Selamat Natal “Yang Terdalam”

by -70 Views
Suara Flores

Oleh: Bernardus Bora

Semilir angin malam menyapa. Bertiup perlahan manja. Menyapa ranting, daun pohon cemara yang ku tanam 2 tahun lalu. Kesejukan menyelimuti hati penghuni bumi. Ku duduk termenung di sudut rumah payung, depan rumah kontrakan yang terbuat dari bahan-bahan alam. Beratap alang dan bale-balenya dari belahan bambu.

Sehelai kertas usang dibawa angin mendekatiku. Seolah membawa pesan. Aku meraihnya, dan mengintip kertas tak bersumber itu. “Yang Terdalam”. Dua kata tertulis di balik kertas usang itu. Rupanya aku mengenal pemilik huruf tulis tangan di balik “Yang Terdalam”.

Ternyata, itu coretan tanganku. Entah kapan dan bermakna apa? Aku lupa. Nampak benar-benar usang. Mungkin saja, kertas usang 2 kata, pernah berdiam lama di kotak sampah dan belum dijamah pencinta lingkungan. Rasa penasaran membawaku berimajinasi tentang makna “Yang Terdalam”. Aku berjuang mengingatnya.

“Ahh bodoh amat. Gumanku pada angin malam. Mungkin saja, 2 kata usang itu, tertulis saat bibir tak mampu bergerak, lidah tak dapat bersilat lincah. “Yang Terdalam” terus menghantui hatiku. Aku terus berjuang, menenangkan pikiran, sambil melangkah tinggalkan rumah bertiang satu itu. Kertas usang, kuletakan begitu saja pada meja belajar. Ku mencari ketenangan dengan menyibukan diri, merapikan buku kuliah, tak terurus di laci meja.

Diari depresiku, tentang semua yang telah kulalui perlahan ku buka. Seperti ini, diari lama yang penuh dengan goresan tinta masa lalu. Tak sengaja, aku membuka goresan pada halaman kesedihanku.

Di sudut tulisan, terlihat buram foto KTP almarhum ayahku. Mataku meneteskan “air kesedihan”, melihat foto sosok pemimpin keluarga. Di bagian atas coretan diari, terperinci jelas waktunya. Bulan Desember menjelang Natal. Ku tuang cerita kesedihan tentang sosok ayah. Ia pergi menjelang Natal 4 tahun lalu. Kini aku kembali mengingat semuanya. Detik-detik terakhir, kala sang ayah menghembuskan nafas terakhir. “Jaga Ibumu” pesannya, lalu pergi untuk selamanya.

Usiaku masuk 17 tahun, saat berada di bangku kelas VII. Sore itu,  ayah pergi meninggalkan aku bersama Ibu untuk selamanya. Namun, di balik kehilangannya, membuatku kuat dan tegar menjalani hari-hari bersama ibu.

Sejak itu, ibu menjadi bahu ayah. Tempat aku menyandarkan keletihan. Ibu berperan ganda dalam kehidupanku. Menjadi ibu sekaligus kepala keluarga. Perempuan tangguh ini, berjuang untuk menyembunyikan rasa kehilangan kekasih hatinya pada semua orang. Seolah, ia tidak peduli lagi dengan ayah. Sikapnya begitu agar aku kuat. Ia menyembunyikan sedih di balik tawa dan senyum. Semangat bekerja demi masa depanku.

Sejak tamat SMA, aku memilih tinggal di rumah untuk menjaga dan membantu ibu. Namun, ibu tidak setuju dengan ketulusanku. Ibu menginginkan aku melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya. Aku bersikap keras, karena aku tak mau menyusahkannya. Aku tak ingin ia susah karena diriku. Aku tidak ingin ibu terluka saat orang menagih hutang hanya karena aku.

Ibu terus membujuk hingga aku menuruti kemauannya. Jika aku tidak menurutinya, tentu hatinya semakin sakit. Tapi, jika aku kuliah, ibu harus banting tulang membiayai pendidikanku. Dengan apa dan bagaimana? Ia mengandalkan bertani pada usia mulai usang.

Dilema menghantuiku. Dua pilihan yang butuh kerja keras otakku. Semuanya demi aku. Sejak itu, ku tinggalkan ibu seorang diri di gubuk tua. Gubuk yang dirakit almarhum ayah secara sederhana dengan sedikit bantuan tanganku.

Aku pergi jauh meninggalkan sang ibu dengan selimut tua dan bantal kumuh sebagai teman tidur, dikala ia letih bekerja. Perempuan tangguh ini, mengikhlaskan semua keadaan demi masa depanku yang cerah.

Masih terbayang dalam ingatanku 4 tahun lalu. Aku mencium tangannya, memeluknya untuk pamit, berpisah, meraih masa depan. Ciuman dan pelukan,  masih sangat terasa, walau waktu telah berlalu begitu lama. Petuah-petuah dari ibu masih saja menyatu dihati.

“Nak, sekolah baik-baik ya, jaga diri. Jangan lupa Tuhan” pesannya.

Kata-kata terakhir ini diiringi air mata. Ia merelakan aku pergi. Aku tak lagi bertemu dengannya. Jika butuh sesuatu, aku meminjam telepon tetangga.  Mencari kerja saat libur menjadi adalah cara aku membantu perempuan tanggu itu.

Suasana kamarku berbentuk persegi empat, teduh dan sunyi. Isak tangis mengenang masa lalu menjadi teman bisu di atas tempat tidur.

Ahh,,, sudah 4 tahun aku tidak pernah bertemu ibu. Jarak dan keadaan ekonomi menjadi alasan paling masuk akal. Namun, rindu-rindu itu aku biarkan waktu yang akan menjawab. Bersyukur ibu selalu sehat. Tapi aku selalu kwatir jika ia sakit. Siapa yang akan menolongnya? Ibu sendirian menikmati hari-hari sambil mengharapkan cerita sukses dariku.

Langkah kaki terdengar memecah kesunyian malam itu. Aku mengenal langkah itu. Ia adalah Kevin tetangga kamarku. Aku hafal persis bunyi sandal, jika ia sedang mabuk. Sepertinya ia baru pulang dari tempat karaoke.

“Jevic..jevic..” teriaknya di depan kamar.

” Ada apa Kevin?” tanyaku dan beranjak menghampirinya.

” Kamu anak Tuhan, selamatkan aku?” jawabnya menentangku. Aku sangat mengerti tentang dia. Jika kelebihan alkohol ia tak peduli denganku.

“Kamu mabuk lagi ya?” Tanyaku sambil menuntun menuju kamarnya. Kevin sangat berbeda denganku. Ia berasal dari keluarga yang utuh,  punya bapak dan mama serta kakak serta adik. Namun, niat dan semangat belajar kalah jauh dariku. Rutinitas  hanya mabuk dan tidur. Berulangkali aku membuatnya sadar. Aku sadar, aku hanya teman biasa. Aku pesimis, karena setiap orang berhak atas pilihan hidup. Aku menutup pintu kamarnya, bergegas membaringkan tubuhku yang letih lesu dan berbeban berat.

Burung-burung berkicau ria menyambut pagi, seakan menyanyikan lagu syukur atas pagi yang indah. Aku membereskan kamar. Menikmati segelas kopi dengan alunan nada-nada rohani jelang Natal sambil menunggu jam kuliah. Sepulang kuliah, Kevin terlihat belum sadarkan diri. Ia masih menikmati mabuk dan mimpi-mimpi yang belum terwujud. Aku membiarkannya menikmati istirahat panjang memulihkan tenaga.

