Cetuskan Gagasan Revolusi Pertanian Berbasis Kawasan
Nama Kelompok Tani Kampung Daun makin populer saat ini. Banyak telinga dan mata datang berkunjung melepas lelah menikmati hijaunya rimbun pohon pisang, menyaksikan ikan-ikan segar melompat girang berebutan makanan di dalam kolam-kolam yang berada di dalam area kebun kecil yang asri nan tenang.
Banyak pula para pelajar, guru dan dosen serta peniliti yang datang studi, meneliti dan berdiskusi dengan Zainal tentang pertanian yang dikembangkan di Kampung Daun. Selain itu, di pondok Kampung Daun menjadi tempat bagi Zainal menulis buku, artikel dan berbagai makalah tentang ilmu dan praktek pertanian lahan kering.
Di pondok Kampung Daun yang penuh inspiratif memacu Zainal melahirkan ide dan gagasan-gagasan revolusioner tentang bagaimana membangun pertanian NTT, mulai dari saat ini untuk mewujudkan ketahanan pangan, dari hulu sampai hilir. Ia melihat pembangunan pertanian masih dengan cara lama yang biasa-biasa saja. Untuk itu, harus ada gebrakan besar kebijakan baru yang revolusioner, caranya dengan merubah nomen latur pembangunan pertanian. Potensi di NTT luar biasa karena memiliki Mamar (hutan) seluas 36 ribu hektar.
“Memang, masyarakat sampai saat ini masih membutuhkan bantuan, tetapi kalau bantuannya hanya diberikan bibit dan penyuluhan, tidak akan terwujud ketahanan pangan.Oleh karena itu, ia menegaskan harus merubah nomen klatur pembangunan pertanian. Kalau tidak tidak bisa, maka cita-cita swasembada pangan masih jauh panggang dari api. Jadi dibutuhkan gerakan besar revolusi pertanian.”
Menurut Zainal, membangun pertanian NTT tidak bisa dengan cara biasa saja. NTT butuh revolusi pertanian karena NTT mempunyai potensi, NTT mempunyai sumber daya alam, tapi masih kekurangan anggaran. Jadi nomen klatur anggaran harus dirubah.Jika belum dirubah, sampai Republik Indonesia bubar pun tidak berhasil membangunan pertanian di NTT.
“Jangan salahkan warga. Jangan kita bilang mereka tidak punya etos kerja atau malas. Kesalahannya, karena kita masih pakai cara lama dalam membangun pertanian NTT.”
Zainal yang lantang dan tegas dalam berbicara ini, menegaskan, Presiden Jokowi mengatakan, Rp93, 2 Triliun anggaran pertanian baik daerah maupun pusat. Katanya petani tidak usah menanam cukup membeli saja pakai uang itu, aman ketahanan pangan. Coba bayangkan, dana subsidi pupuk saja ada Rp31 triliun per tahun sejak 2015-2021 kemarin. Jika dana tersebut dibagi ke setiap provinsi sebesar Rp900 miliar per provinsi, maka pembangunan pertanian bisa berjalan secara khusus di NTT.
Tanam Padi 22 Ribu Hektar
Salah satu gagasan revolusioner yang ditawarkan Zainal adalah dengan membangun pertanian berbasis kawasan di 22 kabupaten/ kota di NTT dimana satu kabupaten sebanyak 1.000 hektar tanaman holtikultura dan padi. Menurut dia, bila anggaran yang ada diberikan untuk mendukung gagasan besar ini, maka rakyat NTT ke depan tidak akan krisis sayur, tidak akan krisis buah, tidak akan krisis padi, jagung, lombok, bawang putih, bawang merah, kacang tanah, kacang hijau, dan lain-lain. Mengapa? Karena di NTT ada 22 ribu hektar tanaman holtikultura yang dikembangkan di 22 kabupaten/ kota secara kontinyu.
Zainal tidak hanya mencetuskan gagasan kosong dalam membangun ketahanan pangan NTT, tetapi telah ia wujudnyatakan konsep dan program besarnya yang tertuang dalam sebuah proposal berjudul “Aribisnis Sempurna Komoditas Padi Seluas 22.000 hektar yang Melibatkan Pihak terkait dengan Menerapkan Teknologi Bioata di Provinsi NTT.” Program ini, sebagai salah satu alternatif reformasi modifikasi nomen klatur penyusunan anggaran pembangunan pertanian yang konvensional di Indonesia pada umumnya dan di NTT pada khususnya.
