Sekilas Kumpulan Puisi Chairil Anwar

by -80 Views
Suara Flores

Kumpulan Puisi Chairil Anwar – Nama Chairil Anwar abadi bersama puisi-puisi nya yang tak lekang oleh waktu hingga saat ini. Beliau sosok penyair angkatan 45 bersama Asrul Sani dan Rivai Apin. Chairil lahir dan dibesarkan di Medan, sebelum pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) dengan ibunya pada tahun 1940, dimana ia mulai menggeluti dunia sastra. Setelah mempublikasikan puisi pertamanya pada tahun 1942, Chairil terus menulis. (*wikipedia)

Selama hidupnya beliau berhasil membuat beberapa karya tulis berikut diantara karya nya tersebut:

 

1)Deru Campur Debu (1949)

2)Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (1949)

3)Tiga Menguak Takdir (1950) (dengan Asrul Sani dan Rivai Apin)

4)“Aku Ini Binatang Jalang: koleksi sajak 1942-1949″, disunting oleh Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986)

5)Derai-derai Cemara (1998)

6)Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948), terjemahan karya Andre Gide

7)Kena Gempur (1951), terjemahan karya John Steinbeck

Pusinya menyangkut berbagai tema, mulai dari Puisi Chairil anwar Tentang Cinta, Puisi Chairil Anwar Ibu, pemberontakan, kematian, individualisme, dan eksistensialisme, hingga tak jarang multi-interpretasi.

Berikut: Kumpulan Puisi Chairil Anwar.

 

Aku

Kalau sampai waktuku

‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu

Tidak juga kauTak perlu sedu sedan ituAku ini binatang jalang

Dari kumpulannya terbuangBiar peluru menembus kulitku

Aku tetap meradang menerjangLuka dan bisa kubawa berlari

Berlari

Hingga hilang pedih periDan akan akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

 

TAK SEPADAN

 

Aku kira:

Beginilah nanti jadinya

Kau kawin, beranak dan berbahagia

Sedang aku mengembara serupa Ahasveros

 

Dikutuk-sumpahi Eros

Aku merangkaki dinding buta

Tak satu juga pintu terbuka

 

Jadi baik juga kita padami

Unggunan api ini

Karena kau tidak ‘kan apa-apa

Aku terpanggang tinggal rangka

Februari 1943

 

Senja di Pelabuhan Kecil

Buat Sri Ayati

 

Ini kali tidak ada yang mencari cinta

di antara gudang, rumah tua, pada cerita

tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut

menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

 

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang

menyinggung muram, desir hari lari berenang

menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak

dan kini tanah dan air tidur hilang ombak

 

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan

menyisir semenanjung, masih pengap harap

sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan

dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.

 

Cintaku Jauh di Pulau

Cintaku jauh di pulau

Gadis manis, sekarang iseng sendiri

 

Perahu melancar, bulan memancar

di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar

angin membantu, laut terang, tapi terasa

aku tidak ‘kan sampai padanya

 

Di air yang tenang, di angin mendayu

di perasaan penghabisan segala melaju

Ajal bertakhta, sambil berkata:

“Tujukan perahu ke pangkuanku saja.”

 

Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!

Perahu yang bersama ‘kan merapuh

Mengapa Ajal memanggil dulu

Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

 

Manisku jauh di pulau,

kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.

 

Kawanku dan Aku

Kami sama pejalan larut

Menembus kabut

Hujan mengucur badan

Berkakuan kapal-kapal di pelabuhan

 

Darahku mengental pekat. Aku tumpat pedat

 

Siapa berkata-kata?

Kawanku hanya rangka saja

Karena dera mengelucak tenaga

Dia bertanya jam berapa?

Sudah larut sekali

Hilang tenggelam segala makna

Dan gerak tak punya arti

 

 

Kepada Kawan

 

Sebelum ajal mendekat dan mengkhianat,

mencengkam dari belakang ‘tika kita tidak melihat,

selama masih menggelombang dalam dada darah serta rasa,

 

belum bertugas kecewa dan gentar belum ada,

tidak lupa tiba-tiba bisa malam membenam,

layar merah berkibar hilang dalam kelam,

kawan, mari kita putuskan kini di sini:

Ajal yang menarik kita, juga mencekik diri sendiri!

Jadi

Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan,

Tembus jelajah dunia ini dan balikkan

Peluk kucup perempuan, tinggalkan kalau merayu,

Pilih kuda yang paling liar, pacu laju,

Jangan tambatkan pada siang dan malam

Dan

Hancurkan lagi apa yang kau perbuat,

Hilang sonder pusaka, sonder kerabat.

Tidak minta ampun atas segala dosa,

Tidak memberi pamit pada siapa saja!

Jadi

mari kita putuskan sekali lagi:

Ajal yang menarik kita, ‘kan merasa angkasa sepi,

Sekali lagi kawan, sebaris lagi:

Tikamkan pedangmu hingga ke hulu

Pada siapa yang mengairi kemurnian madu!!!

