, maka anggaran proyek dilakukan dengan pola multi years proyek ( MYP/ Tahun Jamak ), karena kebutuhan dana lebih besar dari dana yang tersedia pada tahun itu sehingga perlu dianggarkan lagi dana tambahan pada tahun anggaran berikutnya. Artinya, proyek ini bersifat multi year project,” bebernya .
Menurut regulasi, lanjut Andre, penetapan suatu proyek menjadi multy year projek mesti mendapat persetujuan DPRD terlebih dahulu karena akan menggunakan dana APBD. Mekanisme ini yang tidak ditempuh kala itu. Padahal fisik proyek baru mencapai kurang lebih 20 persen. Ketika diajukan ke DPRD NTT untuk mendapat persetujuan menjadi proyek tahun jamak, saat proyek sedang berjalan, DPRD NTT kala itu keberatan karena mereka belum membahas proyek ini pada tahun anggaran sebelumnya saat pembangunan GOR ini baru dimulai..
Apalagi waktu itu ada penyelidikan oleh Kejati NTT karena proyek ini pada tahun 2018, sudah mangkrak 6 tahun lebih, sehingga DPRD NTT tidak mau ikut bertanggung jawab untuk hal yang mereka tidak tahu asal muasalnya. Namun Pihak Kejati NTT kala itu memberi rekomendasi dan menyarankan Pemda NTT wajib menuntaskan bangunan ini pada TA 2019 dengan mengalokasikan sejumlah anggaran agar tidak terjadi kerugian negara yang lebih besar. Akhirnya terjadilah kompromi antara Pemda NTT dengan DPRD NTT kala itu demi menyelamatkan dana APBN dan demi manfaat bangunan sehingga pada TA 2019 teralokasi dana Rp 26 miliar untuk melanjutkan pembangunan GOR mini Oepoi.
Pengalihan Anggaran APBD 2019
Seiring kepala daerah berganti, berganti pula kebijakannya. Melalui mekanisme Perubahan Anggaran TA 2019 dana kurang lebih Rp 26 miliar yang sudah teralokasi dalam APBD Murni TA 2019, dialihkan untuk membangun trotoar dalam Kota Kupang.
“Entah apa urgensi membangun trotoar di Kota Kupang, padahal fungsi trotoar adalah bangunan pelengkap jalan. Trotoar yang dibangun pun justru di jalur jalan nasional ( Jl. WJ Lalamentik dan sekitarnya) yang kelengkapan jalannya menjadi kewenangan Balai Pengembangan Jalan Nasional (BPJN Wil NTT) sebagai perangkat Pusat di daerah, sehingga pembiayaan trotoar jika dibutuhkan di jalan nasional mestinya gunakan dana APBN bukan APBD,” tanya Andre heran..
Seharunya, jika ada urgensi ingin membangun trotoar di jalan-jalan Kota Kupang, terutama di jalur- jalan nasional, cukup menyurati dan berkoordinasi dengan BPJN NTT, maka trotoar di jalur jalan dalam kota Kupang, bisa dibangun menggunakan APBN. Sehingga tidak harus memindahkan dana APBD yang sudah teralokasi di APBD Murni 2019 yang sudah di peruntukan untuk stadion mini Oepoi.”Itulah sekilas cerita tentang ketiga bangunan “setengah jadi” di depan mata kita saat ini,” ungkap Andre..
‘Total Lost’ Jerat Terdakwa Tipikor
Mnurut Andre, ada yang menarik perhatiannya dalam kasus tindak pidana korupsi (Tipikor) yang terkait dengan proyek-proyek mangkrak ini. Dia menegaskan, dalam kasus ini tidak layak disebut ‘Total Lost’ karena belum jelas siapa yang paling bertanggung jawab atas gagalnya bangunan-bangunan tersebut. Lalu mau diapakan bangunan yang sudah menghabiskan anggaran miliaran rupiah itu. Mendiamkannya saja, jelas tidak bijak karena bangunan mangkrak ini akan jadi monumen kepedihan bagi rakyat yang melihatnya karena bagaimanapun uang rakyat telah dipakai untuk hal yang tidak jelas dan tidak tuntas.