Lahirnya ide dan gagasan tersebut ketika Zainal mengikuti Pelatihan Sejuta Petani dan Penyulu Petani pada bulan Januari 2022 yang dihadiri Menteri Pertanian. Saat diberi kesempatan oleh Menteri Pertanian, ia menyampaikan beberapa hasil kajian/ analisis signifikan dan saran yang konstruktif tentang strategi menaikan produksi pertanian secara linear yang signifikan dalam mengelola anggaran pertanian pemerintah pusat dan daerah, termasuk dana pupuk subsidi yang sangat besar.
Dalam kesempatan itu, ia mengatakan, ada 16 nomen klatur yang harus direformasi, yaitu pertama, penganggaran pertanian yang konvensional harus direformasi/dimodifikasi secara bertahap yang mengarah pada tersediannya insentif petani agar terjawab salah satu keluhan Presiden Jokowi, terutama yang mengelola produk pangan seperti beras yang selalu diimpor. Strateginya dengan melalui Penerapan Agribisnis Padi Sempurna. Sistem penganggaran pada produk pangan yang bersumber pada tanaman hortikultura buah tahunan diuraikan tahapannya pada penyampaian hasil kajian selanjutnya.
Kedua, impor beras dari Thailand baik legal maupun ilegal mencapai 3 juta ton per tahun. Jika capaian produksi beras di Indonesia 3 ton/ha, maka dapat dikatakan bahwa lahan padi sawah Indonesia berada di Thailand 1 juta ha. Ketiga, anggaran biaya pembangunan pertanian dari Kementerian Pertanian dan Pemerintah Daerah dan/atau hanya mengelola subsidi pupuk Rp. 31,74 triliun (digenapi/dibulatkan menjadi Rp30 triliun) dibagi Rp9.500.000/ha padi (dibulati menjadi Rp10.000.000/ha sebagai biaya subsidi agribisnis sempurna, maka didapatkan luas lahan padi 3.000.000 ha yang dikelola petani dibawa bimbingan teknis yang intensif.
Keempat, jika pembulatan total biaya produksi padi sama dengan Rp10.000.000/ha, hasil panen padi kategori rendah sampai sedang, yaitu 4 – 6 ton gabah/ha atau minimal 3 ton (3.000 kg) beras/ha) dengan hasil penjualan, harga beras Rp10.000/kg x 3.000 kg = Rp.30.000.000/ha, maka diperoleh keuntungan Rp20.000.000/ha. Produksi padi kategori tinggi 7-13 ton/ha atau minimal 6 ton beras/ha dengan harga penjualan beras Rp60.000.000/ha sehingga keuntungan agribisnis semuprna komoditas padi = Rp.50.000.000/ha.
Kelima, jumlah penduduk Provinsi NTT sebanyak 5.480.000 jiwa. Konsumsi beras 0,54 kg/orang/hari atau 197 kg/orang/tahun atau 0,1971 ton/orang/tahun. Sehinga didapat total kebutuhan beras untuk 5.480.000 jiwa masyarakat NTT x 0,1971 ton = 1.080.108 ton/tahun. Keenam, produksi beras pada lahan padi dengan irigasi permanen di NTT yaitu hanya 2,6 ton/ha/musim x 2 musim tanam = 5,2 ton beras/ha/tahun.
Ketujuh, total produksi beras Provinsi NTT, yaitu 5,2 ton x 125.000 ha pada lahan basah fungsional tanaman padi hanya 650.000 ton beras/ tahun. Kedelapan, kekurangan beras Provinsi NTT yang menjadi salah satu penyebab kelaparan yang terus melanda daerah ini yaitu 1.080.108 ton – 650.000 ton = 430.108 ton beras/tahun. Hal ini berarti bahwa lahan padi NTT ada di luar kepulauan NTT yaitu di Pulau Jawa, Sulawesi dan Lombok seluas 82.713 ha.
