Oleh: Petrus Selestinus, SH*
Gubernur NTT Viktor B. Laiskodat mengambil langkah tepat di saat yang tepat karena mengubah pengetahuan dan tekonologi serta kemasan “Sopi” miras khas asli NTT menjadi “Sophia” melalui pengetahuan dan teknologi serta kemasan yang moderen. Kita patut mengapresiasi kebijakan menaikan derajad (pengetahuan, teknologi dan kemasan) Sopi menjadi Sophia, karena sama sekali tidak mematikan Sopi dan proses pembuatannya melalui pengetahuan dan tekonologi tradsional sesuai perintah konstitusi. Gubernur NTT Viktor B. Laiskodat membangun pengetahuan dan teknologi moderen Sopi dengan kemasan khusus serta diberi merek “Sophia” disertai dengan kadar alkohol yang terukur yaitu 45% kadar alkoholnya dengan tetap menjaga konstitusionalitas pengetehauan dn tekomologi tradisional pembuatan Sopi warisan nenek moyang.
Tidak itu saja, harga Sophia-pun telah dipatok dengan harga Rp. 1 juta per-botol yang berarti menaikan harga miras Sophi sebanyak 20 kali lipat dari harga sopi tradisional di pasar bebas yang rata-rata dijual dengan harga Rp. 50 ribu/per-botol. Ini langkah inovatif Gubemur yang patut didukung seluruh elemen masyarakat NTT, karena dengan menaikan harga Sopia menjadi Rp. 1 juta per-botol, maka diharapkan harga Sopi asli tradisional NTT akan ikut naik mengimbangi harga Sophia yang bahan bakunya diambil dari Sopi asli produk pengetahuan dan teknologi tradisonl NTT. Oleh karena itu Pemerintah Daerah harus mendata dan membenahi kembali keberadaan para pelaku ekonomi dan produsen miras Sopi di setiap Kabupaten untuk diorganisir dalam satu wadah atau asosiasi produsen Sopi asli tradisional dalam rangka memperkuat kedudukan hukum dan status badan hukum usaha produksi miras Sopi warisan nenek moyang kita menghadapi modernisasi pengolahan Sophia. Sekaligus menjadikan Sophia menjadi bapa asuh bagi Sopi tradisional di NTT sesuai amanat pasal 18B UUD 1945.Sophia harus menjadi bapa asuh (orang tua asuh) guna memperkuat Sopi sebagai kearifan lokal yang didalamnya melekat hak-hak tradisional. Posisi Sophia tidak mungkin bisa menggeser peran Sopi dalam ritual adat tradisional NTT.
Diperlukan Perda untuk Samakan Kebijakan
Diperlukan kebijakan dan persepsi yang sama di kalangan aparatur daerah di setiap Kabupaten di NTT tentang konstitusionalitas Sopi asli NTT agar aparat pemerintah (Polri) tidak lagi menempatkan miras Sopi sebagai produk terlarang dan haram dikonsumsi. Tidak boleh ada oprasi penindakan Miras di pasar-pasar sebagaimana selama ini terjadi, operasi penindakan Miras oleh aparat Kepolisian/Sat Pol PP selama ini menunjukan bahwa belum adanya persepsi yang sama di kalangan aparat penegak hukum tentang konstitusionalitas miras, peredarannya dan penggunaannya sebagai menu se hari-hari masyarakat NTT yang sah dan dilindungi konstitusi.
Jika kita memperhatikan proses pembuatan miras mulai dari mengambil nira dari pohon lontar, enau atau kelapa hingga proses penyulingan untuk mendapatkan alkohol dengan kadar tertentu, dengan peralatan yang sangat sederhana (tungku dari batu-batu, periuk tanah, bambu, lilitan daun untuk menutup rapat mulut periuk dan bambu yang dipasang untuk menyalurkan uap panas ketika dimasak dengan kayu bakar), hingga mendapatkan tetesan alkohol dengan takaran kadar alkohol tertentu, maka serangkaian proses untuk menghasilkan “miras” ini, menggambarkan bahwa para leluhur kita sejak awal telah memiliki pengetahuan tradisional dan menguasai teknologi tradisional dengan logika tinggi, tanpa menggunakan buku panduan dan peralatan canggih lainnya.
Pertanyaannya, dari mana nenek moyang kita menemukan pengetahuan tradisional untuk membuat miras, siapa yang memberikan mereka Ilmu atau Tekonologi tradisional menyuling nira (tuak putih) untuk mendapatkan alkohol dengan kadar alkohol tertentu dan terukur dengan peralatan tradisional kemudian diwariskan terus menerus hingga ke generasi sekarang. Tidak banyak orang yang tahu atau tidak ada seorangpun dari kita yang tahu mengenai siapa penemu dan kemudian mengembangkan proses pembuatan miras NTT hingga diwariskan sampai kepada generasi milenial saat ini. Namun demikian keberadaan miras NTT telah mendapatkan pengakuan di dalam Hukum Adat sebagai salah satu menu utama dalam setiap pesta adat dan ritual adat, karena secara terus menerus diwariskan secara komunal pada generasi berikutnya untuk dijadikan sebagai bagian dari kebiasaan hidup masyarakat adat hingga mendapatkan pengakuan di dalam UUD 1945 sebagai kearifan lokal yang harus dilindungi.
