Umbu Dingu, ‘Anak Marapu’ dalam Lintasan Sejarah Gereja Kristen Sumba

by -115 Views

SUARAFLORES.NET,– Hujan dan angin kencang melanda perbukitan, hutan serta sabana yang luas menghijau. Jarak pandang yang pendek tak menyurutkan perjalanan melintasi jalan mulus berkelok-kelok dari Kota Waingapu, Sumba Timur menuju Anakalang, Kabupaten Sumba Tengah. Perjalanan yang biasanya cepat harus molor akibat cuaca yang tidak bersahabat dan tumbangnya beberapa pohon karena terpaan angin. Senja mulai turun di kala roda empat yang dikendalikan Viktor Rebo, sang pemandu jalan menuju rumah tokoh penting dalam sejarah Gereja Kristen Sumba (GKS), Pdt. David Umbu Dingu (Umbu Dingu). Ia adalah salah satu tokoh penting  dalam sejarah perkembangan GKS yang telah melintasi badai sejarah Zending dan politik di Pulau Sandelwood tersebut.

Setelah roda empat berhenti tepat dimuka rumahnya. Pria berbadan tinggi dan tegap itu keluar dari rumahnya. Mengenakan jaket berwarna hitam, celana panjang coklat dan kaca mata menempel di matanya ia menyambut kedatangan Suaraflores.net dan sang pemandu Viktor Rebo dengan gembira. Usai berkenalan dan bersendagurau, pria berusia senja yang kaya pengalaman itu mulai berkisah tentang sejarah perjalanan hidupnya dari merapu (tidak mengenal agama), menjadi pendeta dan memegang tampuk kekuasaan tertinggi Gereja Kristen Sumba (GKS).

Umbu Dingu mengisahkan, ia lahir dari pasangan orang tua penganut Merapu (menganut agama asli Sumba) pada tahun 1948. Sejak lahir hingga remaja ia tidak dibabtis. Ia baru dibabtis pada tahun 1967 setelah mendapatkan Kasasi di Waingapu dari Pendeta Niko He dan Yiwa Ratu. Pada tahun 1969 setelah lulus, ia masuk sekolah Teologia di Makasar. Ia hampir saja tidak sekolah teologi karena kedua orang tuanya sama sekali tidak mendukung. Ia bahkan nyaris disumpah karena melawan orang tuanya. Namun, ia berkeras hati dan akhirnya tetap berangkat ke Makasar, Sulawesi Selatan, untuk mengenyam pendidikan teologi Kristen. 

Setelah tamat di Makasar, ia kembali ke Sumba menjadi pendeta. Ia diberi tugas oleh Sinode di Waibakul dan kemudian di Langgaliru dekat Lewa. Setelah itu, ia dipanggil  menjadi Pendeta di kampungnya Anakalang, Kabupaten Sumba Tengah. Ketika ia kembali ke Anakalang, ia menghadapi tantangan berat dimana orang tuanya sendiri masih menganut Marapu. Namun, ia akhirnya mengkristenkan kedua orang tuanya. Setelah 10 tahun menjadi pendeta ia berhasil membabtis kedua orang tuanya karena Roh Tuhan sudah bekerja.

Ia menjadi pendeta sejak tahun 1976-1998. Ia kemudian terpilih menjadi Sekretaris Umum (Sekum) GKS dalam Sidang Sinode GKS. Pada tahun 1999, ia menjadi pendeta di Waibakul, dan Sidang Sinode GKS memilihnya kembali  menjadi Sekum karena pejabat sebelumnya dinilai gagal  yang menyebabkan Zending Belanda menghentikan bantuan. Dengan Sidang Sinode tahun 2006, berubahlah struktur Sinode GKS yang baru, dimana Sekum menjadi Ketua dan Ketua menjadi pekerja full time di kantor sinode.

Saat itu, ia didaulat menjadi Ketua Sinode GKS. Ketua menjadi penanggunjawab utama dan tugas-tugas GKS ia laksanakan hingga masa pensiun pada tahun 2008. Namun, oleh GKS, seluruh pendeta meminta masa jabatan diperpanjang sampai 2010. Tugas beratnya, yaitu menyelenggarakan Sidang Majelis Pekerja Lengkap (MPL) di Waingapu yang bertepatan dengan 50 tahun gereja Kristen. Waktu itu seluruh Kristen di Indonesia hadir di Waingapu untuk mengikuti sidang MPL. Menyambut itu, ia kemudian mendirikan Gedung MPL di Payeti. Selain itu, satu hal yang juga ia lakukan adalah mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) di Waingapu.