Kesembilan, potensi lahan basah di NTT sebesar 263.000 ha. Lahan basah fungsional Provinsi NTT yang memiliki pengairan permanen sepanjang tahun untuk tanam padi sebanyak 4-5 kali musim tanam dalam 2 tahun mempunyai luas 125.000 ha (sebelum ada bendungan yang dibangun oleh Preisden Joko Widodo). Jika padi ditanam 2 kali musim tanam saja dalam satu tahun dengan target produksi kategori rendah sampai sedang menggunakan penerapan teknologi biota mampu menaikan produksi minimal 4,4 ton beras/musim tanam atau 8,2 ton/tahun (2 kali musim tanam). Nilai 8,2 ton x 125.000 ha menghasilkan produksi beras 1.100.000 ton/tahun. Capaian ini menghasilkan surplus beras di NTT sebesar 1.100.000 ton – 1.080.108 ton = 19.182 ton/tahun.
Kesepuluh, hasil analisis sederhana pada kegiatan agribisnis semurpuna padi dapat menyerap penganggur tenaga kerja pedesaan dan mengurangi/menghentikan arus urbanisasi dari desa ke kota terutama daerah yang memiliki potensi pengembangan padi sawah yang mempunyai irigasi permanen sepanjang tahun. Kesebelas, ketergantungan beras masyarakat NTT dari luar kepulauan NTT akan dapat dikurangi minimal 60 % dan bahkan dapat dihentikan.
Krisis Buah Unggulan Nasional
Ketigabelas, menurut Zainal, hasil kajian 4 jenis komoditas dari varietas hortikultura buah unggulan nasional asal NTT, yaitu Pisang Beranga Kelimutu, Alpukad Leden Puan, Jeruk Keprok Soe dan Mangga Kelapa Alor) sebagai sumber bahan pangan dan gizi, hanya terkenal dimana-mana, bahkan jeruk keprok SoE pernah menang juara I pada kontes buah Internasional dan Pisang Beranga Kelimutu pernah menjadi primadona pada pameran buah-buahan unggulan daerah tropis setiap Tgl 17 Agustus 1945 di Istana Negara pada tahun 2008 -2010 setelah dilepas sebagai varietas baru oleh Menteri Pertanian tahun 2006. Namun, sampai saat ini tidak terdapat di mana-mana terutama di pasar modern lokal dan nasional.
Menurut Zainal, krisis buah-buhan lokal NTT ini terjadi karena nomen klatur penganggaran untuk sistem budidayanya sama sekali tidak mengarah pada target riil produksi yang akan dicapai. Selama ini, target yang dilakukan hanyalah keberhasilan penyerapan anggaran yang harus habis terpakai dan pertanggungjawaban administrasi, bukanlah target produksi yang dicapai di lapangan per satuan luas per tahun.
Ketigabelas, Nomen klatur penganggran sejak RI merdeka sampai sekarang lebih banyak difokuskan terutama pada pengadaan bibit, pupuk dan pestisida. Terlebih pengadaan bibit yang belasan ribu anakan setiap tahun bahkan lebih. Kemudian membaginya kepada petani untuk ditanam dengan skala pekarangan bukan skala kawasan dalam bentuk membangaun kebun. Sehingga yang terjadi pada hasil pembangunan pertanian tanaman hortikultura buah tahunan unggulan nasional asal NTT tersebut, hanyalah pohon/rumpun Pisang Beranga Kelimutu yang ada menyebar secara spot-spot/parsial di pekarangan rumah petani, bukanlah skala kawasan kebun Pisang Beranga Kelimutu, Alpukad Leden Puan (Mentega) hanyalah pohon alpukat mentega bukanlah skala kawasan Alpukad Mentega, Jeruk Keprok SoE hanyalah pohon Jeruk Keprok SoE bukanlah skala kawasan kebun Jeruk Keprok SoE, Mangga Kelapa Alor hanyalah pohon Mangga Kelapa Alor yang ada di pekarangan rumah petani sejak penjajahan Belanda, bukanlah skala kawasan Mangga Kelapa Alor. Pengklasifikasian kawasan terdiri dari kawasan sempit 1-5 ha, kawasan sedang 5-20 ha dan kawasan luas lebih dari 20 ha.
Keempat, bibit yang diadakan melalui nomen klatur penganggaran konvensional lebih banyak menumpuk di kantor Desa, BPP dan lain-lain. Banyak petani tidak memanfatkannya agar ditanam dengan baik karena tidak ada insentif persiapan lahan bagi petani dalam bekerja keras menggali lubang tanam, saluran antisipasi genangan air musim hujan, insentif pemeliharaan sebelum berbuah dan panen.
Menyambut baik pemaparan Zainal, Menteri Pertanian pun merespon dengan baik serta menyukainya hasil analisis/kajian tersebut, baik pada tanaman pangan melalui agribisnis sempurna komoditas padi maupun komoditas hortikultura buah tahunan seperti pada agribisnis Pisang, Jeruk, Alpukad dan Mangga. Menteri menanggapi pertanyaan dan saran-saran yang konstruktif dari Kelompok Tani Kampung Daun sebagai peserta pelatihan dari Provinsi NTT. Menteri juga meminta dibuatkan proposal dan surat untuk disampaikan langsung kepadanya.
“Saya pernah minta melalui proposal saya sebesar Rp200 miliar untuk membangun pertanian seperti yang saya bangun ini. Kita hitung saja, berapa anggaran pertanian di Provinsi NTT? Itu kan Rp200 miliar per lima tahun, itu tidak cukup. Lebih besar anggaran untuk pupuk subsidi. Kalau proposal kita didukung maka kita bisa bangun pertanian di setiap kabupaten satu kabupaten seribu hektar. Jadi akan ada 22 ribu hektar pertanian di seluruh NTT.Anggaran sudah ada, tinggal kita harus punya target yang terukur. Tidak usah lagi kita berkedok di pemberdayaan, lebih baik kita bayar semua.”
Pertanian Berbasis Kawasan
Mengenang kembali bagaimana ia melepas varietas baru Pisang Beranga Kelimutu, ia mengungkapkan bahwa saat ini telah terjadi krisis Pisang Beranga Kelimutu. Meski pisang terkenal mahal dan bernutrisi tinggi itu masih tumbuh di kebun dan pekarangan warga tani, namun varietas pisang ini makin lama kian meredup. Pasalnya, kata Zainal belum atau tidak ada gerakan masif dari masyarakat dan pemerintah daerah untuk menenam pisang tersebut secara masif dan kontinyu dengan berbasis kawasan.
Selama pola pertanian di NTT masih sporaldis dan musiman, maka NTT akan tetap mengalami krisis buah, seperti Pisang Beranga Kelimutu yang saat ini makin menipis. Populasinya saat ini sekitar 13 ribu hektar di berbagai lahan warga. Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka NTT ke depan akan kehilangan buah-buah lokal, seperti Pisang Beranga Kelimutu, Alpukad, Jeruk, dan lain-lain. Jangankan buah, bibit dan batanya pun kinih tampak makin jarang terlihat. Baru-baru ini, salah satu petani, Tony Djogo, mengembangkan 17 ribu pohon Pisang Beranga Kelimutu.
Dari manakah Tony Jogo mendapatkan bibitnya? Bukan dari NTT, tetapi dia beli dari luar daerah. Fakta ini sangat ironis karena varietas Pisang Beranga Kelimutu berasal dari NTT. Hal ini berarti masyarakat dan pemerintah NTT gagal mempertahankan atau membudidayakan pisang ini, sehingga dikembangkan daerah lain, dan kemudian orang NTT membeli dari daerah lain lagi.
Sulitkah membangun perkebunan Pisang Beranga Kelimutu berbasis kawasan? Bagi Zainal pola pembangunan berbasis kawasan tidak susah karena ia telah melakukan uji coba dan berhasil. Menurutnya, ada beberapa tahapan yang perlu dipersiapkan, yaitu pada tahun pertama adalah persiapan lahan. Persiapan lahan itu adalah bagaiman tanah diolah. Mengolah tanah bukan hanya menggali lubang saluran air, tetapi termasuk pemagaran, pembuatan lorong dan jalan tani. Semua itu tentunya harus dianggarkan. Persiapan lahan harus dalam bentuk kawasan, yaitu 1- 5 hektar kawasan sempit, 5-20 hektar kawasan sedang, dan 30 hektar ke atas kawasan luas.
Selanjutnya, tahapan kedua adalah pembangunan, dimulai dari tahap persiapan lahan pada bulan Mei-Agustus dengan anggaran reguler. Kemudian pada tahap kedua, dari anggaran perubahan. Jadi pada saat anggaran perubahan itu dicairkan karena musim hujan mulai datang, sehingga anggaran tersebut dapat digunakan untuk pengadaan bibit dan pupuk.
