RUTENG, SUARAFLORES.NET–Orang Nuca Lale (nuca artinya pulau, lale artinya pohon sukun atau ular sawah) atau ata (ata: orang) Manggarai sebut dengan istilah pemberian makan terhadap leluhur dan Tuhan. Pemberian makan terhadap leluhur dan Tuhan tersebut diekspresikan melaui ‘teing hang wura agu ceki’.
Disebut ‘wura agu ceki’ (memberi makan kepada leluhur), karena orang Manggarai percaya, kehidupan generasi sekarang dan masa depan, tidak terlepas dari upaya dan kiat dari ‘wura agu ceki’ di masa lampau dan mereka memiliki keterkaitan dengan generasi masa kini.
Untuk menghormati wura agu ceki, dibuatlah ritual memberi makan atau sesajen. Wura artinya leluhur, sedangkan ceki adalah representasi dari Tuhan yang diwujudkan melalui benda atau makhluk tertentu.
Sebagaimana dalam kehidupan daerah lainnya di dunia, diyakini leluhur sebagai sesuatu yang sakral dan menjadi petunjuk atau penolong. Bagi orang Manggarai masa lampau, kental dengan ajian senyawa atau aji gening di mana mereka dapat berkomunikasi dengan binatang dan tetumbuhan.
Memberi makan roh leluhur dan Tuhan tersebut, tidak mengenal waktu, bisa setiap tahun atau lebih tergantung apa yang mau diritualkan.
Misalnya, teing hang ata tu’a pa’ang be le (memberi makan roh orang tua yang sudah meninggal) dilakukan karena telah dan tengah mengalami sakit dan penyakit di dalam keluarga inti (suami, isteri dan anak-anak kandung). Sebagai bentuk rekonsiliasi (hambor atau pendamaian), dibuatlah pemberian makan agar sakit dan penyakit dipulihkan.
Baca juga: Jalan Salib Hidup, Prosesi Maria Alleluyah dan Ujian Doktoral di Alam Terbuka Konga
Teing hang wura agu ceki juga dapat dilakukan misalnya saat hendak mengeyam pendidikan ke luar daerah, menjelang pergi ke sekolah. Saat hendak merantau, saat acara politik, saat mendirikan bangunan, pada saat panen, penti dan sebagainya.
Itu penting dilakukan, karena apa yang dimiliki generasi masa kini merupakan pemberian, hadiah dari nenek moyang dan merupakan berkat Tuhan melalui perantaraan ceki (Tuhan representasi, kehadiran Tuhan yang menjelma dalam bentuk benda dan binatang).
Disebut teing hang wura agu ceki, sebagai ekspresi konkrit iman orang Manggarai, karena orang Manggarai berpandangan bahwa orang tua adalah wujud Tuhan. Lagi pula konsep ame rinding mane, ine rinding wie sebagai penyebutan untuk Yang Kudus. Artinya, Ibu dan Ayah itu adalah wujud dari Tuhan itu sendiri, Allah yang kelihatan.
Selain itu, orang Manggarai mengenal konsep Parn Awo Kolepn Sale, Awangn Eta Tanan Wa sebagai penyebutan Sang Pencipta itu sendiri, maka untuk menyembah Yang Suci tersebut. Mereka pun menggelar teing hang atau taking, memberi makan atau sesajian kepada leluhur dan Pemberi Kehidupan.
Teing hang wura agu ceki, lazim juga dilakukan sebelum digelarnya teing hang ase ka’e weki de ru dan ase ka’e weki de wina rona. Itu dikenal dengan sebutan hambor ase ka’e weki (rekonsiliasi dengan saudara badan atau diri atau mendamaikan saudara badan dari suami dan isteri yang oleh orang Manggarai menyebutnya mbau de ru).
Orang Manggarai percaya, mirip sadulur papat lima pancer dalam Kejawen, orang Manggarai menyakini, tiap-tiap orang memiliki saudara kembarnya yang dikenal dengan ase ka’e weki tadi. Maka, sebelum digelarnya ritual hambor ase ka’e weki dilakukan terlebih dahulu teing hang wura agu ceki. Ase ka’e weki. Berbeda dengan wura agu ceki, karena ase ka’e weki menyangkut saudara masing-masing dari tiap-tiap orang.
Tujuan digelarnya teing hang ase ka’e weki agar adanya kerjasama dari saudara pelindung rumah tangga tertentu, membangun tali persaudaraan, rezeki, jauh dari malapetaka dan diberi keturunan.
Konsep orang Manggarai, menyakini terjadinya percecokan di dalam rumah tangga, karena rintuk taud ase ka’e weki de wina rona (saudara pelindung dari suami dan isteri belum direkonsiliasi), maka dicarilah jalan untuk dilakukan hambor atau pendamaian.
Ase ka’e weki adalah wujud lain dari yang Ilahi yang menuntun dan menentukan tiap langkah manusia setiap harinya. Itulah konsep orang Manggarai tentang identitas mereka. (Melky).