Sejarah Penting GKS dan Peranan Tokoh Tionghoa  

Selain mengisahkan sejarah perjalanan dan kariernya, Umbu Dingu juga membongkar tahapan sejarah pelik dan sulit mulai dari jaman Belanda hingga saat ini. Ia membagi dalam beberapa periode sejarah yang patut tetap diingat oleh kaum muda dan warga Gereja Kristen Sumba (GKS).  Diungkapkan Umbu Dingu, tokoh pertama yang menjadi GKS 1 Van Alpen pada tahun 1881-1886.  Sementara itu, yang memprakarsai pembangunan Gedung Pastori adalah Pendeta Wilenga. Dia membuka di Malolo dengan pendekatan budaya dan komunikasi baik dengan raja-raja. Bahan-bahan bangunan yang disiapkan oleh Lho Liang Kiem, tokoh Tionghoa pertama yang mempunyai usaha dagang di Waingapu yang sudah memiliki truk dan kapal laut.

Dahulu agen Zending masuk ke Waingapu dan kemudian menyebar ke seluruh Sumba melalui daerah pesisir. Para agen Zending bergerak mulai dari Malolo-Waingapu terus ke Mamboro-Keruni dan Kodi lalu ke seluruh Sumba melalui pesisir pantai sebagai basis-basis pekabaran injil. Dari daerah tengah, mereka mulai masuk meneorobos ke daerah-daerah pedalaman. Mereka tahu di dalam perebutan antar raja, perebutan kekuasaan antar wilayah itu menjadi masalah tantangan terberat. Kemudian mereka mendirikan beberapa sekolah menjadi media untuk pekabaran inji. Jadi tidak langsung mereka mendirikan gereja karena orang tidak tahu menulis dan membaca. 

Injil bertumbuh dari sekolah, jadi sekolah didirikan lebih dahulu. Sekolah di Mamboro didirikan sekitar tahun 1900 dan kemudian Karuni, Kambaniru dan seterusnya. Selain orang Sumba, Zending juga memakai orang-orang Sabu dan Rote untuk membuka gereja di Kambaniru. Bukan orang Sumba asli saja. Orang-orang Sabu begitu banyak dipakai oleh Zending. Mereka bekerja sama dengan agen Zending. Merekalah yang lebih dahulu disiapkan menjadi tenaga-tenaga guru, termasuk perawat-perawat di rumah sakit.

Diuraikan Umbu Dingu, injil masuk di Sumba Timur sejak tahun 1881. Saat itu, Misi Zending mengalami banyak kesulitan, seperti masalah komunikasi, bahasa dan budaya. Dalam sejarah GKS dibagi dalam tiga periode, yaitu (1) Periode pertama sejak Injil masuk ke Sumba pada tahun 1881-1908 yang dinamakan periode Perintisan. 2) Periode kedua pada tahun 1908-1947 yang dinamakan periode Peletakan Dasar, dan (3) periode ketiga pada tahun 1947 sampai saat ini dinamakan Periode Kemandirian.

Pada periode pertama, Injil yang diberitakan oleh utusan dari Belanda masih terbatas pada posisi pinggiran atau posisi Sumba-Malolo-Waingapu-Nambrara-Karuni-Kodi. Tantangan yang dihadapi waktu itu adalah masalah komunikasi atau bahasa, masalah adat budaya Sumba, dan kesulitan tempat tinggal. Solusi dan strategi yang dilakukan, yaitu membangun sekolah, mempelajari budaya, mendirikan tempat penginapan, pendekatan kepada raja-raja setempat, menerjemahkan Injil (Alkitab) ke dalam bahasa Sumba atau Bahasa Indonesia (Melayu).

Pada periode kedua, gereja melakukan strategi, antara lain membangun sekolah di tempat tertentu, menerjemahkan alkitab dalam teks bahasa Sumba, membantu pos kesehatan (biasanya Pastori dijadikan pula pos kesehatan), membangun geraja dan pastori, dan mendirikan rumah sakit. Selain itu, mereka mendirikan Teologisch Opliding School(TOS) dan menyiapkan tenaga pelayan pendeta, mendirikan sekolah pertukangan, mendirikan sekolah keterampilan putri, mendirikan sekolah pertanian, membangun balai pengobatan di wilayah-wolayah tertentu. Periode ini GKS berdiri sendiri pada tahun 1947. Namun, ketergantungan pada belanda tetap masih tinggi. Pendeta dan pengurus GKS masih dibantu.

Pada periode kedua itu, Zending Gereformeende Kerchen in Nederland (GKN) memanfaatkan jasa Lo Liang Kiem ( Menantu Samuel Yonathan yang kemudian menjadi pengusaha sukses di Sumba) sebagai penyalur logistik bagi kepentingan usaha gereja di Sumba. Logistik tersebut antara lain, bahan kebutuhan zending, seperti makanan, obat – obatan, pakain, bahan bangunan untuk rumah pastori zending, rumah sakit, tempat ibadah, dan sekolah-sekolah. Kebutuhan lainnya adalah surat-menyurat.