Beberapa teman kelas mampir sejenak di kontrakanku. Waktu sudah menunjukan pukul 13.00 Wib. Kami asyik bercerita sambil menikmati santap siang ala kadar, versi anak kos. Lauknya super mie rebus, praktis dan tidak butuh bumbu.

Kami bercerita tentang kelahiran baru, tentang Natal. Berbagai pengalaman Natal, saat jauh dari orang tua. Kami saling bertukar kisah sedih dan saling menguatkan menyambut kelahiran Sang Juru Selamat.

Tiba-tiba aku terpikir tentang Kevin yang belum terbangun. Aku bergegas menuju kamarnya. Mendorong pintu yang tidak ku kunci semalam, mendekatinya dan berusaha membangunkan dia. Perasaanku aneh, saat menyentuh tubuhnya. Terasa dingin. Air mata histeris membasahi pipiku. Aku sadar Kevin sudah pergi untuk selamanya. Aku memeluknya erat, seakan sedang bermimpi.

Teman-teman menghampiri saat mendengar suara tangis. Tubuh Kevin sudah kaku. Kami berusaha memberi pertolongan. Semua sia-sia. Perasaanku hancur lebur. Kevin, sahabat yang sering ku beri pengarahan tentang masa depan. Aku salah, aku tidak berhasil membuatnya sadar. Ku tak mampu membayangkan semua itu. Kembali aku memeluk erat tubuhnya yang kaku dan terus histeris. Teman-temanku mencoba menenangkan aku. Orang-orang berdatangan mendengar parestiwa ini. Aku tak rela melepaskannya. Merasa bersalah, telah gagal menjadi sahabat yang baik untuknya.

Sejak ia pergi, aku merasa tidak nyaman, lalu pindah kontrakan. Sebuah penyesalan, tak sempat menghantar jenazah teman baik itu. Ku menjalani hari-hari terakhir, saat hendak menyelesaikan pendidikan. Kevin pergi sebelum meraih sukses. Andaikan saja aku berhasil menjadi sahabat yang baik, semuanya tidak akan terjadi. Aku ya aku..membayangkan semua parestiwa itu.

Andaikan itu terjadi dalam hidupku. Tak akan bisa membayangkan perasaan ibu. Ia pasti sendirian menjalani sisa hidupnya.

Aku membuka diari depresi. Kembali kutemukan sepucuk tulisan usang. “Yang Terdalam”. Aku baru sadar tulisan itu untuk perempuan tangguh, Ibuku. Ku menulis untuk wanita terhebat sepanjang masa. Ku tuangkan perasaanku, menyampaikan doa untuk Dewi Partiwi pemilik kehidupan.

“Ibuku tercinta. Orang terhebat sepanjang masa. Sudah empat tahun, aku tidak pernah bersua. Memeluk kulit tua yang mulai keriput. Aku ingin menyalakan lilin-lilin kecil untuk ayah bersama ibu. Namun aku percaya, Ayah pasti bahagia di rumah Tuhan. Peristiwa kehilangan waktu ayah pergi meninggalkan aku dan ibu. Baru-baru ini terulang lagi. Aku kehilangan separuh hidupku. Saat Kevin pergi lagi. Aku merasa sendirian. Tapi, aku harus belajar dari ibu. Sejak kehilangan sang ayah, ibu menjadi orang yang semakin kuat. Bahkan, merelakan aku pergi jauh, ia sendirian. Ibuku tercinta, sebentar lagi Natal. Hari dimana semua orang kristen akan diselamatkan oleh kelahiran Isa Almasih. Maafkan aku anakmu yang sering melukai hatimu. Semua Cintamu ibu.  Tidak Terselami dalam hidupku. Kristus yang lahir di Natal ini adalah Kristus yang hidup dalam dirimu. Merelakan segalanya demi aku. Dari Tanah rantauan ini, kuselip doa syukur untuk kehidupan dan keadaan Ibu.

Selamat Hari Ibu. Selamat Natal Ibu…Selamat Tahun baru 2018.