Pada tahap ketiga adalah pemeliharaan. Karena berada dalam sebuah kawasan, maka tanaman pohon pisang yang sudah bertumbuh tidak susah untuk dipelihara atau dirawat. Dengan cara memberikan pupuk dan melakukan penyiangan dan memotong daun-daun membuat pohon-pohon pisang makin berkembang subur.
Sementara itu, pada tahap keempat adalah tahapan penganggaran panen, pasca panen dan pemasaran. Ini membutuhkan banyak tenaga kerja, kalau strategi ini berjalan baik, maka tidak akan terjadi kerawanan pangan di NTT secara khusus tidak akan terjadi krisis buah seperti Pisang Beranga Kelimutu, Mangga, Nangka, Adpukad, Jeruk, Melon dan lain-lain.
Dalam temuan Zainal, selama ini masyarakat NTT adalah masyarakat yang paling rendah dalam mengkonsumsi buah. Mengapa? Karena kondisi pendapatan masyarakat belum atau tidak mampu menjangkau mahalnya harga buah di pasar dan di Mall, Hypermart, Lippo Plaza dan berbagai tempat penjualan buah. Masyarakat yang mampu membeli buah secara rutin, hanyalah masyarakat kelas menengah keatas yang berpendapatan ekonomi baik. Sedangkan masyakarat yang ekonominya rendah tentunya tidak mampu membeli buah.
Mahalnya harga buah disebabkan buah-buah yang dijual di NTT lebih banyak buah-buah yang didatangkan atau dikirim pengusaha atau pedagang buah dari luar daerah. Buah-buah seperti Melon, Jeruk, Nenas, Alpukad, Lengkeng, Rambutan, Apel, Sawo, Pir, dan lain-lain sangat banyak dijual pedagang buah. Buah-buah tersebut berasal dari Jakarta, Surabaya, Bogor, Bima, Bali, dan daerah lainnya. Tentunya, para pengusaha tidak mau rugi dalam berbisnis, karena mereka harus mengeluarkan biaya, selain biaya untuk membeli berbagai jenis buah, mereka juga harus mengeluarkan biaya pengiriman dari centra-centra buah di luar NTT.
Bagi Zainal, sebenarnya secara geografis, NTT sangat mampu menjadi ladang buah-buhan. Fakta itu sudah ada buktinya, seperti di Soe, Kabupaten Timor Tengah Selatan pernah mengalami masa jayanya. Dahulu Jeruk dan Apel Soe sangat populer dan sangat terkenal kemana-mana karena rasanya beda dengan Jeruk dan Apel dari luar daerah.Namun, fakta itu dulu, kini populasinya sudah tidak seperti dahulu dan cenderung menurun.
Dimana ada kebun mangga, dimana ada kebun advokad? Yang ada itu pohon mangga dan pohon advokat. Kita harus membangun pertanian berbasis hamparan atau kawasan yang tertata dan dikelola secara baik.Tidak ada kebun jambu, tidak ada kebun nangka, tidak ada kebun jeruk, yang ada hanya pohon jambu, pohon nangka dan pohon jeruk.
Kebijakan Anggaran Pro Petani
Dari 4 tahapan ini, kata Zainal, tahapan yang paling penting adalah tahapan penganggaran. Dalam tahapan krusial ini, Pemerintah dan DPRD kabupaten/ kota, DPRD Provinsi dan DPR-RI harus memberikan perhatian yang besar pada anggaran untuk membangun kawasan pertanian berdasarkan kebutuhan tanaman buah unggulan nasional dari setiap tahapan yang telah ditetapkan.
“Jangan kita hanya menganggarkan pengadaan benih dan pupuk, tanpa menggangarkan persiapan lahan. Kita dari pusat sampai daerah setiap tahun selalu siapkan anggaran bibit dan pupuk yang sangat besar. Coba cek saja dari pusat dan daerah. Ini harus dipikirkan oleh Pemerintah dan DPR. Tidak ada juga anggaran untuk tanaman unggulan nasional di NTT, misalnya Pisang Beranga Kelimutu. Sejak 2006 itu, tidak ada anggaran untuk budidaya Pisang Beranga Kelimutu yang populasinya sekitar 13 ribu hektar. Hari ini ya masih sekitar itu juga. Mungkin lebih luas lagi, tapi dimana lokasinya? Paling yang dihitung itu pekarangan-pekarangan rakyat, bukan dalam satu hamparan atau kawasan.