“Yang lebih penting, belum jelas siapa yang paling bertanggung jawab atas gagalnya bangunan-bangunan ini sehingga layak dikatagorikan menjadi total lost. Seperti diketahui istilah total lost sering dipakai Penuntut Umum untuk mendakwa pelaku Tipikor di jasa konstruksi. Jika ingin melihat contoh nyata tentang kondisi total lost yang sebenarnya dalam jasa konstuksi, ketiga bangunan ini adalah contoh nyata.”terangnya.
UU Jakon Tak Dipakai Jadi Pedoman
Menurut Andre Koreh, satu lagi bukti akibat UU No. 2/2017 Tentang Jasa Konstruksi tidak dipakai sebagai pedoman dalam pengendalian dan pengelolaan bangunan konstruksi. Bahkan aparat penegak hukum cenderung mengenyampingkan keberadaan UU ini sebagai lex specialis karena lebih mengutamakan penggunaan UU Tipikor untuk menjerat para pelaku jasa konstruksi. Mungkin Penyidik masih menggunakan UU Jasa Konstruksi yang lama, yakni UU No.18/1999 Tentang Jasa Konstruksi yang ada sanksi pidana bagi pelanggar UU Jakon.
“Di sinilah titik persoalannya. Apalagi terlanjut ada framing bahwa dalam pekerjaan konstruksi pasti ada tindak pidana korupsi di dalamnya. Menurut saya, jika demikian kondisinya, negara bukannya menjadi untung, tapi justru negara rugi besar,” paparnya.
Kasus Gedung NTT Fair, jelas Andre, memberikan pelajaran berharga. Dalam kasus ini sebenarnya ada kewenangan dan kekuasaan, ada dana pinjaman yang bisa dipakai untuk mencegah atau setidaknya mengurangi kerugian negara yang lebih besar. Mengapa tidak dilakukan? Bukankah itu bisa dikategorikan tindakan penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara yang sudah dikeluarkan? Menurut Andre, menaikkan progres untuk mendapatkan pembayaran lebih dalam masa kontrak bisa menjadi strategi percepatan untuk membantu Cash Flow penyedia. Apalagi ada Material on Site (MOS) walau tidak dihitung sebagai progres tapi sudah menguras dana penyedia.
“Toh” pada akhirnya progres 100 persen akan dicapai pada masa kontraktual, bahkan jika masa kontrak berakhir pun jika belum mencapai 100 persen sepanjang yang bersangkutan masih mau dan mampu menyelesaikan pekerjaannya, tentu dengan sejumlah persyaratan termasuk denda sebagai kompensasinya. Apalagi ada payung hukumnya yakni UU No. 2/2017 Tentang Jasa Konstruksi Pasal 65 ayat 2 berbunyi Dalam hal rencana umur konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih dari 10 (sepuluh) tahun, Penyedia Jasa wajib bertanggung jawab atas Kegagalan Bangunan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak tanggal penyerahan akhir layanan Jasa Konstruksi.”bebernya.
Penjara Tak Bermanfaat Bagi Publik
Bangunan gedung NTT Fair, jelas umur rencananya lebih dari 10 tahun. Oleh karena itu, penyedia jasa wajib bertanggung jawab sampai 10 tahun keandalan bangunannya setelah selesai diserahterimakan untuk kedua kali (FHO). Sayangnya, kata dia, bangunan ini tidak sampai di PHO apalagi FHO karena realisasi fisik baru kurang lebih 70- 80 persen, pekerjaan dihentikan Penyidik dan para Pihak dikenakan sanksi pidana karena “melebihkan perhitungan” progres pekerjaan atau mark up progres. Mestinya, lanjut dia, bangunan itu bisa dituntaskan hingga memberi manfaat maksimal pada masyarakat.
Dikatakannya, Kepada Penyedia Jasa yang wanprestasi bisa dikenakan sanksi perdata sebagaimana UU No. 2/2017 bisa dengan ganti rugi atau ganti bangunan yang rusak atau mengalami kegagalan bangunan, dan atau Penyedia Jasa yang tidak profesional bisa di-PHK dan diganti dengan penyedia jasa baru untuk menyelesaikan proyek ini.Sebenarnya ada banyak variabel solusi yang menguntungkan negara dan banyak cara mengelola bangunan konstruksi untuk menuju pada kondisi proyek tepat sasaran, tepat mutu dan tepat waktu. Kerena itu jauh lebih baik dari pada sekadar memenjarakan para pihak tapi bangunan tidak memberi manfaat bagi publik? Justru negara malah mengalami kerugian yang lebih besar.
“Saya membayangkan, jika tidak buru-buru dihentikan oleh APH waktu itu, bisa jadi bangunan ini sudah jadi, tujuan utama bangunan tercapai dan rakyat bisa menggunakannya. Atau jika sudah selesai pertanggungjawaban hukum oleh para pihak. Mestinya ada langkah penyelesaian oleh Pemda NTT untuk membuat bangunan ini tuntas sesuai peruntukannya. Bukan membiarkannya begitu saja. Jika kita jujur melihat fakta saat ini, dampak yang diberikan akibat tindakan hukum ini, bukannya efek jera dan penyelamatan uang negara semata yang ingin dicapai tapi justru negara mengalami kerugian yang lebih besa,”terangnya..
Andre mengungkapkan dirinya tidak bermaksud mengatakan pelaku jasa konstruksi bersih seperti “malaikat” tapi ia yakin mereka juga bukan “setan“ untuk merugikan keuangan negara. Karena niat mereka membuka badan usaha jasa konstruksi, tentunya berorientasi profit dan negara membolehkan Penyedia mendapat keuntungan 10 persen dari nilai kontrak, bukan berniat merugikan keuangan negara yang berakhir dengan risiko hukum. Niat mendapat profit itulah yang perlu dijaga semua pihak agar hasil kerja berada pada jalur profesionalitas dan bertanggung jawab terhadap berbagai syarat keteknikan yang ditetapkan.
“Saya tidak bermaksud membela kemudian membiarkan pelaku pelanggar hukum bebas tanpa sanksi hukum. Tapi sebaiknya berikan mereka sanksi hukum perdata. Selain ada dasar hukumnya, manfaat yang didapat jauh lebih menguntungkan semua pihak. Oleh karena itu, ke depan perlakuan kebijakan pembangunan infrastruktur seperti ini harus diperbaiki dengan melihat permasalahan secara komprehensif. Mengutamakan asas keadilan dan kejujuran, bermanfaat demi menghasilkan jasa konstruksi yang handal, serta effektif dan efisien dalam pengelolaan anggaran negara.”harapnya.
Andre Koreh berharap, seiring kelahiran pemimpin baru, Gubernur dan Wakil Gubenur NTT, Melky Laka Lena Jhoni Asadoma, dapat memberikan perhatian khusus terhadap penyelesaian proyek yang mangkrak, yaitu Monumen Pancasila, NTT Fair dan GOR Mini Oepoi. Selain dukungan pemimpin baru Melky dan Jhoni, dia juga berharap ada kepedulian yang tinggi dari 65 orang wakil rakyat NTT di DPRD NTT untuk bersama pemerintah menyelesaikan semua persoalan mangkraknya pembangunan tiga bangunan.
“Saya sangat berharap rekan-rekan DPRD NTT dapat bekerjasama dengan pemerintah selama 5 tahun ke depan untuk menyelesaikan proyek-proyek yang mangkrak tersebut karena itu menyangkut uang rakyat dan uang negara. Disana ada uang negara RP70 Miliar yang harus diselamatkan dengan menyelesaikan pembangunan tersebut, agarbermanfaat bagi rakyat dan pemerintah,” (bkr/sfc/tim)