SUARAFLORES.NET,–PENANGANAN balita sakit harus dilakukan oleh semua pihak. Sistem penanganannya pun harus mulai dari keluarga, lingkungan, desa hingga puskesmas. Semua pihak diharapkan bisa mengenali tanda-tanda bayi dan balita sakit dan mengetahui cara menolong anak dengan segera. Untuk itu, keberadaan Kader MTBS-M (Manajemen Terpadu Balita Sakit Berbasis Masyarakat) yang sudah dilatih di setiap desa sangat strategi guna berkomunikasi dengan pihak puskesmas.
Kader MTBS-M diharapkan selalu siap sedia mengantar balita sakit untuk dirawat di puskesmas. Untuk mendukung peran Kader MTBS-M ini, maka di tingkat puskesmas, pelaksanaan MTBS harus dilakukan secara baik dan harus tertib administrasi berupa system pencatatan dan pelaporannya. Agar hal ini terlaksana maka pelaksanaan MTBS maupun MTBS-M ini membutuhkan Surat Keputusan (SK) Pembentukan Kelompok Kerja (Pokja MTBS-M) di tingkat Kabupaten Sumba Barat guna mengawal pelaksanaan MTBS-M di tingkat puskesmas dan masyarakat agar meminimalisir kematian bayi dan balita.
Demikian beberapa intisari yang diperoleh dari pelaksanaan lokakarya system pencatatan dan pelaporan dalam penanganan terpadu balita sakit yang dilaksanakan Dinas Kesehatan Kabupaten Sumba Barat bersama Yayasan Sayangi Tunas Cilik (YSTC) mitra Save The Children International. Lokakarya selama sehari di aula GKS Waikabubak pada Selasa (20/3) lalu dihadiri para peserta yang berasal dari 5 puskesmas dan 10 desa sulit akses ke fasilitas kesehatan. Para peserta menyepakati bahwa MTBS-M harus dilaksanakan di semua desa yang sulit akses ke pusat layanan kesehatan masyarakat (Puskesmas) di Kabupaten Sumba Barat. Untuk itu, setiap puskesmas perlu membangun hubungan yang baik dengan para Kader MTBSM yang sudah dilatih.
Untuk mendukung terlaksananya MTBSM maka di setiap puskesmas juga harus menerapkan MTBS (Manajemen Terpadu Balita Sakit) secara baik dan benar. Demikian intisari dari pelaksanaan lokakarya system pencatatan dan pelaporan dalam penanganan terpadu balita sakit yang digelar Yayasan Sayangi Tunas Cilik (YSTC) mitra Save The Children International bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Sumba Barat. Lokakarya yang digelar pada Selasa (20/3) lalu dihadiri para kepala puskesmas, pengelola MTBS dan pengelola pneumonia dari 5 puskesmas. Selain itu juga dihadiri para Kader MTBSM dari 10 desa sulit akses ke fasilitas kesehatan.
Lokakarya system pencatatan dan pelaporan dalam penanganan terpadu balita sakit ini dibuka oleh Sekretaris Dinas Kesehatan Kabupaten Sumba Barat, Marthen K.Naha yang mewakili Kepala Dinas Kesehatan, Drg. Bonar K. Sinaga, M.Kes. Kegiatan yang berlangsung di aula GKS Waikabubak ini dipandu oleh Advocacy Coordinator YSTC, Silvester Nusa dan Program Koordinator MNCHN (Maternal New Born Child Health and Nutrition YSTC, Apry Selwin Leokuna. Pada sesi awal lokakarya, disampaikan juga materi tentang bahaya Penyakit Pneumonia dan cara mencegah serta menanganinya bila ada balita yang terkena pneumonia. Materi pneumonia ini disampaikan oleh Dr. Evie Douren dalam posisinya sebagai Health Policy and Advocacy Advisor Save the Children Indonesia. Turut hadir dalam lokakarya ini Project Manager Child Health, Retno Wardhani.
Saat membuka kegiatan lokakarya, Sekretaris Dinas Kesehatan Kabupaten Sumba Barat, Marthen K. Naha, mengemukakan, MTBS telah diadaptasi pada tahun 1997 atas kerjasama antara Kementerian Kesehatan RI, WHO, Unicef dan IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia). MTBS atau Integrated Management of Childhood Illness (IMCI) adalah suatu pendekatan terpadu dalam tatalaksana balita sakit.