Menurutnya, subsidi pupuk dengan dana mencapai Rp31 Triliun sebenarnya tidak efektif dan efisien karena anggarannya terlalu besar. Anggaran yang sangat besar tersebut seharusnya dialokasikan kepada begitu banyak rakyat petani miskin yang butuh perhatian. Dalam permenungannya, dia selalu bertanya, mengapa petani Indonesia, termasuk petani di kampungnya masih tetap miskin terus? Ia kemudian menelusuri dan menemukan jawabannya bahwa hal itu terjadi karena politik anggaran masih dengan cara lama. Ada soal dimana perhatian anggaran untuk pertanian tidak serius diberikan pemerintah daerah kepada masyarakat, terutama kepada pelaku pertanian.
“Contoh, waktu saya ke Maumere, saya ketemu itu petani milenial, Yance Maring yang kembangkan irigasi tetes di Kabupaten Sikka. Kepada saya, Yance mengaku sangat kecewa soal pengganggaran. Seharusnya orang seperti dia yang sudah dikunjungi oleh para pejabat pusat harus diberikan perhatian maksimal dengan membantu seribu lokasi irigasi tetes di NTT, seperti yang dia lakukan di Maumere. Sehingga, perubahan itu terlihat.”
Sinergitas Kerja Stakeholder
Menurut Zainal, setelah menelusuri dan mempelajari berbagai permasalahan program dan anggaran yang berjalan selama ini, program pertanian tidak atau belum berjalan masif dan terintegrasi dalam sebuah kawasan karena tidak adanya sigergitas kerja antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Ada beberapa fakta yang ia temukan selama ini, yaitu, pertama pemerintah pusat dengan anggaran pertanian yang begitu besar seolah-olah masih berjalan sendiri dalam membangun pertanian untuk mewujudkan ketahanan pangan. Fakta itu terlihat ketika Presiden dan Kementerian Pertanian gencar turun ke daerah membangun program ketahanan pangan di berbagai kabupaten. Ketika Presiden datang mungkin pemerintah daerah merasa senang karena banyak program turun ke daerahnya. Namun itu hanya sementara, ketika Presiden pulang program belum tentu berjalan maksimal sesuai yang diharapkan Presiden.
Fakta kedua, dengan adanya keterbatasan anggaran pertanian di setiap kabupaten/ kota, para kepala daerah belum memprioritaskan program pertanian (ketahanan pangan) sebagai program utamanya. Para kepala daerah yang terpilih secara politik dalam pilkada, masih menempatkan program politik mereka yang utama seperti infrastruktur, pendidikan, kesehatan, ekonomi dan lain-lain.
Fakta ketiga, antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/ kota tidak searah dalam program dan kebijakan anggaran pertanian, pemerintah provinsi yang juga keterbatasan anggaran, seperti Provinsi NTT, tentunya lebih fokus pada program mendasar seperti infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pendidikan, dan lain sebagainya yang dijanjikan dalam kampanye pilkada. Selain itu, adanya otonomi daerah membuat peran besar Pemerintah Provinsi seperti dikebiri, Pemprov tidak bisa melakukan intervensi terhadap para bupati dan walikota, dan dinas teknis pertanian dan peternakan karena mereka mempunyai wewenang sendiri dalam mengatur rumah tangganya.
Fakta keempat, ada begitu banyak anggaran yang dialokasikan untuk program pertanian di daerah, namun anggaran tersebut belum maksimal diberikan kepada para petani miskin dan juga para pengusaha pertanian yang selama ini turut membangun pertanian. Program pertanian untuk mewujudkan cita-cita ketahanan pangan adalah kerja besar antara semua etakeholder termasuk pengusaha pertanian. Jadi para pengusaha juga harus dirangkul dan diberikan akses anggaran yang luar, sehingga mereka dapat membantu memajukan pertanian.
Fakta kelima, menurutnya, peran wakil rakyat belum menunjukan keberpihakan dan komitmen yang jelas dalam politik anggaran. Padahal lembaga legislatif, baik DPRD kabupaten, DPRD Provinsi dan DPR-RI memiliki hak penuh untuk mengetuk palu anggaran. Apabila mereka benar-benar ingin daerahnya, seperti NTT menjadi lumbung pangan berbasis kawasan, maka politik anggaran harus benar-benar berpihak pada petani dan pengusaha pertanian.
Melihat situasi saat ini dimana dunia sedang dilanda krisis pangan, Presiden Joko Widodo bergerak cepat mulai membangun ketahanan pangan termasuk di Provinsi NTT, dia berharap hal ini menjadi perhatian serius bagi seluruh pemerintah daerah, pengusaha (investor) pertanian dan petani itu sendiri. Dimana, dibutuhkan kerja bersama secara sinergis dalam membangun pertanian NTT sebagai lumbung pangan masa depan, dimana diperlukan anggaran yang besar dan sumber daya manusia yang handal dalam membangun dan mengelola kawasan-kawasan pertanian di NTT.
Mengutip Grand Disign Himpunan Kerukunan Tani (HKTI) NTT yang di tulis oleh Ir. Oswaldus, M.Si, dia menerangkan bahwa struktur ekonomi NTT pada tahun 2021 masih didominasi oleh lapangan usaha sektor Pertanian, Kehutanan dan Perikanan dengan kontribusi sebesar 29,17 persen, dan komponen pengeluaran masih didominasi oleh komponen konsumsi rumah tangga sebesar 68,16 % (Nasional: 55 %).
Untuk meningkatkan kontribusi dari 3 sub sektor pertanian tersebut di atas maka orientasi pembangunan pertanian yang saat ini masih bersifat subsisten perlu direduksi secara bertahap dan dialihkan menjadi lebih produktif, dengan mendorong hilirisasi, investasi dan ekspor. Oleh karena itu perlu dilakukan penyesuaian terhadap perencanaan pembangunan pertanian di NTT agar menjadi pertanian yang maju, mandiri dan modern. Sejalan dengan upaya tersebut, maka pendekatan wilayah akan menjadi prioritas, dengan menjadikan kecamatan sebagai basis pembangunan pertanian dan para penyuluh sebagai motor penggerak di kelompok tani dan gapoktan.
Saat ini, rata-rata luas kepemilikan lahan pertanian di NTT masih sangat kurang, yakni sekitar 0,3 ha per kapita. Luasan seperti ini tidak akan mencapai skala ekonomi yang layak bagi petani karena jauh dari rata-rata skala yang diharapkan. Namun apabila setiap 0,3 ha lahan dihimpun dalam suatu kawasan atau ke dalam suatu kelompok masyarakat atau model korporasi, maka hasilnya akan berdampak luas terhadap pertumbuhan ekonomi yang sangat signifikan. Demikian pula upaya peningkatan nilai tambah produk yang sudah ada, dengan pola pengembangan korporasi, memerlukan mitra yang berperan sebagai investor. Potensi komoditi yang sangat banyak di setiap kabupaten di NTT, memberikan ruang yang terbuka luas bagi investor untuk membangun pertanian di NTT.
Bagi Zainal, Kelompok Tani Kampung Daun yang ia bangun adalah miniatur atau sebuah ladang kecil yang menjadi contoh bagaimana membangun NTT berbasis pada kawasan. Kampung Daun tersebut, menurutnya, dapat diwujudnyatakan dalam skala yang lebih luas di semua kabupaten di NTT. Namun semua itu harus melalui sebuah konsep kerja sama antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten dan para petani sebagai pemilik lahan, dan para investor atau pengusaha di bidang pertanian.
“Kita tidak bisa kerja sendiri-sendiri. Kita harus senafas, seirima dan bangun komitmen kuat memajukan pertanian NTT demi ketahanan pangan. Apa yang saya lakukan di Kampung Daun ini hanya sebuah contoh kecil untuk memicu semangat kerja yang lebih besar petani di NTT. Bila kita ingin NTT jadi lumbung pangan, maka sekarang saatnya bangun pola kerja cara baru yang revolusioner dan modern. Kita tidak bisa pakai cara lama karena dunia sedang berjalan maju, dunia kini sedang mengalami krisis pangan. Ini momentum yang tepat untuk kita bangkit kita sejahtera di masa depan.” (Penulis: Kornelius Moa Nita/ Bersambung)