SUARAFLORES.NET — KOMISI Pemilihan Umum pusat dan daerah telah menetapkan nama-nama calon anggota legislatif di DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD tingkat kota/kabupaten. Di tingkat pusat, daftar calon tetap tercatat bersih dari para mantan terpidana kasus korupsi, kejahatan seksual anak, ataupun bandar narkoba.
Namun, tidak demikian di DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Tiga nama mantan koruptor lolos masuk daftar calon tetap DPD, 12 nama di DPRD provinsi, dan 26 nama di DPRD kabupaten/kota. Total sebanyak 41 bekas koruptor akan ikut memperebutkan kursi legislatif.
Dengan putusan Mahkamah Agung (MA) yang membolehkan mantan terpidana korupsi mendaftar menjadi caleg, kehadiran nama-nama tersebut sah-sah saja. Justru kini para pemegang hak suara yang dituntut cerdas dalam memilih. Apakah layak seseorang yang pernah melakukan praktik lancung dipercaya untuk mengelola negara?
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mensyaratkan calon anggota DPD, DPR, dan DPRD tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam hukuman penjara lima tahun atau lebih. Ada pengecualiannya, mereka boleh maju asalkan secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik tentang catatan kejahatan tersebut.
Tujuan mengumumkan kepada publik tentu agar pemegang hak suara dapat mempertimbangkan pilihannya dengan mengetahui catatan kejahatan caleg. Keputusan berada di tangan pemilih. Akan tetapi, harus diingat bahwa pemilih juga memiliki keterbatasan, terutama dalam hal mendapatkan informasi latar belakang para caleg beserta catatan kriminalitas mereka.
Berdasarkan peraturan KPU, para mantan koruptor dan mantan terpidana kejahatan dengan ancaman lima tahun penjara hanya diwajibkan mengumumkan ke media massa. Itu pun tidak ada persyaratan media massa seperti apa yang bisa dipakai.
Dengan memakai seluruh media massa berskala nasional saja, belum tentu informasi itu sampai kepada semua pemilih. KPU memang menambahkan syarat memasukkan surat keterangan catatan kepolisian yang kemudian diunggah ke sistem informasi data caleg. Sistem itu dapat diakses secara daring oleh umum. Meski begitu, tampaknya KPU lupa, tidak sedikit pemilih yang tidak memiliki akses internet.
Baca juga: Pemimpin “Daur Ulang” dan Mahalnya Biaya Pilkada NTT
KPU telah menepis usul pemberian tanda status mantan terpidana korupsi di surat suara. Alasannya desain surat suara yang akan dipakai sudah diluncurkan. Padahal, surat suara itu belum dicetak sehingga perubahan semestinya masih bisa dilakukan.
Tugas KPU memastikan informasi catatan kejahatan tersampaikan kepada publik, dalam hal ini para pemegang hak suara, tanpa kecuali. Catatan itu harus dipaparkan secara gamblang, yang bahkan tidak cukup hanya dengan memberi penanda di surat suara. Amat layak diterapkan pula usul Badan Pengawas Pemilu agar daftar caleg yang memiliki catatan kejahatan sesuai dengan kategori yang disebut Undang-Undang Pemilu ditempel di tiap TPS.
Upaya KPU menghambat para mantan koruptor, pelaku kejahatan seksual anak, dan bandar narkoba memang kandas oleh putusan Mahkamah Agung. Namun, bukan berarti lantas KPU boleh menyerah. Usul menandai surat suara tidak boleh kalah oleh alasan teknis. Demikian pula dengan tambahan menempel daftar caleg bercatatan kejahatan di tiap TPS, lengkap dengan nama partai mereka.
Bila kemudian pemegang hak suara tetap memilih caleg yang bersangkutan, itu bukan lagi tanggung jawab KPU karena KPU telah menunaikan tugas secara paripurna. (Sumber Media Indonesia).