MTBS dikatakannya, bukan merupakan program kesehatan, tetapi suatu standar pelayanan dan tatalaksana balita sakit secara terpadu di fasilitas kesehatan tingkat dasar. WHO sendiri telah memperkenalkan konsep pendekatan MTBS dimana merupakan strategi atau upaya pelayanan kesehatan yang ditujukan untuk menurunkan angka kematian dan kesakitan bayi dan anak balita di negara-negara berkembang. “Saya berharap agar semua puskesmas yang tenaga kesehatannya telah dilatih dengan MTBS agar menerapkannya secara baik, “harap Sekretaris Dinas Kesehatan.
Sementara itu, Silvester Nusa dari YSTC, mengemukakan, ada 3 komponen dalam penerapan strategi MTBS yakni; Pertama, meningkatkan ketrampilan petugas kesehatan dalam tatalaksana kasus balita sakit (dokter, perawat, bidan, petugas kesehatan); Kedua, memperbaiki sistem kesehatan agar penanganan penyakit pada balita lebih efektif. Ketiga, memperbaiki praktek keluarga dan masyarakat dalam perawatan di rumah dan upaya pencarian pertolongan kasus balita sakit yakni dengan meningkatkan pemberdayaan keluarga dan masyarakat, yang dikenal sebagai “Manajemen Terpadu Balita Sakit berbasis masyarakat”.
Senada dengan Nusa, Program Koordinator MNCHN, Apry Selwin Leokuna, menjelaskan, untuk keberhasilan penerapan MTBS, maka proporsi penekanan pada ketiga komponen harus sama besar karena tujuan MTBS adalah menurunkan secara bermakn aangka kematian dan kesakitan yang terkait penyakit tersering pada balita. Selain itu juga memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan dan perkembangan kesehatan anak. Di sela-sela lokakarya kepada media ini, Selwin menjelaskan, sebagaimana data Riskesdas tahun 2007, penyebab kematian perinatal 0 – 7 hari terbanyak adalah gangguan/kelainan pernapasan (35,9 %), prematuritas (32,4 %), sepsis (12,0 %). Kematian neonatal 7 – 29 hari disebabkan oleh sepsis (20,5 %), malformasi kongenital (18,1 %) dan pneumonia (15,4 %). Kematian bayi terbanyak karena diare (42 %) dan pneumonia (24 %), penyebab kematian balita disebabkan diare (25,2 %), pneumonia (15,5 %) dan DBD (6,8 %).
Penyakit-penyakit tersebut, kata Selwin, terbanyak pada balita yang dapat di tata laksana dengan MTBS adalah penyakit yang menjadi penyebab utama kematian, antara lain pneumonia, diare, malaria, campak dan kondisi yang diperberat oleh masalah gizi (malnutrisi dan anemia). Karena itu, maka langkah pendekatan pada MTBS adalah dengan menggunakan algoritma sederhana yang digunakan oleh perawat dan bidan untuk mengatasi masalah kesakitan pada Balita. Dijelaskannya pula, sebagaimana dikemukakan pihak Bank Dunia di tahun 1993 yang melaporkan bahwa MTBS merupakan intervensi yang cost effective untuk mengatasi masalah kematian balita yang disebabkan oleh Infeksi Pernapasan Akut (ISPA), diare, campak malaria, kurang gizi, yang sering merupakan kombinasi dari keadaan tersebut.
Penegasan pentingnya MTBS agar dilaksanakan juga disampaikan Dr. Evie Douren. Dijelaskannya, pendekatan MTBS di Indonesia pada awalnya dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di unit rawat jalan kesehatan dasar (Puskesmas dan jaringannya termasuk Pustu, Polindes, Poskesdes dan lainnya). MTBS, kata Dokter Evie, mengkombinasikan perbaikan tatalaksana kasus
pada balita sakit (kuratif) dengan aspek gizi, imunisasi dan konseling berupa promotif dan preventif. Agar penerapan MTBS dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan, maka diperlukan langkah-langkah secara sistematis dan menyeluruh, meliputi pengembangan sistem pelatihan, pelatihan berjenjang, pemantauan paska pelatihan, penjaminan ketersediaan formulir MTBS, ketersediaan obat dan alat, bimbingan teknis dan lain-lain.
Di hadapan peserta lokakarya, Dokter Evie Douren menegaskan, salah satu hal terpenting dari pelaksanaan MTBS adalah system tata laksananya. Ada prosedur yang diatur. Dalam hal tata laksana maka yang paling penting adalah system pencatatan dan pelaporannya di Puskesmas dan rumah sakit. Apakah dalam pencatatan itu ada buku register ataukah tidak, ataukah malah mencatat di kertas yang selanjutnya akan hilang? Dokter Evie berharap setelah lokakarya ini para kepala puskesmas, pengelola MTBS dan pneumonia bisa giat kembali menertibkan system pencatatan dan pelaporannya.