Menurutnya, pengusaha Tionghoa, Lho Liang Kiem mempunyai jasa besar karena waktu itu ia sudah memiliki kapal laut. Waktu itu belum ada jasa transportasi udara, kecuali kapal laut. Di kala itu, di Sumba tidak ada bank, tidak ada Kantor Pos dan tidak ada Kantor Telkom. Dalam situasi ini, peran Lho Liang Kiem sangat menentukan bagi kelancaran pelayanan gereja-geraja di Sumba. Tuhan memakai jasa Lho Liang Kiem untuk memfasilitasi kebutuhan bagi GKS.

Pada periode ketiga, kisahnya, jasa Lho Liang Kiem dilanjutkan oleh anak menantunya Samuel Jonatan (Baba Sema). Walau saat itu, sudah ada Kantor Pos, Bank dan Telkom, tetapi di saat-saat tertentu Baba Sema tetap membantu GKS bila mengalami kesulitan. Baba Sema membantu pembangunan gedung gereja, seperti seng, semen, dan besi beton. Selain itu juga ia membangun sekolah dan Rumah Sakit Linda Mara dan Lende Moripa dengan jasa kapalnya yang menggangkut kayu-kayu dari Kalimantan ke Waingapu. Bukan itu saja, ia pun membangun Gedung STT Lewa serta aula dan asrama  yang dilengkapi dengan meja, kursi dan tempat tidur.

Ia mengaku mengenal Baba Sema sejak bertugas di Sinode pada tahun 1984. Dalam rapat-rapat seringkali nama Baba sema disebut karena ada banyak jasa yang sangat berkaitan dengan usaha pekabaran injil termasuk juga perkembangan gereja. Ketika ia bekerja di sinode ia langsung mengenal Baba Sema sebagai seorang yang sangat sederhana. Baba Sema juga adalah orang yang sangat respek terhadap masalah gereja, dan orang Kristen yang setia di gereja dan mudah diajak berbicara. Ia mempunyai keprihatinan yang besar terhadap perkembangan gereja.

Menurut Umbu Dingu, dalam beberapa kali bertugas ke Belanda sebagai Sekretaris Umum (Sekum) GKS, ia mendengar nama Baba Sema dan Lho Liang Kiem (pendiri Toko Lotus) sering disebut-sebut dalam rapat. Hal itu semakin memperkuat pengetahuannya tentang Baba Sema dan Lho Liang Kiem. Dimana, ada beberapa hal termasuk peran Baba Sema dan mertuanya dalam pekabaran injil dan perkembangan gereja. Rupanya, Baba Sema adalah orang kunci di Toko Lotus yang melanjutkan karya misi gereja yang telah ditoreh oleh mertunya (Lho Liang Kiem,-red) sejak GKS mengalami kesulitan karena terputusnya komunikasi dengan Belanda. Bahkan bukan itu saja, tetapi sudah sejak tahun 1881 ketika injil masuk di Sumba Timur.

Baba Sema dipercayakan oleh Belanda sebagai jembatan Zending sejak Lho Liang Kiem meninggalkan Waingapu pada tahun 1965. Ketika GKS belum ada uang, Baba sema mengeluarkan uangnya untuk operasional gereja dan pendeta, yang kemudian diganti oleh Belanda. Mereka menjadi besar karena mendapat berkat dari Tuhan karena jasa baik yang ditanamkan. Kalau diminta bantuan mungkin dia paling banyak, namun ia tak mau apa yang diberikan diketahui orang lain. Setelah Baba Sema makin uzur, anaknya Iwan Yonathan yang melanjutkan. Iwan pun sama. Dia turut berberan dalam pembangunan GKS dan menjadi Bendahara Umum Pembangunan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Waingapu yang saat ini menjadi Universitas.

Diakhir kariernya sebagai seorang pewarta injil, Umbu Dingu bercerita, ia didukung oleh warga Anakalang untuk menjadi wakil rakyat di DPRD Kabupaten Sumba Tengah. Meskipun ia sempat menolak dengan alasan ingin lebih dekat dan mengabdi di kampung halamannya, akhirnya ia menerima dan maju menjadi calon anggota DPRD Kabupaten Sumba Tengah, dan terpilih menjadi anggota dewan dari DPC PDI-Perjuangan Sumba Tengah. Perjuangan, karya misi dan karya politiknya untuk rakyat Pulau Sumba,patut dicatat dengan tinta emas karena ia telah mendarmabaktikan nyaris seluruh hidupnya untuk umat dan rakyat Sumba. (By:bungkornell/suaraflores,net)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *