Oleh: Fransisco Soares
Saya memiliki keyakinan bahwa sebagai bagian integral dari wilayah kesatuan RI, pemilihan gubernur yang berlangsung dimanapun di republik ini akan selalu memperhatikan aspek keamanan nasional (national security). Dari total 34 propinsi di Indonesia masing-masing memiliki geopolitik lokal, konsensus, konstelasi, budaya dan kesadaran politik masyarakat yang berbeda-beda sesuai dengan kehidupan ekonomi sosial dan budaya yang berbeda antara satu wilayah dan wilayah lainnya.
Di Papua, persaingan politik untuk menjadi gubernur bertitik tolak dari rivalitas politik para elit politik yang berasal dari wilayah pegunungan versus elit politik yang berasal dari daerah pesisir.
Di Maluku, persaingan politik untuk menjadi gubernur berasal dari konstelasi politik para elit politik Muslim dan elit politik Kristen (Katolik dan Protestan).
Di Nusa Tenggara Timur, persaingan politik menjadi gubernur berasal dari rivalitas para elit politik Katolik dan para elit politik Protestan.
Ketika Pieter Alexander Tallo, SH, seorang elit politik NTT dari kalangan Protestan menjabat sebagai Gubernur NTT selama 2 (1998-2003, 2003-2008), maka selama itu pula ia memilih pasangan wakil gubernurnya dari elit politik Katolik yakni Drs. Yohanis Pake Pani (Wagub NTT 1998-2003) dan Drs. Frans Lebu Raya (Wagub NTT 2003-2008).
Di tahun 2008, sewaktu Drs. Frans Lebu Raya terpilih menjadi Gubernur NTT periode 2008-2013 yang secara in cognito merepresentasikan elit politik Katolik, maka ia memilih Ir. Esthon L. Foenay, M.Si sebagai wakil Gubernur NTT sebagai representasi elit politik Protestan. Pada periode kedua, ketika Drs. Frans Lebu Raya kembali terpilih sebagai Gubernur NTT 2013-2018 ia memilih Drs. Benny Alexander Litelnoni, SH.,M.Si sebagai wakil yang representasi elit politik Protestan di kancah perpolitikan NTT.
Hal tersebut dapat dimaknai bahwa telah terjadi konsensus tidak tertulis diantara para elit politik NTT. Jika seorang gubernur berasal dari kalangan elit politik Katolik maka wakilnya haruslah berasal dari kalangan elit politik Protestan.
Permainan politik in group and out group antara elit Katolik dan Protestan ini sungguh disadari oleh para pelaku politik, sehingga dalam konstelasi politik pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur NTT 2018-2023 dapat kita lihat saling silang pasangan calon gubernur dan wakil gubernur hanya berasal 2 elit politik diatas.
Saya berpendapat, bahwa terbuka ruang bagi elit politik Protestan menjadi Gubernur NTT pada Pilgub NTT 2018-2013 nanti. Jika kelak NTT kembali dipimpin oleh elit politik Katolik -siapapun dia- maka praktis akan menjadi catatan bahwa 15 tahun elit politik Katolik menjadi pemimpin di NTT.
Victor B. Laiskodat, SH dan Ir. Esthon L. Foenay, M.Si yang oleh partai politik masing-masing dicalonkan sebagai Gubernur NTT berpasangan dengan para elit politik Katolik sebagai calon Wakil Gubernur NTT. Begitupun sebaliknya DR. Benny K. Harman, SH dan Marianus Sae yang juga oleh partai politik masing-masing dicalonkan sebagai Gubernur NTT berpasangan dengan para elit politik Protestan sebagai Calon Wakil Gubernur NTT.
Akankah NTT secara mengejutkan kembali dipimpin oleh seorang gubernur dari kalangan elit politik Katolik ataukah kembali kepada konsensus tidak tertulis yang artinya secara bergantian NTT dipimpin oleh elit politik Protestan? Siapakah yang akan dipilih rakyat? TPS 27 Juni 2018 akan menjadi saksi kebenaran penentuan pemimpin perubahan NTT 5 tahun ke depan. ***