 

Doa

kepada pemeluk teguh

 

Tuhanku

Dalam termangu

Aku masih menyebut namaMu

Biar susah sungguh

mengingat Kau penuh seluruh

 

cayaMu panas suci

tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku

aku hilang bentuk

remuk

 

Tuhanku

aku mengembara di negeri asing

Tuhanku

di pintuMu aku mengetuk

aku tidak bisa berpaling

 

Kepada Peminta-minta

 

Baik, baik, aku akan menghadap Dia

Menyerahkan diri dan segala dosa

Tapi jangan tentang lagi aku

Nanti darahku jadi beku

 

Jangan lagi kau bercerita

Sudah tercacar semua di muka

Nanah meleleh dari muka

Sambil berjalan kau usap juga

 

Bersuara tiap kau melangkah

Mengerang tiap kau memandang

Menetes dari suasana kau datang

Sembarang kau merebah

 

Mengganggu dalam mimpiku

Menghempas aku di bumi keras

Di bibirku terasa pedas

Mengaum di telingaku

 

Baik, baik, aku akan menghadap Dia

Menyerahkan diri dan segala dosa

Tapi jangan tentang lagi aku

Nanti darahku jadi beku

 

Cerita Buat Dien Tamaela

 

Beta Pattirajawane

Yang dijaga datu-datu

Cuma satu

 

Beta Pattirajawane

Kikisan laut

Berdarah laut

 

Beta Pattirajawane

Ketika lahir dibawakan

Datu dayung sampan

 

Beta Pattirajawane, menjaga hutan pala

Beta api di pantai. Siapa mendekat

Tiga kali menyebut beta punya nama

 

Dalam sunyi malam ganggang menari

Menurut beta punya tifa,

Pohon pala, badan perawan jadi

Hidup sampai pagi tiba.

 

Mari menari!

mari beria!

mari berlupa!

 

Awas jangan bikin beta marah

Beta bikin pala mati, gadis kaku

Beta kirim datu-datu!

 

Beta ada di malam, ada di siang

Irama ganggang dan api membakar pulau…

 

Beta Pattirajawane

Yang dijaga datu-datu

Cuma satu

 

 

Sebuah Kamar

 

Sebuah jendela menyerahkan kamar ini

pada dunia. Bulan yang menyinar ke dalam

mau lebih banyak tahu.

“Sudah lima anak bernyawa di sini,

Aku salah satu!”

 

Ibuku tertidur dalam tersedu,

Keramaian penjara sepi selalu,

Bapakku sendiri terbaring jemu

Matanya menatap orang tersalib di batu!

 

Sekeliling dunia bunuh diri!

Aku minta adik lagi pada

Ibu dan bapakku, karena mereka berada

d luar hitungan: Kamar begini

3 x 4, terlalu sempit buat meniup nyawa!

 

Hampa

Kepada Sri

Sepi di luar. Sepi menekan-mendesak

Lurus kaku pohonan. Tak bergerak

Sampai di puncak. Sepi memagut,

Tak satu kuasa melepas-renggut

Segala menanti. Menanti. Menanti

Sepi

Tambah ini menanti jadi mencekik

Memberat-mencengkung punda

Sampai binasa segala. Belum apa-apa

Udara bertuba. Setan bertempik

Ini sepi terus ada. Dan menanti.

 

PRAJURIT JAGA MALAM

 

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ?

Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,

bermata tajam

 

Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya

kepastian ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini

 

Aku suka pada mereka yang berani hidup

Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam

 

Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu!

 

 

YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS

 

Kelam dan angin lalu mempesiang diriku,

Menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,

 

Malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu

Di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin

 

Aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;

 

Tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang

Tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku.

 

RUMAHKU

 

Rumahku dari unggun-timbun sajak

Kaca jernih dari luar segala nampakKulari dari gedong lebar halaman

Aku tersesat tak dapat jalanKemah kudirikan ketika senjakala

Di pagi terbang entah ke manaRumahku dari unggun-timbun sajak

Di sini aku berbini dan beranakRasanya lama lagi, tapi datangnya datang

Aku tidak lagi meraih petang

Biar berleleran kata manis madu

Jika menagih yang satu27 april 1943

 

PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO

 

Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji

Aku sudah cukup lama dengan bicaramu

dipanggang diatas apimu, digarami lautmu

Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945

Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu

Aku sekarang api aku sekarang laut

Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat

Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar

Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh

 

SAJAK PUTIH

Bersandar pada tari warna pelangi

Kau depanku bertudung sutra senja

Di hitam matamu kembang mawar dan melati

Harum rambutmu mengalun bergelut sendaSepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba

Meriak muka air kolam jiwa

Dan dalam dadaku memerdu lagu

Menarik menari seluruh aku

Hidup dari hidupku, pintu terbuka

Selama matamu bagiku menengadah

Selama kau darah mengalir dari luka

Antara kita Mati datang tidak membelah…

1944

Sumber: was-wascom (bersambung)