JAKARTA, SUARAFLORES.NET,-Forum Advokad Pengawal Pancasila (FAPP) sangat mengapresiasi sikap tegas Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) terutama keberanian untuk mengubah sisitim pemeriksaan saksi ‘seorang demi seorang’ yang pada periode sebelumnya semua saksi yang diajukan oleh Para Pihak diperiksa semuanya secara serentak atau gelondongan.
“Dalam perkara PHPU ini, Majelis Hakim membuat terobosan dengan mengubah sistem pemeriksaan saksi, dimana masing-masing saksi diperiksa “seorang demi seorang” secara terpisah sebagaimana lazimnya pemeriksaan saksi sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku. Dengan sistim ini para saksi tidak saling kompak untuk bersaksi palsu saat sedang diperiksa Majelis Hakim,” kata Juru Bicara FAPP, Petrus Selestinus, SH, yang juga sebagai Pemohon Pihak Terkati Tidak Langsung (PHPU) di MK, di Jakarta, setelah memantau sidang gugatan Pilpres 2019 oleh Tim Hukum Capres dan Cawapres Prabowo Subianto-Sandiagoa Uno Sejak Senin (17/6) hingga Rabu (19/6) di Mahkamah Konstitusi RI, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.
Menurut Selestinus, keberanian mengubah sistem pemeriksaan saksi dan mebatasi jumlah saksi hanya memeriksa saksi fakta yang berkualitas sesuai dengan Hukum Acara dan Praktek Peradilan di dalam persidangan PHPU, sebagai sikap “elegant” Majelis Hakim MK.
“Ini pertanda bahwa Majelis Hakim MK sangat hati-hati dan tidak mau terjebak dalam skenario Tim Hukum Paslon Nomor Urut 02, yang membangun konstruksi “Hukum Progresif” untuk menggiring Majelis Hakim dalam jebakan melanggar asas legalitas terutama larangan bertindak melampaui wewenang, mencampur- adukan wewenang, dan bertindak sewenang-wenang,” terangnya.
Dikatakannya, Majelis Hakim dengan jeli melihat ada muatan Itikad Tidak Baik dari Tim Hukum Paslon Nomor Urut 02, yaitu ingin mendapatkan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara, pasca gagal dengan skenario People Power/Makar yang berpuncak pada kerusuhan 21-22 Mei 2019. Upaya hukum ke MK meskipun di luar skenario awal, tetapi tujuannya jelas yaitu mem-“fait accompli” Majelis Hakim dengan konstruksi Permohonan PHPU secara gelondongan yaitu semua jenis Pelanggaran Pemilu dan Proses Pemilu dimohon untuk diperiksa dan diadili oleh MK, padahal soal Pelangaran Pemilu dan Proses Pemilu tidak masuk dalam kewenangan MK untuk mengadili.
Alat Bukti “Berita Hoax Harus Dinyatakan Terlarang
Ditegaskannya bahwa tuntutan PHPU secara gelondongan dan tidak beraturan, nampak jelas di dalam Permohonan PHPU tanggal 24 Mei 2019 dan dalam versi “Perbaikan PHPU” tanggal 10 Juni 2019. Banyak muatan cerita fiksi tanpa bukti dan menggunakan Berita Hoax, seolah-olah telah terjadi Pelanggaran Pemilu secara TSM di seluruh Indonesia, memvonis secara tidak bertanggung jawab bahwa Paslon Nomor Urut 01 telah melakukan pencurian dan penggelembungan suara, lantas menuntut dilakukan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di seluruh Indonesia.
“Fakta ini memberi pesan kuat bahwa semangat tagar #2019 Ganti Presiden# dan ancaman “Berita Hoax” masih berperan secara terselebung dibalik PHPU ini. Pola penggunaan Berita Hoax sebagai alat bukti dalam persidangan di MK, memberi pesan nyata bahwa perjuangan tagar #2019 Ganti Presiden# tidak berhenti pada persidangan PHPU di MK. Paslon Nomor Urut 02 dan Kelompoknya sedang mendaur ulang “Berita Hoax” melalui persidangan MK untuk digunakan kembali sebagai agenda lanjutan tagar #2019 Ganti Presiden# pasca sidang MK,” ungkap Petrus.
Oleh karena itu, Petrus menegaskan, FAPP sangat berkepentingan meminta melalui pihak Termohon dan Pihak Terkait meminta kepada Majelis Hakim MK agar dalam putusannya nanti khusus mengenai penggunaan alat bukti Berita Hoax dalam perkara PHPU harus dijadikan pertimbangan dan dinyatakan sebagai “terlarang” digunakan dalam perkara apapun karena Berita Hoax sangat membahayakan akal sehat publik dan merusak persatuan dan kesatuan bangsa. (*/bkr-sfn)