Pantauan media ini, dalam lokakarya yang berlangsung selama sehari ini, para peserta juga secara kelompok menurut puskesmas masing-masing juga berdiskusi terkait prosedur atau system pencatatan dan pelayanan balita sakit di puskesmas. Setiap puskesmas juga menyampaikan praktek baik yang sudah dilaksanakan dari pelaksanaan MTBS dan hal-hal yang menjadi kendala dalam peaksanaan MTBS beserta system pencatatan dan pelaporannya. Selain itu, di akhir lokakarya para peserta menyampaikan rencana tindak lanjut untuk dilaksanakan di masing-masing puskesmas.
Sementara itu, Kepala Bidang P2P Dinas Kesehatan Kabupaten Sumba Barat, Agustinus Rabila, A.Md.Kep, mengatakan, jika semua Puskesmas menerapkan MTBS secara baik maka tidak akan ada masalah dalam penanganan balita sakit. Melalui pendekatan yang terintegrasi dalam tatalaksana balita sakit maka siapapun yang bertugas di puskesmas akan mengetahui bagaimana menangani balita sakit yang sebenarnya.
Ditambahkannya, Puskesmas dikatakan sudah menerapkan MTBS apabila memenuhi kriteria melaksanakan atau melakukan pendekatan MTBS minimal 60% dari jumlah kunjungan balita sakit di puskesmas tersebut. Mengingat sudah banyak yang dilatih dengan MTBS seharusnya sudah tidak ada masalah dalam penerapannya.
MTBS-M Harus dilaksanakan di Semua Puskesmas
Sejumlah peserta lokakarya mengusulkan agar pelaksanaan MTBS harus dilakukan secara merata di semua puskesmas. Selain itu, harus ada ketegrasan dari Puskesmas dalam pencatatan dan pelaporan MTBS termasuk menyediakan dokumen untuk pencatatan dan pelaporan. Pelaksanaan MTBS harus dilaksanakan di semua puskesmas bukan hanya di 5 puskesmas yang sudah dilatih. Untuk mendukung pelaksanaannya maka perlu ada supervise atau monitoring secara rutin dari Dinas Kesehatan. Bahkan ada yang mengusulkan agar pelatihan MTBS perlu dilakukan untuk semua pengelola MTBS bukan hanya 2 orang saja per puskesmas. Pelibatan peserta dalam pelatihan harus mempertimbangkan kebutuhan tenaga kesehatan yang bertugas di Poli MTBS.
Di samping itu, peserta yang akan mengikuti Pelatihan MTBS bulan April nantinya adalah Nakes yang belum pernah mendapatkan Pelatihan MTBS dan mengikutsertakan para kepala desa dalam Rakerda Kesehatan Tingkat Kabupaten Sumba Barat agar para kepala desa memahami situasi kesehatan dan bisa mendukungnya dengan kebijakan di tingkat desa. Para kepala desa diharapkan juga tidak mengganti para Kader MTBSM yang sudah dilatih. Untuk mendukung pelaksanaan MTBS maupun MTBSM, hal yang diperlukan sangat mendesak adalah penerbitan SK Pokja MTBSM harus dipercepat untuk mendukung pelaksanaan MTBSM.
Dalam lokakarya ini juga sejumlah Kader MTBSM mengusulkan kepada para kepala puskesmas agar menyediakan anggaran pengganti transport bagi Kader MTBSM yang mendampingi pasien dari desa. Permintaan ini pun direspon oleh beberapa kepala puskesmas yang mengatakan bahwa apabila tersedia anggaran di dokumen anggaran puskesmas maka pihaknya siap untuk memberikan pengganti transportnya dan bila tidak ada di dokumen anggaran maka harus merencanakannya untuk tahun 2020.
Setelah lokakarya berakhir, salah seorang advocacy officer YSTC, Haryati Podu Lobu, saat ditanyai media ini terkait tindak lanjut, mengatakan, secara khusus untuk pneumonia, pihaknya untuk sementara akan melakukan sosialisasi di 10 desa sulit akses ke pusat layanan kesehatan. “Pneumonia perlu disosialisasikan lagi di semua desa agar masyarakat mengetahui apa saja bahaya dan bagaimana cara menanggulanginya. Kami dari YSTC akan menyediakan bahan informasi terkait pneumonia bagi kader dan masyarakat, “ujarnya. (Sfn01)