Sopi, Sophia Dalam Pasal 18B UUD 45.
Berdasarkan ketentuan pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dan beberapa pasal lainnya di situ ditegaskan bahwa : “negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih ada, dstnya.”, kemudian pengakuan itu dipertegas lagi dalam ketentuan UU No. 5 Tahun 2017, Tentang Pemajuan Kebudayaan. Dengan demikian maka proses pembuatan miras, peredarannya dan budaya meminum Sopi/Moke merupakan perbuatan yang sejak dahulu kala telah mendapatkan perlindungan dari hukum adat dan kemudian mendapat pengakuan di dalam UUD 1945 serta diperkuat kembali melalui UU No. 5 Tahun 2017, Tentang Pemajuan Kebudayaan. Ini merupakan bagian dari obyek pemajuan kebudayaan sekaligus merupakan ekspresi budaya tradisional yang mendapat pengakuan dan perlindungan dari negara, bahwa negara melindungi kesatuan-kesatuan hukum masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya berdasarkan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Konstitusionalitas proses menghasilkan produksi miras dengan beragam kadar alkohol, berbeda cita rasa dan warna, tergantung pada daerah asal Kabupaten pembuatanya dan asal usul bahan baku niranya dari pohon apa, telah mendapatkan jaminan di dalam Hukum Adat dan diperkuat oleh UUD 1945. Dengan demikian pernyataan sejumlah pihak tentang “melegalkan” miras meskipun dengan tujuan baik, akan tetapi istilah melegalkan itu menjadi tidak tepat bahkan menghina, karena berimplikasi menempatkan Moke, Tuak atau Sopi yang dikonsumsi selama ini sebagai barang ilegal sehingga membawa konsekuensi merendahkan budaya NTT, seolah-olah selama ini masyarakat NTT memproduksi miras ilegal hingga mengkonsumsi miras (moke, sopi, tuak) yang ilegal yang diperdapatkannya melalui cara-cara melanggar hukum. Pandangan ini berimplikasi memberi stigma negatif kepada penguasaan, peredaran dan konsumsi miras Sopi di pasar bahkan pada penggunaan untuk ritual-ritual adat.
Miras Produksi Pengetahuan dan Teknologi Tradisional NTT Yang Sah
Miras (Moke, Sopi atau Tuak) adalah produk hasil olahan pengetahuan dan teknologi tradisional warisan nenek moyang yang merupakan buah dari ide, gagasan dalam masyarakat yang mengandung nilai-nilai setempat sebagai hasil pengalaman nyata dalam berinteraksi dengan lingkungan. Bahkan pemilikan dan pewarisannya secara komunal, diakui, dirawat bahkan dijadikan sebagai salah satu menu wajib dalam setiap pesta atau pertemuan adat keluarga baik dalam skala besar maupun skala kecil, baik acara resmi maupun tidak resmi. Karena itu miras yang tumbuh dan berkembang di NTT jangan dipandang sebagai sebuah menu pelengkap atau sekedar asesoris dari sudut kuliner apalagi sebagai produk ilegal, akan tetapi ia mempunyai nilai magis dalam ritus upacara adat, ia bahkan merupakan salah satu unsur terpenting dalam setiap aktivitas ekspresi budaya tradisional masyarakat NTT dalam kehidupan ritus sehari-hari.
Munculnya operasi penindakan atas penjualan moke di pasar-pasar tradisional akhir-akhir ini di beberapa Kabupaten, dimana polisi menyita dan merampas miras yang diperjualbelikan di pasar tradisional, adalah tindakan yang bersifat menghina budaya NTT, oleh karena miras bagi masyarakat NTT tidak sekedar alat untuk memenuhi kebutuhan ekonomi tetapi lebih daripada itu miras adalah bagian dari ekspresi budaya tradisional yang dilindungi oleh Hukum Adat dan UUD 1945. Dengan demikian tindakan kepolisian berupa penyitaan, perampasan dan pemusnahan terhadap miras NTT adalah perbuatan melawan hukum yang sangat merugikan dan melukai harga diri dan martabat orang NTT, menghina tradisi budaya Masyarakat NTT, karena Hukum Adat, Konstitusi 45 dan Hukum Nasional tidak melarang tindakan memproduksi, mengkonsumsi, memperjual-belikan di pasar atau di kios-kios demi memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat dan ekspresi budaya masyarakat.
*Penulis: Koordinator TPDI & Pengamat Budaya NTT.