TPDI Minta TNI dan Polri Jelaskan Klaim Kepemilikan Tanah Sengketa Warga Suku Paumere

by -47 Views

SUARAFLORES.NET,–Pemasangan papan nama Institusi TNI – AD dan Satuan Brimob Polda NTT oleh sejumlah oknum di atas tanah sengketa milik warga Suku Paumere, Nangapanda, Kabupaten Ende, mengundang tanya publik. Diduga tindakan itu merupakan penyalahgunaan nama Instusi Negara oleh ‘oknum spekulan tanah’ demi kepentingan kelompok tertentu yang bertujuan merampas tanah warga dari Hak Ulayat Suku Paumere secara turun temurun menguasai, mengelola dan menghaki tanah Hak Ulayat seluas kurang lebih 6,000 Ha di Nangapanda hingga kini dengan menggunakan topeng TNI-AD dan Satuan Brimob Polda NTT.

Hal ini disampaikan Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) dan Advokad Peradi, Petrus Selestinus, SH, dalam keterangan tertulisnya kepada media ini, Sabtu (15/12/2018). Dijelaskan Petrus, memang di atas tanah seluas 6.000 Ha masih terjadi sengketa pemilikan tanah atas sebagian tanah seluas -/+ 2000 Ha antara beberapa kelompok warga Suku Paumere dengan pihak ketiga yaitu Musa Gedu, warga di Dusun Ngajo, dimana sengketa yang muncul sejak tahun 1974 hingga saat ini belum terselesaikan, baik secara hukum adat  maupun berdasarkan hukum peraturan perundang-undangan lainnya.

Diutarakan Petrus, berdasarkan pengakuan Korem 161 Wirasakti Kodim 1602 Ende, dalam suratnya yang ditujukan kepada OMBUDSMAN Provinsi NTT bernomor B/199/III/2018, tertanggal 7 Maret 2018, perihal jawaban surat OMBUDSMAN NTT,  menegaskan bahwa TNI-AD sebagai pemilik atas lahan seluas 2.000 Ha berdasarkan permintaan dan penyerahan dari masyarakat  dan ahliwaris Musa Gedu kepada TNI melalui Pangdam IX/Udayana tanggal 20 Januari 2008.

TNI-AD dan Brimob Diduga Diperalat

Lebih jauh, Petrus mengungkapkan, klaim TNI-AD dan Sat Brimob Polda NTT bahwa sebagian tanah dengan Hak Ulayat Suku Paumere sebagai milik TNI-AD dan Satuan Brimob Polda NTT di atas lahan -/+ 2.000 Ha berdasarkan penyerahan dari ahli waris alm. Gedu Raja kepada TNI-AD untuk kepentingan “Pembangunan Partahanan Negara RI, sangat mengagetkan semua pihak. Karena, baik TNI-AD  dan Mabes Polri  sebagai pihak yang memerlukan lahan dan Pemerintah Daerah Kabupaten Ende sebagai pihak yang berwenang membentuk Panitian Pengadaan Tanah, tidak pernah mengirim Panitia Pengadaan Tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum untuk melakukan tugas-tugas; Sosialisasi, Penyuluhan, Negosiasi dan lain-lain, sebagaimana syarat-syarat itu diatur di dalam Peraturan Presiden Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Dikatakannya, seandainya klaim TNI-AD dan Sat Brimob Polda NTT bahwa tanah seluas -/+ 2000 Ha adalah milik TNI-AD dan Satuan Brimob Polda NTT itu dibuktikan dengan adanya peralihan hak yang jelas (jual-beli, tukar menukar, hibah atau pewarisan), maka mekanisme yang harus dilalui adalah harus berdasarkan mekanisme sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden Tentang  Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum,  yaitu perlunya Panitia Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum. Oleh karena itu, lanjut dia,  yang perlu dibuktikan adalah apakah pihak TNI-AD dan Satuan Brimob Polda NTT sudah menempuh mekanisme Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, ketika TNI dan POLRI  hendak membangun sarananya di atas tanah Warga Suku Paumere yang masih bersengketa dengan pihak Musa Gedu dan kawan-kawannya.

Minus Panitia Pengadaan Tanah

Pertanyaan, menurut Petrus, menjadi sangat penting dan harus dijawab terlebih dahulu oleh pihak TNI-AD. Pasalnya, masyarakat pemangku kepentingan di atas tanah Hak Ulayat Suku Paumere di Nangapanda, ketika ditanya apakah ada Pantia Pengadaan Tanah bagi pembangunan untuk kepentingan TNI-AD dan Brimob Polda NTT pernah melakukan sosilisasi, penyuluhan, pendataan terhadap status hukum, batas-batas, apakah di atas tanah dimaksud terdapat hak-hak pihak lain, apakah ada sengketa atau tidak, apakah ada bangunan Rumah, Gereja atau Masjid dan benda-benda lain yang ada di atasnya yang ada kaitannya dengan tanah yang haknya akan dilepaskan, ternyata warga Suku Paumere menjawab “tidak pernah ada” Panitia Pengadaan Tanah hingga saat ini.

Padahal, terang Petrus, menurut Peraturan Presiden RI bahwasanya “Pelepasan atau Penyerahan Hak Atas Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah harus dilaksanakan berdasarkan prinsip “penghormatan terhadap hak atas tanah.” Sementara, di atas tanah Warga yang berasal dari Hak Ulayat Suku Paumere di Nangapanda, sejak tahun 1974 hingga sekarang masih terjadi sengketa antar warga masyarakat di dalam Suku Paumere dengan pihak Ahliwaris Musa Gedu dan kawan-kawan. di Pengadilan Negeri Ende, namun pihak TNI-AD dan  Brimob Polda NTT tidak pernah memperlihatkan bukti pemilikannya atau masuk ke dalam sengketa perdata melalui pintu gugatan intervensi, sekedar membela kepentingan perdatanya sebagai pihak yang mengklaim sebagai pemilik atas tanah.

“Praktek atau pola penguasaan tanah dan upaya pemilikan tanah oleh TNI-AD dan Satuan Brimob Polda NTT di atas tanah Hak Ulayat Suku Paumere, jika benar telah dilakukan penyerahan oleh pihak Ahli Waris Musa Gedu pada tanggal 20 Januari 2008, maka penyerahan tanah dengan mekanisme penyerahan secara langsung tanpa melalui mekanisme Panitia Pengadaan Tanah  untuk kepentingan Pertahanan Keamanan, jelas sebagai “tindakan perampasan hak milik warga sekaligus merupakan perbuatan melanggar hukum” terlebih-lebih telah dilakukan dengan cara tidak menghormati prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah sesuai dengan perintah Peraturan Presiden,” kata Petrus. (*/bkr)

Baca juga: Kekerasan Terjadi Ketika Jokowi Bangun Papua, Siapa yang Bermain?

Baca juga: HIV/AIDS, Ibu Rumah Tangga Kalahkan Pekerja Sex Komersia, Mengapa?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *